Renungan Puasa Bicara untuk Kesantunan Bermedia Sosial

KhazanahHikmahRenungan Puasa Bicara untuk Kesantunan Bermedia Sosial

Interaksi di dunia maya telah mendominasi pola sosialisasi manusia hari ini. Pergeseran itu berpengaruh pada karakter komunikasi satu orang dengan yang lainnya karena sifat media sosial yang bebas dan tak langsung. Orang-orang menjadi lebih liar saat berinteraksi di ruang maya, dengan pertimbangan ketidaklangsungan komunikasi atau pilihan anonimitas yang mungkin diambil. Ujaran kebencian, caci maki, hoaks yang mengakibatkan beragam polarisasi itu pun menjadi temuan yang membludak di ruang publik. Jari jemari adalah lisan kita di media sosial yang mesti dilatih merenungkan makna puasa bicara.

Norma pokok puasa adalah berlatih mengendalikan hawa nafsu. Saat berpuasa kita berupaya menahan setan-setan agar tak masuk ke dalam diri supaya output perilaku lahir kita bukan atas peta jalan yang dibisikkan setan. Dari sisi lahiriah, saat puasa kita mengontrol diri untuk mencapai kebersihan dengan mempuasakan indra-indra, mulai dari mulut, mata, telinga, dan seterusnya.

Puasanya mulut tak hanya menahan dari aktivitas konsumsi. Maryam, ibunda Nabi Isa, dikisahkan melakukan puasa bicara. Setelah lama menghilang dari tempat tinggalnya, Maryam kembali dengan membawa seorang bayi. Masyarakat pun bertanya-tanya penuh curiga, Wahai saudara perempuan Harun (Maryam), ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang buruk perangainya dan ibumu bukan seorang wanita pezina. Maka dia (Maryam) menunjuk kepada (anak)nya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” (QS. Maryam [19]: 28-29).

Maryam binti Imran adalah wanita istimewa yang diperintahkan Allah SWT untuk menjalani puasa bicara. Beragam sangkaan dialamatkan kepadanya karena memiliki anak tanpa menikah dan ia pun tak bersuami. Ia dituduh sebagai pezina, perempuan yang buruk, padahal sebelumnya dianggap wanita suci yang perangainya mulia. Maryam diminta oleh Allah untuk tidak menanggapi berbagai tudingan yang diarahkan kepadanya. Maryam hanya menyatakan, Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini (QS. Maryam [19]: 26).

Allah sedang menguji Maryam. Dia juga hendak menegaskan garis kebesaran-Nya melalui Maryam dan putranya. Karena diamnya lisan, Maryam dianugerahi kemampuan mendengar suara bayi dalam buaiannya. Lalu hujatan orang-orang kepada Maryam pun dijawab langsung oleh mulut bayi kecil itu, Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku kitab (Injil) dan Dia menjadikanku seorang Nabi. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS. Maryam [19]: 30 & 33). Isa menjadi lisan Maryam. Kerjasama keduanya menampilkan pertunjukan kekuasaan Tuhan.

Baca Juga  Mengenal Mahbub Djunaidi: Aktivis Yang Piawai Menulis

Saat terlalu banyak bicara, suara hati nurani kita samar bahkan tak terdengar. Menurut seorang sufi, Sayyid Haidar Amuli sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat dalam Madrasah Ruhaniah, kita tak akan bisa mendengar isyarat-isyarat gaib yang datang kepada kita manakala mulut terlalu banyak bicara. Maryam tidak berbicara. Ia hanya berkata apa yang perlu disampaikan. Dirinya ia abdikan dan percayakan pada Tuhan.

Hamba-hamba Allah yang saleh pernah diperintahkan untuk melakukan puasa bicara. Selain Maryam ada Nabi Zakaria. Puasa bicara bagi orang-orang saleh tersebut sangat mungkin dilakukan dengan tak berbicara sama sekali. Namun kita bisa memaknainya lebih luas. Puasa bicara berarti menyaring apa yang keluar dari lisan. Perkataan kotor dan keji mesti ditinggalkan. Rasulullah bersabda, bahwa Tak dihitung mukmin seseorang yang suka melaknat orang lain, gemar menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor (HR. Bukhari).

Makna puasa bicara diperluas lagi, yakni tidak membicarakan hal yang sia-sia atau tak perlu. Ciri mukmin hakiki ialah menjauhkan diri pembicaraan yang tak ada gunanya. Omongan tak berguna artinya perkataan yang tak memperdekat kita dengan Allah. Hentikan mulut kita dari keburukan dan kesia-siaan tutur, saat tak berpuasa apalagi jika tengah beribadah puasa.

Puasa merupakan proses perbaikan diri berkelanjutan. Harus muncul pemahaman, bahwa menahan diri dari penyaluran emosi-emosi busuk tak kalah penting dari mengontrol hasrat konsumsi dan seksual. Puasa dari ragam perasaan negatif akan memperindah puasa syariat seorang hamba.

Kelangkaan sopan santun dalam postur interaksi warga di media sosial menjadi keprihatinan nyata. Makna puasa bicara menjadi signifikan untuk direnungkan bersama dalam upaya menyikapi defisit akhlak di server dunia maya. Kurangi suara mulut kita. Jika terlalu riuh berbicara, kita tak akan mampu mendengar suara hati nurani. Nurani adalah penuntun perilaku lahir manusia menuju aktivitas bermoral. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.