Ramadhan dan Kesalehan Lingkungan

KolomRamadhan dan Kesalehan Lingkungan

Kita dihadapkan pada krisis lingkungan yang serius. Pembabatan hutan, kegiatan industri dan konstruksi yang masif, besarnya produksi sampah, serta aktivitas destruktif manusia yang lain adalah beban bagi bumi yang mengakibatkan krisis lingkungan hidup. Momentum Ramadhan yang mestinya dapat menekan konsumsi malah mendongkrak tren konsumerisme. Krisis lingkungan hakikatnya adalah krisis moral. Sebab itu, restorasi moral menjadi agenda paling prinsip untuk membangun kepekaan ekologis. Ajaran puasa dapat menjadi kerangka evaluasi diri agar terbentuk kesadaran lingkungan berbasis keimanan.

Mata rantai beban alam bisa kita awali dari renungan di meja makan. Saat puasa, orang-orang cenderung lapar mata. Mereka terdorong mendaftar banyak menu makanan untuk dikonsumsi ketika berbuka. Aneka makanan ringan dari yang asin hingga manis dijaja. Beragam jenis minuman seperti kolak, es cendol, teh, dan seterusnya tak luput dari perhatian untuk ditata di meja manakala maghrib tiba. Yang pada akhirnya kerap terbuang karena tak kuasa menghabiskan. Semua berakhir tertumpuk menjadi sampah yang kemudian menyumbang peningkatan emisi. Jika dipikir ulang dengan seksama, kita tak perlu hidangan macam-macam untuk berbuka. Konsep berbuka yang dicontohkan Nabi adalah batas yang wajar, cukup, dan tentunya tanpa bersisa.

Belum lagi kantong plastik pembungkus makanan dan belanjaan yang sering dianggap remeh. Dibuang begitu saja tanpa berpikir panjang bagaimana dampak merusaknya. Konsumsi yang tinggi di bulan Ramadhan memang sebuah paradoks. Fenomena yang terlihat ringan itu mesti jadi bahan renungan, terutama saat Ramadhan, bulan yang memfasilitasi kita untuk memperbaiki kualitas diri. Meja makan adalah satu contoh dekat. Masih begitu banyak persoalan lingkungan yang kritis yang harus dipertanggungjawabkan umat manusia.

Makhluk hidup dan lingkungannya berhubungan secara integralistik, sehingga perilaku manusia tentu akan berdampak pada alam. Begitupun sebaliknya, aktivitas alam pasti mempengaruhi kehidupan makhluk hidup. Penyangkalan terhadap andil manusia atas kerusakan alam adalah apologi delusif yang mengarah pada nafsu eksploitasi semata tanpa umpan balik yang bertanggung jawab.  

Dijadikannya manusia sebagai khalifah di bumi adalah argumen valid akan perhatian agama terhadap kesehatan alam, sekaligus perintah resmi pada umat manusia untuk mengelola dan menjaganya. Maka dari itu, bersikap tidak peduli terhadap kestabilan lingkungan sama halnya dengan abai pada ajaran sakral agama. Ketidakpedulian yang dipelihara adalah bom waktu, kapanpun bisa meledak dan melukai siapapun. Artinya, ketika itu terjadi, kemarahan alam sudah nyata terasa dan dekat dengan kita. Karena bisa jadi saat ini belum ada ketidaknyamanan alam yang dirasa signifikan.

Baca Juga  Akhlak Imam Syafi'i Terhadap Guru

Puasa yang dipandu iman akan membentuk kesadaran ketuhanan dalam diri si pelaku. Aktualisasinya adalah sosok insan takwa yang berkomitmen pada amal saleh. Seorang yang bertakwa akan terus-menerus melakukan sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Hal itu diwujudkannya dengan merentangkan garis lurus antara ia dan Tuhan. Di mana garis itu terulur sejajar dan berimpitan dengan nurani. Artinya, perilaku orang tersebut akan selalu inheren dengan hasrat kebaikan karena tata nilai ketuhanan lah yang ia tuju.

Capaian spiritualitas semacam itu tak mungkin menggerakkan pelakunya pada sikap-sikap merusak yang dibenci Allah. Karena keterpautan diri dengan Tuhan akan menghasilkan hubungan yang serasi antara manusia dan alam sekitar. Orang tersebut tak akan sanggup mencederai lingkungan dengan cara apapun. Ini adalah sepenggal visualisasi dari firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 183, bahwa puasanya orang beriman bakal mengantarkannya pada altar ketakwaan, menjadi manusia saleh dengan kapasitas kesadaran lintas dimensi, termasuk ekologi.

Selain itu, ibadah puasa mendidik umat Muslim untuk mengendalikan diri. Kontrol itu tidak terbatas menahan lapar, haus, dan kehendak biologis, tapi juga melatih nafsu eksploitatif yang merusak. Penyumbang kerusakan lingkungan, krisis iklim, datang dari berbagai perilaku umat manusia yang konsumtif, destruktif, dan eksploitatif.

Perilaku individu yang menyumbang kerusakan alam, baik dalam skala rumah tangga maupun sosial memang tak boleh disepelekan. Namun kondisi krisis iklim saat ini butuh tindakan berdasarkan prioritas. Domain industri dan aktivitas konstruksi yang dimotori korporasi-korporasi berperan besar atas terjadinya krisis iklim dan kerusakan alam. Dengan kata lain, untuk perubahan yang signifikan, dibutuhkan kolaborasi berkesadaran akan keselamatan lingkungan dari para pemangku kekuasaan serta para pelaku bisnis. Melansir dari perkim.id, aktivitas konstruksi diperkirakan menyumbang emisi CO2 terbanyak yaitu 45%.

Semesta kita sedang membutuhkan sentuhan perbaikan. Titik berangkat untuk merangkul kembali alam yang dikepung krisis ini adalah kesadaran etik manusia. Dari individu-individu yang sadar, akan berkembang menjadi populasi dan komunitas yang memiliki kepekaan moral kolektif. Basis spiritual-ketuhanan dari praktik puasa merupakan sokongan ampuh untuk membentengi ego dan nafsu hewani manusia yang bisa menjadi mesin perusak alam. Puasa mengajarkan kita untuk menunduk khidmat, melihat ke dalam, melongok kesadaran, menahan diri dari perilaku amoral. Dari perenungan meja makan di bulan Ramadhan, mari bersepakat untuk menjadi manusia saleh yang tak abai pada lingkungan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.