Altruisme di Tengah Ramadhan

KolomAltruisme di Tengah Ramadhan

Ramadhan menjadi momentum untuk menempa pribadi yang lebih baik. Bagi umat Islam khususnya, Ramadhan sebagai ajang panggilan moral untuk menghilangkan keegoisan diri, lebih bersabar, meredam hawa nafsu, untuk membangun personality paripurna. Solidaritas kemanusiaan menjadi tujuan utama di tengah Ramadhan usai ritual-ritual peribadatan diaktualisasikan.

Richard Rorty, Filsuf AS, menyebutkan, panggilan moral untuk solidaritas sebenarnya tak berangkat dari dasar filosofis, religius, atau ideologis tertentu, tetapi dari panggilan humanisme dari dalam diri manusia. Namun, terkadang manusia sulit menyadari untuk melakukan hal tersebut kalau bukan pada momentum tertentu seperti halnya bulan Ramadhan atau terjadinya bencana alam.

Di tengah bulan Ramadhan, sejumlah relawan turun mengitari sepanjang jalan dan tempat ibadah berbagi takjil dan makanan gratis lainnya. Tentu situasi berbagi itu tampak menyenangkan. Bahkan, beberapa tukang angkot, ojol (ojek online), dan pemulung tak jarang kebingungan karena banyaknya nasi kotak yang mereka terima sementara makanan itu tak bisa diawetkan, hingga menjadi mubadzir karena basi. Ini fenomena yang kerap kali terulang saat Ramadhan. Sebagai antisipasinya, tak harus mengikuti tren, cukup sering membagikan sembako sekadarnya juga memiliki daya manfaat yang bisa berjangka panjang.

Altruisme itu kebalikan dari sifat egoisme. Sikap tersebut telah nyata ada dipraktikkan generasi awal Islam, yakni ikatan persaudaraan antara kaum Anshor dan Muhajirin. Tatkala kaum Muhajirin tiba di Madinah berlindung dari kejaran kafir Quraisy, kaum Anshar rela berkorban mencukupi kebutuhan kaum Muhajirin mengalahkan kebutuhannya sendiri. Mereka yang memiliki rumah lebih dari satu, kebun kurma, tanah dibagi, bahkan istri yang lebih dari satu diceraikan untuk diberikan kepada kaum Muhajirin.

Generasi awal Islam pada masa Rasulullah SAW jiwa kebatinan Muslim telah mencapai fase paripurna. Semua itu dilakukan demi memperoleh kemanfaatan atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya (HR. Muttafa ‘Alaih).

Ibadah puasa akan lebih bernilai saat tumbuhnya altruisme. Kiranya, latihan solidaritas kemanusiaan saat Ramadhan dapat diaplikasikan pula di sepanjang hari lainnya. Ramadhan sebagai charge untuk bekal menjaga diri selama setahun lamanya. Rasa haus dan lapar serta menahan diri dari hal-hal lainnya yang membatalkan puasa secara efektif membakar sifat egoisme lantas menumbuhkan egaliter, rendah hati, empati, kasih sayang yang kemudian mengarah pada altruisme.

Baca Juga  Propaganda Fitrah Gender

Nampak ada keterbalikan Muslim dalam membaca konsep peribadatan dan akhlak. Menukil Nursamad Kamba dalam Sejarah Otentik Politik Nabi Muhammad SAW (2019), peribadatan bersifat primer dan komitmen akhlak bersifat sekunder. Orang-orang kemudian merasa sah-sah saja korupsi dan berniat menggunakan hasil korupsinya untuk menunaikan haji atau umrah, ataupun membangun rumah-rumah ibadah serta menyumbang sebagai bantuan-bantuan sosial. Peribadatan kepada Tuhan demikian ditengarainya menghapus komitmen akhlak.

Jika pemahaman di atas belum bisa dipahami dengan baik, maka ajaran ritual keagamaan cukup menjadi modal para elite pemuka agama mencapai kepentingan masing-masing tanpa memedulikan nilai-nilai ideal kemanusiaan. Oleh karena itu, cara pandang komitmen akhlak sebagai tujuan utama, sedangkan ritual peribadatan itu pelengkap yang bersifat wajib lebih ideal. Ibadah tanpa internalisasi akhlak sama dengan manipulasi ajaran Islam.

Altruisme ini penting untuk membentuk karakter Muslim yang paripurna. Di samping mengerjakan kewajiban dan sunnah ritual peribadatan, ia juga mampu mengejawantahkan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah tersebut melalui cerminan akhlak atau perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, shalat, puasa, zakat, haji dan sodaqoh pada hakikatnya ibadah ritual pun tak luput dari perwujudan nilai sosial.

Mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang diri sendiri bukan berarti bersikap mengabaikan kebutuhan pribadi. Namun, ada posisi di mana seseorang bisa mengukur keegoan atau kehendak dirinya. Saat ia berpikir tidak seharusnya mengeluarkan nominal tinggi demi popularitas, eksistensi, atau bersaing barang-barang bermerk, alangkah baiknya cukup hidup sederhana sementara materi yang bersifat tersier tadi diberikan kepada yang membutuhkan. Mengalah dalam hal tertentu, demi orang lain agar tidak memperkeruh situasi atau dalam keadaan mendesak sebab ada yang lebih membutuhkan juga termasuk altruisme. Sehingga altruisme tidak terbatas pada yang bersifat materi semata.

Walhasil, setiap aktivitas dari puasa, tarawih, senang berbagi dan amal baik lainnya berkesempatan membentuk altruisme, terlebih di tengah bulan Ramadhan. Dilipatgandakannya pahala menambah motivasi kita untuk terus memperbaiki diri berlomba-lomba dalam kebaikan. Jadi sudahkah memiliki sikap altruisme? Kalau belum, Ramadhan ini menjadi momentum pengasah jiwa yang peduli terhadap sesama dan peka dengan panggilan moral.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.