Berbuka secara Berkesadaran dan Beradab

KhazanahHikmahBerbuka secara Berkesadaran dan Beradab

Waktu berbuka adalah satu dari dua kebahagiaan bagi orang berpuasa. Seberkas rasa bahagia yang alamiah, karena kita diperbolehkan kembali menikmati makanan dan minuman yang sebelumnya dilarang. Bukan rahasia lagi, kebanyakan orang menjadikan waktu berbuka sebagai momentum pembalasan mengisi perut. Mereka makan secara kalap dan tak berkesadaran. Menjadi paradoks, ketika moral dasar puasa adalah menjaga diri tapi seketika gagal karena rakus kala bedug maghrib berbunyi.

Buka puasa adalah kesempatan menikmati rasa syukur secara lebih nyata dan dekat. Sebab, mengonsumsi sesuatu dalam kondisi letih dan lapar menyumbang rasa nikmat lebih. Walaupun sudah masuk waktu buka, ajaran moral ibadah puasa tetap berlaku. Saat berpuasa kita diuji untuk menahan dari segala yang diharamkan. Menyusul waktu berbuka, kita diajarkan agar tidak sembrono dalam mengonsumsi makanan.

Untuk mencapai manfaat utuh puasa, kita pun mesti memperhatikan apa dan bagaimana etika berbuka. Faedah puasa bagi kesehatan sudah tak diragukan lagi adanya. Kendati demikian, para ahli medis selama Ramadhan justru kerap menerima pasien yang mengalami gangguan lambung, seperti radang lambung serta flu perut. Kecenderungan makan berlebihan dan cepat-cepat saat berbuka puasa adalah di antara pemicu gangguan pencernaan tersebut. Belum lagi kebiasaan mengonsumsi kudapan yang tinggi gula dan padat kalori kian menambah beban pencernaan yang baru beradaptasi lagi setelah berjam-jam rehat.

Sayyidina Ali pernah menyampaikan, “Jangan jadikan perutmu sebagai kuburan hewan”. Maksudnya, berlebihan memakan daging tidaklah baik. Di luar dari makna tekstualnya, ungkapan tersebut melarang kita bersikap rakus dan serakah. Ramadhan berpesan agar kita tak menjadikan perut kita sebagai kuburan orang lain. Jangan ubah perut kita menjadi kuburan orang kecil. Sadar atau tidak, selama Ramadhan orang-orang kerap terjebak pada perilaku konsumtif, suka makan tak beraturan, senang belanja berlebihan, membeli barang yang tak berguna, berpesta, hingga memupuskan empati kepada kaum lemah bahkan mungkin memakan hak mereka.

Narasi Ramadhan jelas meminta umat Muslim untuk turut belajar merasakan sulit pedihnya kaum duafa. Membayangkan mereka yang makan sebungkus nasi untuk bertiga, mereka yang mengencangkan perut demi menahan lapar, atau mereka yang hanya bisa merasakan daging saat Idul Adha saja. Belasan jam umat Muslim diperintah menon-aktifkan alat indra adalah masa untuk merenung dan berefleksi. Bukan sekadar menahan nafsu untuk diledakkan di waktu berbuka.

Baca Juga  Tertawa Bersama Imam Malik dan Imam Syafi’i Membahas Rezeki

Lalu apa makna berpuasa jika empati tetap tumpul dan hanya bertahan meladeni nafsu berbelanja tak berkesadaran. Meskipun harta itu hak milik kita, namun tak boleh kita memakannya sendiri. Sayyidina Ali pernah mewanti-wanti, “Tidak pernah aku melihat ada orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali di sampingnya ada hak orang lain yang tersia-siakan”. Bisa dibangun skema, ketika rasa peduli seseorang pada sekitar telah mati, seberlimpah apapun kekayaannya, ia pun tak merasa bertanggung jawab atas kesulitan hidup orang-orang lemah tak berdaya di dalam lingkarannya. Harta ia tumpuk untuk kepentingan pribadi semata.

Praktik yang dicontohkan Nabi murni mengajarkan kesederhanaan dan kesadaran dalam berbuka puasa. Bagaimana tidak, beliau mencukupkan diri berbuka dengan beberapa butir kurma atau minum air putih secukupnya. Rasulullah tak pernah makan berlebihan hingga kekenyangan. Nabi menjaga kesadaran saat makan agar berhenti sebelum kenyang.

Berbuka secara berkesadaran artinya memahami apa yang kita konsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Mengerti bagaimana efek makanan bagi tubuh, dan yang terpenting sadar untuk membatasi kuantitas makanan yang masuk ke dalam tubuh. Apa yang Nabi makan ketika berbuka adalah makanan yang tepat untuk menambal energi yang terkuras selama puasa. Kurma sangat baik dikonsumsi setelah berpuasa seharian karena mampu meningkatkan glukosa dalam darah. Demikian halnya dengan air putih, sangat baik untuk mencegah dehidrasi karena tak minum berjam-jam.

Sayyidah Aisyah pun menceritakan lebih jauh kesederhanaan Nabi, Dahulu Rasulullah SAW tak pernah mengenyangkan perutnya dengan dua jenis makanan. Ketika sudah kenyang dengan roti, beliau tidak akan makan kurma, dan ketika telah kenyang dengan kurma, beliau tak akan makan roti. Hadis ini pada prinsipnya menghimbau, jika sudah kenyang jangan lagi makan.

Puasa mengajarkan moral etik yang kebaikannya berkaitan langsung dengan kepentingan personal dan sosial. Ajaran mengontrol diri saat puasa di siang hari mesti diteruskan manakala waktu berbuka tiba. Dalam arti kita mau berusaha berbuka puasa secara sadar dan memperhatikan etika. Sembrono dalam berbuka puasa tak hanya merugikan kesehatan, tapi juga menindas nilai kesederhanaan dan empati yang mestinya tumbuh dari praktik puasa yang dipenuhi kesadaran. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.