Tawakal Bukan Berarti Tak Bekerja

KhazanahHikmahTawakal Bukan Berarti Tak Bekerja

Bertawakal bukan berarti menjadi kaum pasifis. Sebagaimana kesan yang timbul di benak kebanyakan awam. Mereka salah paham mengira perintah tawakal sebagai legalitas untuk berpangku tangan, menunggu apa saja yang akan terjadi tanpa usaha aktif untuk meraih atau menolak. Kekeliruan itu pun terkadang dilengkapi oleh cara pandang melenceng terhadap konsep takdir. Bahwa garis hidup manusia sampai sisi paling detailnya telah disiapkan Tuhan, sehingga untuk apa ia bekerja. Maka konsep usaha semakin tersisih dari cara pandang mereka. Sejatinya tawakal adalah sikap hati, dan sudah menjadi tugas pikiran serta badan kita untuk berupaya.  

Sikap tawakal adalah implikasi langsung dari iman. Sebab dalam agama, tawakal merujuk pada sikap bersandar, mempercayakan diri kepada Allah, serta menaruh kepercayaan hanya pada-Nya tanpa serikat. Tawakal tak akan ada tanpa keimanan, Dan kepada Allah hendaknya kamu sekalian bertawakal, kalau benar kamu adalah orang-orang yang beriman (QS. Al-Maidah [5]: 23). Begitu juga sebaliknya, tidak dinilai beriman seseorang tanpa bertawakal, ..kalau kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika memang kamu orang-orang yang pasrah (Muslim) (QS. Yunus [10]: 84).

Tawakal bukan bersemangat melarikan diri dari kenyataan. Dalam tawakal justru dikenal sikap aktif, timbul semata-mata dari pribadi yang paham serta menerima kenyataan hidup dengan tepat. Mengingat, sikap tawakal dimulai dari kesadaran diri bahwa perjalanan pengalaman umat manusia secara keseluruhan dalam lanskap sejarah tak akan cukup untuk menyingkap hakikat hidup. Hakikat itu sebagian besar tetap bagian dari rahasia Tuhan yang tak ada jalan bagi seorang makhluk untuk mengendalikannya.

Kesadaran semacam itu oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai “realisme metafisis”, yakni menyadari dan meyakini kenyataan sesuatu yang gaib atau tak nampak. Hal ini kembali mengingatkan kita akan relasi timbal balik antara iman dan tawakal. Kesadaran tersebut juga membutuhkan keberanian moral, sebab tawakal bernilai aktif. Yakni keberanian etis untuk mengakui keterbatasan diri setelah melakukan usaha yang maksimal, serta untuk menerima kebenaran bahwa tak ada masalah yang dapat diatasi tanpa pertolongan Allah SWT.

Orang-orang yang tepat memahami realitas hidup selalu menyadari porsi usaha yang harus dilakukan dan mana yang menjadi kuasa Tuhan, yakni bagian besar hakikat yang menjadi rahasia-Nya. Mereka aktif bekerja dan tetap bertawakal, di mana pekerjaan itu tak akan merusak tawakal mereka.

Baca Juga  Amany Lubis: Taliban Harus Menghargai Hak Sipil Perempuan

Keniscayaan manusia untuk berusaha diterangkan dalam firman Allah yang menyatakan Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Al-Ra’du [13]: 11). Ayat ini menegaskan adanya ancaman stagnasi dan ketiadaan perubahan tatanan masyarakat apabila manusia tidak menempuh cara-cara kerja.

Bagi tatanan kehidupan, keadaan statis adalah suatu bahaya. Karena tak akan ada keselarasan, keberlanjutan, pengelolaan, dan berakibat ambruknya realitas umat manusia. Hal demikian juga bertolak belakang dengan tugas manusia sebagai mandataris Tuhan untuk bekerja mengatur bumi. Dengan kata lain, menjadi khalifah Tuhan meniscayakan usaha yang menjamin pergerakan sistem hidup.

Menyitir penjelasan Kiai Shaleh Darat dalam terjemah Sabil al-‘Abid ‘ala Jawharat al-Tawhid yang dicatat oleh Cak Nur dalam karyanya Islam Doktrin dan Peradaban, bahwa di zaman sekarang lebih baik bekerja, malah wajib, sebab iman orang umum serta keislaman mereka tak sempurna kecuali dengan adanya harta.

Bekerja diperlukan untuk menjaga kesadaran ketuhanan serta keimanan seorang hamba. Dari bekerja manusia akan memperoleh hasil-hasil yang menguntungkan dan menjadi sumber kesenangannya. Wujud hasil dari aktivitas bekerja itu merupakan nikmat Tuhan yang masuk dalam kerangka logika manusia, terutama kalangan modern. Itulah mengapa kerja dapat menjaga kesadaran iman seseorang.

Kiai Shaleh Darat nampak sedang menyimpulkan kondisi kualitas keimanan umat saat ini yang cenderung lemah. Lain halnya dengan generasi terdahulu yang keimanannya kokoh dan tolok ukur kebahagiaannya relatif bukan materil. Untuk menguatkan kesimpulan itu, Kiai Shaleh pun mengetengahkan riwayat yang menyebut bahwa, Kemiskinan bagi sahabat-sahabatku adalah kebahagiaan, dan kekayaan bagi orang-orang beriman di akhir zaman adalah kebahagiaan. Hemat saya, bagi generasi belakangan, kekayaan yang berwujud ibarat bahasa penjelas yang menerangkan kekuasaan Tuhan.

Tawakal mengajarkan semangat untuk berharap kepada Allah. Sikap mempercayakan diri pada Tuhan ini menunjukkan konsistensi keyakinan bahwa hanya Dia yang layak dijadikan sandaran. Pernyataan kepasrahan yang ditopang rasa iman, mesti diiringi dengan aktivitas usaha. Itulah tawakal. Tawakal bukan lepas tangan, karena Tuhan tak menghendaki hamba-Nya berdiam tidak berusaha. Tawakal adalah sumber keteguhan hati serta kekuatan jiwa untuk menempuh hidup yang kaya tantangan dan tak sepenuhnya dapat dimengerti oleh seorang anak manusia. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.