Kekuatan Feminin Fatimah Az-Zahra

KhazanahKekuatan Feminin Fatimah Az-Zahra

Feminin merupkan sebuah karakter perempuan yang saat ini diidentikkan dengan merah muda, lembut, pluffy, imut, dan pasif. Feminin selalu diposisikan inferior dari maskulin yang identik dengan kuat, aktif dan lebih hebat. Sebenarnya, feminin adalah suatu kekuatan, seperti juga maskulin. Bahkan dalam literartur sufistik, kita pasti menemukan bahwa wujud feminin merupakan esensi yang unggul dalam sistem ketuhanan (theophany par excellence). Sebagaimana dijelaskan oleh Henry Corbin sebagai The Creative Feminin dalam pemikiran sufisme Ibn Arabi, melalui bukunya Alone with the Alone.

Penting bagi kita untuk mendefinisikan kembali bahwa feminin bukan hanya sekadar keindahan objektif, namun juga sumber berbagai kekuatan. Kehidupan perempuan-perempuan yang disebutkan oleh Nabi SAW sebagai perempuan terbaik di semesta alam, yaitu Khadijah RA, Fatimah RA, Maryam AS dan Asiyah RA, merefleksikan karakter feminin yang merujuk pada perjuangan, kecerdasan, kekuatan, independensi, dan keberanian. Feminin adalah esensi dari segala bentuk kekuatan spiritual.

Salah satu wanita yang menghimpun kekuatan feminin transenden itu adalah Fatimah Az-Zahra, Puteri Nabi Muhammad SAW, bahkan dikatakan bahwa ia yang paling unggul diantara semuanya. Kelahiran Fatimah Az-Zahra dan kemuliaan yang diberikan Rasulullah SAW kepadanya, mematahkan budaya misoginis masyarakat jahiliyah, serta menegakkan keadilan bagi perempuan. Namun pada akhirnya, puteri Nabi SAW itu pula yang menjadi wanita pertama yang merasakan penderitaan dan kemalangan saat hak-hak perempuan mulai dikorupsi, setelah Rasulullah SAW wafat.

Fatimah Az-Zahra adalah putri kandung Rasulullah SAW, di dalam dirinya mengalir darah Rasulullah SAW dan wanita mulia Khadijah binti Khuwalid RA. Ia hidup sepanjang masa kenabian. Ia Lahir tidak jauh dari awal masa kerasulan Nabi SAW, dan meninggal 6 bulan setelah beliau wafat. Sejak kecil, Fatimah terbiasa tinggal dalam situasi perjuangan ayah dan ibunya, serta rela dengan kehidupan yang sangat sederhana. Rumahnya, dihuni oleh ahlulbait yang menyerahkan apapun yang mereka miliki demi membantu siapapun yang datang.

Fatimah Az-Zahra memiliki kekuatan ruhani yang sempurna sehingga tidak pernah menyimpang dari kebenaran atau jalan yang lurus. Saat Khadijah RA wafat, Fatimah Az-Zahra menggantikan seluruh peran ibunya tersebut dalam mendukung dan melindungi dakwah ayahnya dan menegakan agama Allah SWT. Ia mewarisi rasa kemanusiaan, kepedulian sosial, tanggung jawab, harga diri, kesucian, kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas.

Sesuai prediksi ayahnya sendiri, bahwa setelah Nabi SAW meninggal dunia, kesedihan demi kesedihan akan menimpa puteri tercintanya dan keluarga terkasihnya. Hal itu tebukti, bukan hanya dari rasa sakit kehilangan seorang ayah dan cahaya dunia yang tidak pernah ada penawarnya, tetapi juga atas pengabaian hak-haknya sebagai wanita mulia putri Rasulullah SAW dan penistaan keluarganya. Kaum itu memperebutkan kekuasaan dan hak pemerintahan, serta menyingkirkan peran dan hak ahlulbait. Mereka memperlakukan Fatimah Az-Zahra seperti seorag perempuan awam yang tidak tahu apa-apa, padahal dia adalah seorang puteri Rasulullah SAW. Al-Quran, Sunnah, dan sejarah dakwah tertuang sempurna padanya. Hal ini tentu sangat menyakiti hati Fatimah Az-Zahra.

Baca Juga  Mengenal Shalawat Keadilan Jender

Ketidakadilan yang menimpa keluarga Fatimah Az-Zahra, mencapai puncaknya saat Abu Bakar menklaim tanah Fatimah di Fadak sebagai tanah negara. Keputusan pemerintah untuk merebut haknya dan menetapkan bahwa keluarga nabi tidak berhak menerima warisan, mungkin adalah sebuah konspirasi yang ganjil. Dalam kesempatan khutbahnya, dengan kecerdasan dan keberaniaanya ia mengatakan “Wahai Ibnu Abi Quhafah, apakah dalam kitab Allah ada ketentuan bahwa engkau mewarisi ayahmu sedangkan aku tidak boleh mewarisi ayahku?” kemudian, dengan logis ia menyebutkan ayat-ayat al-Quran yang menjadi hujjah bagi hak-haknya. Sulaiman telah mewarisi Dawud (QS. An-Naml: 16), Allah SWT berfirman orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat, sebagian mereka lebih berhak terhadap sesama mereka daripada yang bukan kerabat (QS. al-Anfal: 75) Dia juga berfirman Allah SWT mensyariatkan bagimu tentang pembagian harta warisan untuk anak-anamu (QS. an-Nisa: 11).

Fatimah Az-Zahra merupakan wanita yang sangat mulia, yang memahami seluruh ajaran intelektual dan spiritual Islam. Sebagai seorang yang didik langsung oleh Rasulullah SAW, tidak mungkin orang lain dapat lebih mengetahui ketetapan atas diri puteri nabi itu dibanding dirinya sendiri. Wewenang untuk menyita hak properti Fatimah RA diakui pemerintah sebagai ajaran Nabi SAW. Namun ia belum pernah mendengar sendiri ada wasiat semacam itu, sehingga kebijakan pemerintah itu dinilai sebagai kebijakan yang ganjil dan semena-mena yang tidak sesuai tuntunan al-Quran. Fatimah melanjutkan retorikanya, “Adakah suatu ayat yang dikeluarkan oleh al-Quran oleh ayahku khusus untuk kalian?”

Budaya jahiliyah yang meminggirkan perempuan, tidak memerdulikan kehormatan, serta megabaikan hak-hak perempuan mulai tumbuh kembali. Korupsi atas hak-hak perempuan telah dialami oleh puteri Rasulullah SAW sendiri. Praktik korup atas hak perempuan mulai hidup kembali setelah sang pembawa risalah wafat, dan terus berkembang di tengah masyarakat Muslim. Cendekiawan Muslim era sekarang menyadari hal ini sehingga menyuarakan kembali hak-hal perempuan yang sebenarnya. Abou el Fadl, salah satu cendekiawwan Muslim, sangat yakin bahwa nilai-nilai ketidaksetaraan jender yang diadopsi dalam hukum Islam sesungguhnya tidak berasal dari Islam, namun merupakan pengaruh dari budaya lain di luar Islam.

Dengan demikian, karakter feminin yang sesungguhnya, sangat erat kaitannya dengan peran perjuangan. Ia tidak diam saat kehormatannya diganggu, dan keadilan yang ditegakan untuknya goyah. Seperti Maryam AS yang mengatakan dengan tegas tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan pula seorang pezina! (QS. Maryam: 20). Fatimah Az-Zahra bukan hanya membela dirinya sendiri, namun juga seluruh perempuan setelahnya yang memiliki pengalaman serupa. Ia adalah anak perempuan pertama yang memperoleh hak-hak dan kemuliaan sempurna dari ayahnya yang mulia. Fatimah Az-Zahra menyelamatkan ajaran Islam yang memuliakan wanita. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Nabi SAW, Puteriku Fatimah adalah penghulu wanita semesta alam dari awal hingga akhir. Fatimah Az-Zahra adalah inspirasi kita hingga akhir Zaman.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.