Alissa Wahid: Mengekang Perempuan, Ciri Ekstremisme Beragama

BeritaAlissa Wahid: Mengekang Perempuan, Ciri Ekstremisme Beragama

Dalam sebuah webinar berjudul Moderasi Beragama Revolusi Mental Bersama Ny Hj Alissa Wahid & Dr. KH Rumadi Ahmad, yang dipublikasikan kanal YouTube LP2M UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten (08/10/21), Alissa Wahid juga berbicara mengenai pentingnya nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong sebagai landasan cara berpikir, cara bekerja, dan cara hidup bangsa Indonesia. “Kita punya tantangan dalam kehidupan di Indonesia ini, dalam konteks keseimbangan antara kita menjadi umat beragama dengan kita menjadi warga negara” tuturnya di permulaan presentasinya.

Saat membahas isu etos kerja, Alissa wahid menyoroti masalah banyaknya anggapan-anggapan kuno yang kerap meremehkan potensi perempuan, dan membuat perempuan seperti tidak memiliki etos kerja. Misalnya, perempuan masih sering dianggap tidak perlu meraih pendidikan tinggi, karena diasumsikan hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Ajaran bahwa perempuan tidak boleh berkiprah di luar ruang domestik telah melemahkan etos kerja perempuan untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. 

Alissa Wahid mengatakan bahwa ekstremisme beragama sering kali menunggangi isu relasi gender seperti itu, “Saya mengamati perkembangan ekstremisme beragama, sebenarnya di semua agama ya, itu banyak sekali yang riding on, atau menggunakan, atau berselancar di atas hubungan laki-laki dan perempuan” ucapnya.

Ia juga memperjelas bahwa ajaran yang memundurkan perempuan, yang membagi peran publik-domestik berdasarkan pada jenis kelamin, bukan berdasarkan kapasitas dan etos kerjanya, merupakan salah satu ciri ekstremisme. “Salah satu ciri ekstremisme beragama secara ideologis, itu mendorong-dorong perempuan untuk tidak masuk di zona laki-laki” terang wanita yang memiliki latar belakang keahlian di bidang psikologi ini.

Puteri presiden ke-4 ini juga menjelaskan bahwa dalam berbagai penelitian ilmiah internasional tentang ekstremisme beragama, kelompok ekstrem sering menjadikan perempuan dan anak sebagai instrumen untuk menanamkan sikap tunduk pada kekuasaan, yang mana kekuasaan itu dipegang oleh laki-laki. 

Baca Juga  Mengimani Isa Al-Masih

Selain banyaknya anggapan budaya tentang peran domestik perempuan, anggapan mengenai pengalaman biologis perempuan akan mengurangi etos kerja perempuan juga menjadi penghambat kemajuan perempuan. “Perempuan terpenjara oleh pemikiran ini, sehingga hidupnya pun tidak bisa mengoptimalkan potensinya” Ungkap Alissa Wahid yang memiliki perhatian pada isu perempuan ini.

Untuk itulah, Alissa Wahid mendorong masyarakat untuk mempraktikkan moderasi beragama. Yaitu, cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengamalkan esensi ajaran agama, yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi, sebagai kesepakatan berbangsa.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.