Puasa Mengasah Kedewasaan Spiritual

KhazanahHikmahPuasa Mengasah Kedewasaan Spiritual

Secara filosofis, roh adalah unsur pembeda manusia dengan yang lain. Hakikat kemanusiaan seseorang terletak pada roh. Dalam keseharian faktanya kita sangat terikat dengan tubuh. Sedangkan area rohani lebih sering terbengkalai yang mengakibatkan tumpulnya spiritualitas. Jika tak diurus, manusia akan dijajah kehendak jasmani yang bersifat menekan dan menggebu. Perilaku kita pun akan berpijak pada pemenuhan hasrat profan semata.

Puasa merupakan panggilan rohani. Fase-fase pelaksanaannya mesti dilakukan dengan kerendahan hati penghambaan serta memusatkan perhatian pada perbaikan diri. Dengan skema inilah keikhlasan dalam berpuasa menemukan bentuknya. Saat berpuasa, potensi-potensi maksiat dari anggota badan tengah dibendung. Hasrat-hasrat jasmani digembleng agar tak berkembang liar dan merusak figur murni seorang manusia. Pada saat itu, kekuatan jasadi dan kekuatan rohani berseteru. Spiritualitas harus bekerja keras menundukkan kemapanan sisi jasmani.

Dalam suatu penelitian di Barat sebagaimana diterangkan Jalaluddin Rakhmat dalam Madrasah Ruhaniah, didapati bahwa orang yang berpuasa akan berpikir lebih filosofis, tidak terbatas pada hal-hal yang konkret lagi. Artinya aktivisme puasa adalah salah satu wahana pelatihan spiritualitas. Serentak dengan itu, kajian psikologi perkembangan menjelaskan bahwa dalam proses perkembangan kepribadiannya manusia mengubah-ubah kebutuhannya. Dengan kata lain, sumber kenikmatan seseorang berganti-ganti sesuai dengan laju perkembangan kepribadiannya. Semakin dewasa seseorang, semakin abstrak pula kebutuhannya. Abstraksi itu termasuk pada keinginan memenuhi spiritualitas.

Sigmund Freud berbicara mengenai tiga tahap perkembangan kesenangan anak-anak di masa kecil. Menurutnya, pada fase paling awal perkembangan kepribadian anak, letak kenikmatan mereka adalah di mulutnya. Pengalaman kesenangan itu mereka temukan kali pertama ketika menyusu kepada ibunya. Itulah mengapa anak-anak sangat gemar memasukkan segala sesuatu ke mulut mereka. Jika tak menemukan benda, maka jari-jari mereka yang akan dilumat. Mereka menemukan kenikmatan di sana. Freud menyebut ini dengan periode oral.

Kesenangan anak pun berkembang pada periode berikutnya. Kategori kenikmatan mereka tak hanya terletak di mulut. Anak-anak akan merasakan kesenangan ketika mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya, seperti saat buang air kecil atau buang air besar. Biasanya mereka bisa berlama-lama di toilet, girang melihat tumpukan kotorannya, bahkan terkadang dipermainkannya kotoran itu. Fase ini disebut periode anal.

Kepribadian anak-anak berkembang menuju periode genital. Apa yang menjadi kesenangan mereka bergeser, menjadi periode persiapan untuk menjadi orang yang lebih dewasa. Pergeseran itu ditandai dengan kesenangan mempermainkan alat kelamin mereka atau malah memperlihatkannya kepada orang tua mereka. Masa ini dinamakan periode genital.

Teori Freud di atas menunjukkan bahwa kebutuhan anak-anak masih terkonsentrasi pada hal-hal fisik saja, belum menyentuh aspek rohani. Namun, kepribadian dan kebutuhan manusia berubah dan berkembang. Perihal abstrak seperti kebutuhan spiritual muncul seiring kedewasaan seseorang terbentuk.

Baca Juga  Moderasi Islam ala Gus Dur

Lain cerita jika seseorang mengalami hambatan kepribadian atau yang disebut fiksasi. Orang yang sudah dewasa sekalipun, sangat mungkin hanya merasakan kenikmatan pada makanan, minuman, atau seksual. Bedanya, makanan serta minuman itu adalah simbol dari kepemilikan kekayaan. Kepuasannya terhenti pada penumpukan harta benda atau sekadar pemenuhan hasrat seksual. Seperti inilah orang yang kepribadiannya terhambat.

Nafsu makan, minum, seksual, emosional yang bergejolak, kesemuanya adalah hasrat konkret yang disenangi manusia. Dapat terindera dan sifat pemenuhannya menuntut sesegera mungkin. Dengan kerangka teori Freud di atas, orang yang terjebak pada pemenuhan kesenangan yang bersifat fisik, tak ubahnya anak-anak. Kepribadiannya macet, tak berkembang meskipun berada di usia yang matang. Ia masih mengejar kenikmatan dari mempermainkan alat kelamin atau memasukkan segala hal ke mulutnya.

Manusia yang tak mengalami hambatan kepribadian akan memasuki fase kebutuhan yang lebih abstrak dan relatif prinsipil, seperti halnya kebutuhan intelektual, informasi, juga spiritual. Perkembangan kesadaran akan ragam kebutuhan manusia ibarat piramida. Di level paling bawah, manusia fokus pada pemuasan kebutuhan biologisnya, seperti makan dan minum. Kian tinggi bagian piramida, pertanda kian abstrak pula hal yang menjadi sumber kesenangannya.

Dalam Islam, penyempurnaan spiritual adalah tingkat tertinggi kebutuhan manusia. Temuan riset yang menyebut berpuasa membuat seseorang berpikir lebih filosofis menjadi penegasan keampuhan puasa sebagai ritual olah spiritual. Dalam berpuasa, tiga periode kesenangan, baik oral, anal, maupun genital, semuanya harus tunduk pada moral unik dari ajaran puasa. Kita pantang mencari kenikmatan dari tiga unsur tersebut saat sedang berpuasa.

Bulan Ramadhan melatih kita untuk mengembangkan kepribadian. Melatih kedewasaan spiritual akan membawa kita pada puncak piramida kualitas manusia. Kita menempa diri untuk mi’raj menuju tahapan rohani yang lebih tinggi. Meninggalkan hasrat-hasrat jasmani, dan hanya menjadikannya sebagai pijakan menuju proses capaian spiritual yang sakral.

Manusia adalah gabungan antara roh dan tubuh. Seseorang yang terikat kuat dengan sisi jasmaninya, akan mudah terpengaruh oleh perubahan ‘cuaca’. Ia akan kepanasan ketika suhu udara naik, dan kedinginan saat suhu menurun. Sebaliknya, jika kendali rohani mendominasi, seseorang akan mampu mencipta. Ia tak sakit hati saat orang lain melukai hatinya. Tak akan marah ketika seharusnya marah. Ada rumusan asimetris yang terpancar dari seseorang dengan spiritualitas mumpuni. Orang tersebut bebas berkreasi karena nafsu jasmani di bawah kendali rohaninya.

Puasa merupakan tindakan spiritual melalui jalur fisik. Puasa merefleksikan pengorbanan diri dan kepatuhan, karena seorang yang puasa termasuk golongan yang mendahulukan kehendak Allah di atas kehendaknya. Berpuasa dengan kesadaran iman dan pendewasaan jiwa adalah cara mendekatkan diri kepada-Nya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.