Tips Menghindari Overthinking Sebelum Tidur ala Imam al-Ghazali

KhazanahTips Menghindari Overthinking Sebelum Tidur ala Imam al-Ghazali

Malam hari yang mestinya adalah waktu rehat, justru kerap jadi ajang hilir mudik beragam pikiran. Situasi berpikir berlebihan tersebut, oleh muda-mudi generasi sekarang diistilahkan dengan overthinking. Gangguan menjelang tidur semacam itu akan berdampak pada kualitas tidur seseorang hingga berefek pada produkivitasnya di esok hari. Pola overthinking terbentuk ketika sirkulasi pikiran seseorang cenderung terus memikirkan hal yang telah berlalu atau terlalu khawatir pada sesuatu yang belum terjadi. Yang lebih lanjut bisa mengganggu kesehatan mental.

Imam al-Ghazali dalam karyanya Bidayah al-Hidayah menulis serangkaian panduan etika dalam kehidupan keseharian kita. Walapun terma overthinking adalah produk masa sekarang, tapi nasihat-nasihat sarjana klasik seperti Imam al-Ghazali nampaknya akan terus kompatibel dengan isu semacam itu.

Perenungan atau refleksi merupakan hal yang penting dilakukan, sebagai upaya koreksi diri untuk kemudian diperbaiki di hari esok. Hanya saja, proses berpikir yang berlebihan terkadang ditafsirkan sebagai refleksi diri. Padahal keduanya berbeda. Refleksi adalah semacam kemampuan untuk mencari solusi dan perspektif baru, sedangkan overthinking identik dengan tidak berkutik terhadap masalah yang ada. Imam Al-Ghazali mendorong agar proses perenungan diri ditujukan untuk memperbaharui kesadaran kehambaan kita kepada Allah SWT.

Memantik kesadaran diri sebagai seorang manusia sekaligus hamba Tuhan menjadi langkah awal untuk menciptakan ketenangan pikiran. Sebelum beranjak tidur, Imam al-Ghazali menghimbau agar memastikan kesucian diri kita dengan berwudhu serta menginsafi kesalahan yang telah berlalu. Tidur ibarat training kematian. Karenanya kesucian diri dan hati penting dipersiapkan. Imam al-Ghazali juga menyarankan agar kita melakukan afirmasi pada diri, bahwa esok hari kita akan sekuat tenaga menjadi sosok yang lebih baik dan berlaku saleh. Sebab, hanya amal baik pula yang akan menjadi teman setelah kematian.

Setelah bersuci dan refleksi diri, saran selanjutnya adalah meniatkan diri untuk bangun di akhir malam. Karena tahajud adalah shalat yang sangat utama, bahkan dulu shalat malam adalah ibadah wajib sebelum adanya ketentuan shalat lima waktu. Imam al-Ghazali menuturkan, bahwa dua rekaat di penghujung malam adalah khazanah kebaikan. Selain akan menjadi harta di akhirat kelak, sujud malam adalah mata air ketenangan jiwa.

Bangun pikiran, bahwa di akhir malam nanti kita akan berdialog intens dengan Allah, menumpahkan dan mengonsultasikan segala persoalan hidup yang kita tanggung. Dengan demikian, prosesi menuju istirahat malam kita tak akan terusik dengan pikiran-pikiran yang tak perlu, karena ada Tuhan yang siap mendengar keluh hamba-Nya di ujung malam.

Baca Juga  Gus Muwafiq: Menolak Bendera HTI Bukan Menolak Kalimat Tauhid

Dan terakhir, jangan lalai untuk melangitkan doa-doa. Doa adalah ilustrasi dialog kita dengan Tuhan. Dan Dia senang mendengar rintih dan rengekan hamba-Nya. Di samping doa sebelum tidur, Imam al-Ghazali menyarankan agar membaca ayat kursi, dua ayat terakhir surat al-Baqarah, surat al-Ikhlas, al-Falaq, al-Nas, serta al-Mulk. Tidur dalam kondisi suci yang diiringi dengan dzikrullah, akan menjauhkan pikiran-pikiran negatif dan menempatkan kita dalam zona ketenangan.

Terlalu banyak berpikir adalah lingkaran yang tak produktif dari proses berpikir. Overthinking secara lebih jauh dapat menimbulkan gejala kronis pada psikis seseorang, seperti gangguan kecemasan (anxiety disorder), perubahan mood secara drastis, hingga depresi. Dalam jurnal berjudul Emotional Knots and Overthinking yang ditulis oleh Domina Petric (2018), dikatakan bahwa overthinking mengaktifkan bagian-bagian otak yang dapat memproduksi kecemasan dan rasa takut. Bukan jalan keluar yang akan diperoleh, overthinking justru menghambat penyelesaian masalah.

Dalam Islam sendiri sudah dikenal konsep tentang larangan overthinking, yaitu larangan berandai-andai dan terlalu sibuk memikirkan yang belum terjadi. Berandai-andai, termasuk di dalamnya mengandaikan sesuatu yang telah terjadi, yang biasanya didorong karena rasa menyesal atau kecewa. Ada unsur ketidakrelaan atas ketentuan Tuhan dalam pengandaian semacam itu. Seorang yang mau menerima apa yang sudah terjadi dan tidak berlarut memikirkannya adalah cermin mukmin yang kuat.

Di lain tempat, kita juga dilarang terlalu jauh memikirkan hal yang belum terjadi. Imam al-Ghazali menerangkan tentang bahaya pikiran demikian dengan mengatakan, “Jangan panjang angan, sehingga membuatmu susah untuk beramal”. Manakala pikiran tersita untuk memikirkan hal yang terlalu jauh, apa yang seharusnya kita lakukan di masa sekarang akan terbengkalai.

Nasihat al-Ghazali itu selaras dengan wejangan Marcus Aurelius, seorang filsuf Stoa kuno, bahwa jangan sampai masa depan (hal-hal yang belum terjadi) mengganggu kita. Karena pada saatnya nanti kita akan menemuinya juga, dengan senjata alasan yang sama dengan yang mempersenjatai kita untuk melawan hari ini. Singkatnya, jalani saja sebaik mungkin apa yang ada di hadapan kita. Karena jika memang sudah takdirnya, masa depan akan tetap menjadi jatah kita. Mari kelola pikiran dengan seksama demi kehidupan yang tertata! Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.