Menjadi Ulama Tak Menghalangi Syekh Yusri Berprofesi Dokter

Dunia IslamMenjadi Ulama Tak Menghalangi Syekh Yusri Berprofesi Dokter

Pemandangan yang cukup langka ketika seorang dokter juga merupakan ulama besar. Adalah Syekh Yusri Rusydi al-Hasani, seorang ulama Mesir yang juga berprofesi sebagai dokter. Bukan dokter umum, ulama kharismatik al-Azhar ini adalah seorang dokter spesialis bedah. Kesadaran diri, rasa ingin tahu yang besar, dan kecintaannya pada ilmu membuat Syekh Yusri tak pernah berjarak dengan pengetahuan. Sembari menggeluti bidang kedokteran, ilmu agama pun tekun ia selami.

Lahir di daerah Road el Farag, Kairo, Mesir pada 23 September 1954. Bernama lengkap Yusri Rusydi Gabr al-Hasani. Namanya diambil dari nama dokter yang membantu saat ia dilahirkan. Syekh Yusri memiliki nasab istimewa karena tersambung kepada Sayyidina Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Dengan kata lain, ia adalah Ahlul Bait Rasulullah SAW.

Berbeda dengan rerata ulama al-Azhar yang fokus menekuni bidang keagamaan, Yusri muda memulai kembara akademisnya dengan menempuh ilmu kedokteran. Ia berhasil merampungkan strata satu di Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Kairo pada tahun 1978 dengan predikat sangat baik. Lima tahun berselang (1983), gelar Magister diraihnya dalam bidang Bedah Umum dan Bedah Vaskular dari kampus yang sama. Tak cukup di situ, Syekh Yusri melanjutkan studi doktoral dan berhasil menyabet gelar Doktor dalam bidang Bedah Umum di tahun 1991. Satu tahun kemudian ia menjadi anggota Persatuan Dokter Bedah Internasional.

Proses mengkaji ilmu agama sudah dijalani Syekh Rusydi sejak masih kuliah kedokteran. Di sela-sela kesibukan belajarnya, ia aktif mendatangi majelis-majelis keagamaan, menemui para syekh terkemuka untuk digali ilmunya. Kesibukannya memburu kajian keagamaan bahkan sempat membuat Syekh Yusri keteteran membagi waktu dengan studi kedokterannya hingga nilainya anjlok.

Bukan tanpa alasan, Syekh Yusri menemukan alasan autentik mengapa dirinya merasa harus mendalami ilmu agama. Di tahun 70-an ketika dirinya kuliah, banyak aliran pemikiran yang mengemuka, mewarnai beranda pemikiran masyarakat Mesir kala itu. Tidak satu dua kali Syekh Yusri mendapat ajakan untuk bergabung pada kelompok garis keras. Selebaran Shalih Siriyah, Syukri Mustofa (pemimpin kelompok takfiri), dan lain-lain silih berganti mendatanginya. Sedangkan ia adalah mahasiswa dengan wawasan agama sekadarnya yang khawatir terjerumus pada pemikiran keliru.

Keadaan yang membingungkan tersebut mendorong Syekh Yusri untuk menghafal al-Quran. Sebab, menurutnya ia harus memulai dari sesuatu yang jelas, dan al-Quran sudah jelas disepakati (muttafaq ‘alaih), sedangkan pemikiran-pemikiran tadi masih diperselisihkan. Di bawah bimbingan Syekh Abdul Hakim Khathir, pada tahun 1985 Syekh Yusri merampungkan hafalannya. Ia menghafal melalui riwayat Hafsh yang sanadnya muttashil (bersambung) sampai Rasulullah SAW.

Hal lain yang membuat Syekh Yusri merasa wajib belajar agama secara mendalam adalah perkataan seseorang dalam bus menuju Madinah saat ia sedang umrah. Lelaki itu mengatakan kepada para penumpang untuk tidak berniat menziarahi makam Nabi, melainkan masjid Nabi. Syekh Yusri pun merasa kecintaannya pada Nabi dengan menziarahi pusara beliau digugat oleh omongan lelaki tadi. Sebab itu, ia gigih belajar agama untuk agar tahu apakah prinsipnya yang dipegang selama ini benar atau malah sebaliknya.

Baca Juga  Jangan Jadi 'Layangan Putus'

Syekh Yusri berguru pada banyak ulama sejak di bangku kuliah. Selama tiga tahun, dari 1978 sampai 1981 ia mempelajari sekaligus mendapat ijazah Shahih Bukhari, Ihya Ulumi al-Din, Hasyiyatai Qalyubi wa ‘Umairah, serta kitab-kitab lain di bidang hadis dan fikih dari Syekh Muhammad Nagib al-Muthi’i.

Ulama besar Maroko bernama Syekh Abdullah ibn Shiddiq al-Ghumari bisa dikatakan sebagai guru yang paling berpengaruh bagi Syekh Yusri. Selain mendapat ijazah kitab al-Syamail al-Muhammadiyah serta sejumlah kitab lain, Syekh Yusri pun diberi ijazah Thariqah al-Shiddiqiyyah al-Syadziliyyah di tahun 1980 oleh Syekh al-Ghumari. Lalu kepada mantan mufti Mesir, Syekh ‘Ali Jum’ah, Syekh Yusri pun mempelajari banyak kitab darinya, antara lain Jam’u al-Jawami’, al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Muqaddimah ibn Shalah, dan sebagainya.

Baru setelah menyelesaikan tanggung jawab studi kedokterannya, pada tahun 1992 Syekh Yusri memulai pendidikan formalnya di Universitas al-Azhar. Ia lulus dari jurusan Syariah Islamiah fakultas Syariah wa al-Qanun pada 1997 dengan predikat baik sekali (jayyid jiddan). Dengan belajar di al-Azhar, Syekh Yusri kian menemukan milieu yang disenanginya.

Masa-masa kuliah di al-Azhar juga diisinya dengan berguru kepada para ulama besar. Sebut saja Syekh Nashr Farid Washil (Mantan Mufti Mesir), Syekh Rabi’ Gauhari (Anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar), juga Syekh Kamal al-‘Annani (Ahli Fikih terkemuka al-Azhar). Selain yang tercatat di atas, masih banyak nama ulama yang menjadi guru Syekh Yusri.

Semangat seorang pecinta ilmu benar-benar terpancar dari sosok Syekh Yusri. Ia menjadikan belajar sebagai jalan pencerahan. Karena kesungguhan serta ketekunannya dalam mencari ilmu, kini ia dikenal luas sebagai ulama kharismatik al-Azhar. Menjadi seorang yang berpengaruh dengan pengikut yang melimpah dari berbagai kawasan. Selain tetap mengabdikan diri sebagai dokter, Syekh Yusri juga aktif mengisi berbagai majelis dan kajian.

Baginya, bisa mempelajari ilmu agama dan kedokteran di waktu bersamaan merupakan taufik dari Allah. Dilengkapi dengan konsistensi serta kesabaran dalam prosesnya. Agama dan medis bukan sesuatu yang berseberangan. Menurutnya, kedokteran adalah bagian dari agama, dalam konteks memberikan pertolongan, menasihati orang untuk hidup sehat dan terhidar dari sakit, serta memotivasi yang sakit agar kuat menjalaninya. Jika Nabi mengatakan agama adalah nasihat, maka ilmu kedokteran adalah bagian integral dari agama.

Syekh al-Ghumari pernah menasihati Syekh Yusri, kala itu ia merasa tak perlu melanjutkan studi kedokterannya dan hanya ingin mendalami agama. Sang guru menegaskan, bahwa di manapun Allah menempatkan kita, di situ pula kita dapat beribadah kepada-Nya. Kerjakan jatah kita dengan baik, karena Allah memilihkan itu untuk kita.

Cinta ilmu, pemahaman penuh akan peran sebagai manusia, serta kesadaran bahwa profesi dokter pun bisa menjadi medium berbakti pada Tuhan, telah memantapkan langkah Syekh Yusri sebagai seorang dokter yang juga ulama. Pekerjaan apapun yang ditunaikan karena Allah, predikatnya adalah ibadah. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.