Nabi Musa Diperintahkan Berkata Lembut Pada Fir’aun yang Zalim

KhazanahNabi Musa Diperintahkan Berkata Lembut Pada Fir’aun yang Zalim

Dalam al-Quran ada banyak kisah-kisah perumpamaan untuk diambil ibrahnya. Sebagaimana dalam surat Thaha tentang Nabi Musa as yang diperintahkan Allah SWT agar berkata lembut kepada Fir’aun. Padahal, kezalimannya sudah jelas karena mengakui dirinya sebagai Tuhan dan pantas disembah. Kisah ini menjadi pedoman bagi umat Islam yang bertaqwa akan perlunya berkata lemah lembut untuk mengajak pada kebaikan dan kebenaran, kendati seseorang tersebut telah berbuat tercela.

Allah SWT berfirman, Dan Aku telah memilihmu (menjadi rasul) untuk diri-Ku. Pergilah engkau beserta saudaramu dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan)-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku. Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena ia benar-benar telah melampaui batas. Maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut (QS. Taha: 41-44).

Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-misbah, menafsirkan ayat tersebut sebagai pentingnya penekanan tentang perlunya sikap bijaksana dalam berdakwah dan berbicara, walau yang dihadapi manusia yang sedemikian durhaka, seperti Fir’aun, dalam arti kata menyampaikan dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati dalam penggapaian hidayah. Namun, bukan pula tidak boleh melakukan kritik, tetapi penyamapaian dengan sasaran, waktu, dan tempat yang tepat, serta susunan katanya bukan dengan memaki atau memojokkan

Oleh karena itu, telah jelas bahwa akhlak mendahului ilmu. Sebab pada hakikatnya, tingginya ilmu seseorang dilihat melalui perilakunya menghadapi manusia lain. Meski dirinya benar dan orang lain salah, tidak seharusnya menghakimi kesalahan orang sesuka hati. Namun, orang yang berkualitas ilmunya tetap bersikap bijaksana, tidak gegabah atau emosional sekalipun yang dihadapinya perkara yang zalim.

Tidak semua yang jahat dibalas dengan kejahatan dan membalas kebaikan hanya kepada yang baik. Dunia ini masih menjadi baik, ketika ada kesadaran orang bisa menyikapinya tanpa melulu mengedepankan hawa nafsu atau balas dendam, karena kebencian hanya akan memunculkan masalah baru bagi diri sendiri. Maka dari itu, balas dendam terbaik adalah memberi pelajaran dengan fokus meningkatkan kualitas diri, memilih memaafkan atau memberi contoh yang baik sebagai balasannya, ini yang lebih utama.

Baca Juga  Awal Berkembangnya Pemalsuan Hadis

Jika dilihat, ketimbang membalas seluruh kezaliman Fir’aun dengan kejahatan kembali, Nabi Musa di sini dididik agar menempuh jalan kedamaian oleh Allah SWT. Demikian Nabi Musa sebagai manusia pilihan Tuhan menjadi teladan level tertinggi dalam cara menyikapi suatu balasan, yakni membalas keburukan dengan kebijaksanaan kebaikan. Tak luput, arti kata berbuat baik bukan berarti tidak boleh melemparkan kritik. Kritik itu perlu disampaikan sebagai kepedulian terhadap situasi sosial dengan tujuan mendatangkan maslahat, bukan menambah kemudharatan.

Saat menemui orang yang dinilai menyimpang, berbuat amoral, atau sejenisnya tak jarang muncul keinginan membalas perlakuan yang sama atau membuatnya jera. Namun, teladan kisah Nabi Musa as menghadapi Fir’aun ini sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari, karena itu patut kita renungkan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.