Era Baru Produk Halal Indonesia

KolomEra Baru Produk Halal Indonesia

Beberapa hari ini, media sosial diramaikan dengan pro-kontra logo Halal baru yang dikeluarkan Kementerian Agama. Banyak pihak meributkan desain logo tersebut, mulai dari bentuknya, tulisannya, warnanya. Keriuhan perdebatan yang lagi-lagi yang hanya terjebak pada simbol ini, tidak begitu substantif dan akan mereda setelah simbol atau logo tersebut beredar di produk-produk pasaran. Namun, ada juga yang penting untuk direspon, yakni keraguan masyarakat terhadap kewenangan Kemenag untuk mengeluarkan sertifikat Halal yang sebelumnya dipegang oleh MUI. 

Iklim pro-kontra yang muncul dalam setiap peristiwa perubahan semacam ini, penting dimanfaatkan sebagai momentum sosialisasi. Dalam konteks ini, sosialisasi bagi era baru produk Halal Indonesia yang sebenarnya telah berlangsung sejak 2014. Tonggak peningkatan tata kelola sertifikasi Halal telah berlangsung cukup lama, tepatnya setelah pengesahan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Undang-undang ini mengatur bahwa semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia harus bersertifikat halal. Dengan penerapan UU JPH tersebut, Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang mewajibkan sertifikasi halal bagi produk-produk di pasarnya.

Untuk mencapai target besar tersebut, pemerintah tentu perlu bertanggung jawab langsung dalam penyelenggaraan jaminan produk halal secara menyeluruh dan berskala nasional. Inilah inti dari perubahan logo dari Halal MUI menjadi Halal Indonesia. Perubahan ini tidak terjadi dalam sekejap dan tanpa proses, tetapi telah melalui sejarahnya sendiri, terutama dalam dua dekade belakangan. Sebelumnya, di bawah LPPOM MUI, sertifikasi halal hanya bersifat opsional dan tidak wajib. Bahkan banyak produk menampilkan cap halal tanpa sertifikasi MUI. Sedangkan, sejak pengelolaan sertifikasi halal dilakukan oleh pemerintah pusat, semua produk yang dipasarkan di Indonesia wajib mengantongi sertifikat Halal Berdasarkan amanat UU JPH. 

Sertifikasi Halal yang kini dikelola oleh pemerintah pusat pun menjadi jauh lebih murah dan mudah. Dari segi biaya, sistem sertifikasi halal yang dikelola lembaga non-pemerintah cenderung lebih mahal daripada yang dikelola lembaga pemerintah. Sebab, pemerintah memiliki kemampuan untuk mensubsidi atau memangkas biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk membuat sertifikat Halal bagi produknya. Bahkan, bagi usaha kecil, pemerintah bertanggung jawab untuk menanggung biaya sertifikasi tersebut.

Baca Juga  Mensifati Kebaikan dengan Memberi

Jadi, perubahan  sistem manajemen sertifikasi halal ini terjadi bukan karena sistem sebelumnya tidak profesional. Sistem sebelumnya sudah berjalan dengan baik, hanya saja karena dinamika dan tuntutan pasar global, Indonesia harus lebih proaktif dalam meningkatkan sistemnya dan memanfaatkan peluang. Pasalnya, berdasarkan laporan dari State of Global Islamic Economic Report 2020-2021, industri halal merupakan bagian dari ekosistem pasar global dengan potensi ekonomi yang sangat besar untuk saat ini dan kedepannya. 

MUI sebagai LSM selama ini telah menjadi satu-satunya lembaga yang mengurus dan mengeluarkan ‘cap Halal’. Tentunya ini menjadi titik kelemahan yang tak terbantahkan dalam memenuhi target produk halal berskala Nasional yang akan mewarnai pasar internasional ini. Terbukti bahwa hingga kini, tidak semua produk yang beredar memiliki sertifikat halal atau terjamin kehalalannya sebagaimana yang ingin diwujudkan negeri ini. Dalam beberapa penelitian, produk bersertifikat Halal di Tanah Air belum mencapai 40% dari total seluruh produk yang beredar di pasaran.

Kondisi inilah yang memperkuat pentingnya peran pemerintah dalam memastikan sertifikasi halal secara total. Tidak sedikit yang berasumsi bahwa pemerintah merebut hak MUI yang telah merintis jaminan produk Halal di negeri ini. Asumsi ini tidak tepat, karena dengan menjalankan amanat UU JPH,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi mitra BPJPH yang bertugas memfasilitasi sidang fatwa oleh ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim dalam menentukan kehalalan dalam proses sertifikasi halal yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. 

Jadi, perubahan logo dari Halal MUI yang dirilis tahun 2007 lalu, menjadi Halal Indonesia yang terbit tahun ini adalah bentuk komitmen pemerintah untuk meningkatkan tata kelola sertifikasi halal, terutama demi mewujudkan jaminan hukum kehalalan suatu produk bagi seluruh rakyat Indonesia. Dibalik logo Halal Indonesia yang baru dan unik itu, ada desain sistem sertifikasi halal yang ditingkatkan menjadi lebih efektif, efisien, dan akuntabel, yang siap diimplementasikan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.