Mukmin Sejati Selalu Belajar Mengambil Hikmah

KolomMukmin Sejati Selalu Belajar Mengambil Hikmah

Segala hal terjadi karena ketentuan Allah. Entah itu sesuatu yang dianggap baik atau sebaliknya. Harus diakui, kita sering tidak menerima atas keburukan atau musibah yang terjadi. Hal ini karena kita masih terhenti pada permukaan takdir yang nampak tak menyenangkan itu. Seorang yang nyata beriman akan bergerak lebih jauh dan menyelam lebih dalam untuk menemukan hikmah yang diselipkan Tuhan dari beragam peristiwa di kehidupan kita.

Mengambil hikmah berarti berusaha memahami secara mendalam pada apa yang terjadi untuk mencari makna di baliknya. Dari situ terpancarlah kemudian kebijaksanaan diri. Hikmah hadir dari proses panjang perenungan, merangkai kaitan atau hubungan yang ada, serta menelaah tentang sumber dan proyeksi tujuan dari sesuatu. Seseorang yang selalu berusaha mencari hikmah biasanya tampil luwes, tidak reaktif, optimis, dan dewasa.

Quraish Shihab menjelaskan, bahwa hikmah di antaranya diambil dari kata “hakama” yang berarti menghalangi. Dari situ terbentuklah kata yang bermakna kendali, yaitu sesuatu yang berfungsi mengantarkan pada yang baik dan menghindarkan dari yang buruk. Untuk mencapai maksud itu, dibutuhkan pengetahuan serta kemampuan untuk menerapkannya.

Thahir ibn al-Asyur menggarisbawahi bahwa hikmah merupakan himpunan pengetahuan yang mengarah pada perbaikan, kebaikan, serta kepercayaan manusia secara berkesinambungan. Singkat kata, hikmah adalah pengetahuan yang menunjukkan kebaikan dan di saat yang sama menjauhkan dari keburukan. Yang mana diperlukan usaha untuk menemukan dan menampilkannya dalam kehidupan.

Dalam suatu riwayat hadis populer disebutkan, dari Ibrahim ibn Fadhl, dari Sa’id al-Maqbury, dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Kalimat hikmah adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukmin, di mana saja ia mendapatkannya maka ia lebih berhak atasnya (HR. Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Di lain riwayat, dengan redaksi yang tak jauh berbeda, ditegaskan bahwa Hikmah itu adalah suatu yang hilang dari seorang mukmin, di mana saja ia mendapatkannya maka ia mengambilnya.

Setelah diteliti, hadis ini diriwayatkan dengan beragam lafaz yang hampir sama oleh sejumlah ulama. Ternyata secara kualitas hadis ini lemah dan tidak sah untuk dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Para ulama pun sepakat atas kelemahannya. Imam al-Tirmidzi sendiri misalnya, mengomentarinya dengan berkata, “Ini adalah hadis gharib, kami tak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Dan Ibrahim ibn Fadhl al-Makhzumi lemah dalam periwayatan hadis dari segi hafalannya.”

Sekalipun kelemahan hadis ini disepakati para ulama dan tidak benar riwayatnya dari Nabi, akan tetapi makna hadis tersebut sahih. Lafaznya adalah kalimat yang bermanfaat dan tidak menyalahi atau bertentangan dengan nash syariat. Makna hadis itu dikuatkan oleh keumuman nash (al-Quran serta hadis). Sebab itu, sudah sepantasnya kita tetap menerima kandungan maknanya, namun tanpa menyandarkannya kepada Rasulullah SAW.

Ada ayat al-Quran yang bisa menguatkan makna hadis di atas. Di antaranya adalah surat Yunus ayat 94 yang berbunyi, Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu-ragu. Serta ayat 43 dari surat al-Nahl, Allah berfirman, Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tak mengetahui.

Kedua ayat ini menekankan pada upaya mencari tahu suatu pengetahuan ketika kita ada dalam situasi ragu ataupun tidak tahu. Proses belajar dan memahami adalah pangkal dari penemuan hikmah. Jika membiarkan diri diombang-ambing keraguan dan ketidaktahuan, kita tak akan mencapai kebenaran serta kebaikan yang Allah sediakan. Selaras dengan penjelasan Quraish Shihab, bahwa hikmah adalah penunjuk kebaikan, yang perlu pengetahuan untuk mencapai dan menerapkannya.

Baca Juga  Kelompok Takfiri Kafirkan Sayyidina Ali

Hadis tersebut mengabarkan salah satu karakter ideal seorang mukmin. Hikmah untuk orang mukmin itu seperti sesuatu yang hilang bagi orang yang kehilangan hal itu, di mana ia akan selalu mencari dan mengerahkan tenaga untuk mendapatkannya. Ketika ditemukan, hikmah akan dianggap berharga oleh seorang mukmin.

Kita bisa mengurai korelasi antara mukmin dengan hikmah. Satu hal yang pasti, Allah tidak secara cuma-cuma menetapkan sesuatu tanpa menyertainya dengan pelajaran. Berusaha mencari hikmah dari suatu peristiwa merupakan konsekuensi dari keimanan kita terhadap ketentuan Allah. Bukankah mempercayai takdir baik dan takdir buruk adalah bagian dari rukun iman?

Memang sangat manusiawi, terhadap takdir baik, umumnya manusia tidak akan komplain atau bertanya-tanya. Namun, untuk ketetapan yang tak menyenangkan, ada yang bahkan lancang menggugat Tuhan. Dengan memahami hikmah, seseorang tak akan pernah menilai Tuhan tak adil.

Mencari hikmah adalah upaya untuk mengonversi takdir yang dirasa buruk menjadi hal yang tetap disyukuri adanya. Dengan itu manusia akan mampu bertahan menikmati apapun yang Allah gariskan. Karena skenario Tuhan adalah yang terbaik bagi hamba-Nya. Muara dari pencarian hikmah adalah rasa syukur, buah dari keimanan yang dioperasikan untuk memahami kehendak Tuhan atas makhluk.

Berbicara tentang hikmah, kita akan melihat arena pemikiran seputar kearifan, pemahaman, penerimaan, pemberian dan kebaikan Tuhan dalam banyak aspek kehidupan. Kesemuanya terikat dalam hubungan saling menyempurnakan serta mengisi satu sama lain, yang tak akan terpenuhi kecuali didasarkan kebijaksanaan. Hubungan kemitraan antarmakhluk pun bakal selaras manakala disokong pengetahuan terhadap hikmah penciptaan.

Seorang yang benar beriman tak akan keberatan mengambil kebijaksanaan dari apapun dan siapapun. Bahkan, rasa tak sukanya terhadap seseorang tidak akan membuat ia menolak hikmah dan kebaikan dari orang yang tak disenangi tersebut. Artinya, mukmin sejati akan selalu mengakui dan tidak menutupi kebijaksanaan dari siapapun. Ada syair yang mengatakan, “Jangan kau meremehkan pandangan yang itu sesuai dengan hukum kebenaran, hanya karena datang dari seorang yang kurang.”

Hidup yang dijalani dengan terus belajar mengambil hikmah akan bertahan melaju dalam jalur kebaikan. Secara personal kita bisa menjadi seorang yang penuh optimisme dan kelapangan hati. Dalam skala lebih luas, pribadi-pribadi pencari hikmah akan membentuk komunitas dengan pergaulan sosial yang harmonis dan saling mengerti. Demikianlah mukmin-mukmin sejati yang tak henti belajar memahami pertanda dari Tuhan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.