Jangan Mudah Terhasut Kebencian

KolomJangan Mudah Terhasut Kebencian

Belum lama ini beredar sebuah video yang merekam sekelompok wanita Muslimah menginjak-injak gambar Menag Yaqut Cholil.  Beberapa diantaranya mengacungkan jari tengah ke gambar tersebut. Di tempat lain, ada juga sekelompok orang yang melakukan aksi protes dengan membawa yang spanduk bergambar Menag Yaqut dan anjing. Ekspresi ekstrem ini nampaknya dilakukan lantaran mereka terprovokasi kontroversi Peraturan Toa Masjid. Terutama atas pernyataan Menang Yaqut tentang gangguan kebisingan suara toa masjid, yang jika tidak diatur dengan baik, sama berisiknya dengan gonggongan anjing. 

Provokasi dan ujaran kebencian tidak pernah gagal dalam mempermainkan sentimen agama di negeri ini. Tidak sedikit Muslim yang mudah terhasut pesan-pesan kebencian dan retorika permusuhan. Benih-benih ketakutan, intoleransi, dan ketidakpercayaan menyebabkan ketegangan sosial dan politik yang serius dan kerap mengakibatkan kekerasan di dunia nyata. Provokasi dan ujaran kebencian tentu, tidak diragukan lagi, amat berbahaya.

Dalam sejarah Islam, kita telah melihat konsekuensi fatal dari ujaran kebencian dan provokasi. Misalnya, pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra, ada seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ yang mengaku beragama Islam. Dia menyebarkan khutbah kebencian terhadap para khalifah. Ibn Saba menuduh Khalifah Utsman RA sebagai orang yang tidak adil yang menyalahgunakan wewenangnya dan menghasut orang untuk memprotes dan memberontak melawannya.

Narasi kebencian ini berhasil mempengaruhi orang-orang yang mengarah pada penyerangan dan pembunuhan Khalifah Utsman RA. Sementara mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu dihukum, Ibn Saba’ yang memulai dan menyebarkan ujaran kebencian tidak mengalami konsekuensi apa pun. Waktu itu, belum ada bukti standar untuk menentukan bahwa khutbah-khutbah Ibn Saba’ adalah alasan utama di balik pembunuhan Khalifah Utsman ra.

Bahaya provokasi dan ujaran kebencian terus berevolusi seiring perkembangan zaman. Dengan maraknya media sosial dan dunia online, perbedaan pendapat menjadi lebih mudah berkembang menjadi penghinaan, dehumanisasi, bullying, dan anarkisme. 

Bagaimana seharusnya umat Islam menanggapi provokasi dan ujaran kebencian yang disebarkan dengan sengaja untuk menciptakan kekacauan itu? Bagaimana kita mempertahankan sikap terpuji sebagian besar Muslim Indonesia yang ramah, toleran, dan tidak mudah berpecah-belah?

Pada dasarnya, Islam berarti perdamaian dan ketenangan. Sebelum bereaksi terhadap sebuah berita dan mengeluarkan ekspresi sebagai seorang Muslim apalagi atas nama Islam, kita harusnya mengingat bahwa selalu ada cara untuk menampilkan keindahan dan kebaikan Islam. Cara terbaik bagi umat Islam untuk mewujudkan keimanan adalah melalui perbuatan dan tindakan yang baik dan terukur. Oleh karena itu, setiap tindakan agresif dan kekerasan tidak hanya bertentangan dengan keimanan diri sendiri, tetapi juga merugikan agama. Respons berlebihan yang tidak proporsional adalah pelanggaran dan ekstremisme yang dilarang dalam Islam.

Dalam konteks kejadian sekelompok Muslimah menginjak-nginjak dan melecehkan gambar wajah Menag baru-baru ini, umat Islam perlu bertanya, bagaimana Islam bisa dilihat sebagai “rahmat bagi alam semesta” dengan menginjak-injak dan melecehkan foto seseorang yang dihormati dan disegani sebagian bangsa Indonesia?

Baca Juga  Ngopi Asyik With Bung Karno

Menghindari ujaran Kebencian dan provokasi memang tidak mudah, terutama saat cara-cara seperti ini sering dijadikan sebagai alat politik. Tetapi, ayat-ayat al-Quran dengan jelas membimbing kita dalam hal perilaku dan cara bereaksi, yakni dengan seruan pada kebaikan, kesopanan, dan menjauhi kerusakan. “Dan hendaklah ada suatu golongan di antara kamu yang menyeru kepada kebaikan, menganjurkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah yang akan beruntung.” (QS Ali Imran:104). 

Jadi, ada alasan kuat untuk menolak dan mengacuhkan segala bentuk tulisan atau perkataan yang mengandung kebencian, provokasi, dan hoax. Sebab al-Quran mengajarkan kita untuk menjadi agen penebar kebaikan, menggunakan retorika yang bagus, dan ekspresi yang positif. Dengan mengabaikan narasi buruk, kita tidak akan ikut terpancing untuk ikut mendukung atau membagikannya pada orang lain.

Membagikan narasi kebencian yang kita terima, sama saja dengan ikut mengatakannya, meskipun bukan kita yang membuatnya. Al-Quran mengingatkan kita untuk menahan diri dari ucapan yang tidak pantas dan perbuatan yang memicu perselisihan, “Katakan kepada hamba-hamba-Ku yang beriman untuk mengatakan yang terbaik saja. Setan tentu saja berusaha untuk menabur perselisihan di antara mereka. Setan memang musuh bebuyutan bagi umat manusia.” (QS. Al-Isra’: 53)

Pada intinya, Islam memerintahkan umatnya untuk memberikan respon yang lebih baik dan proporsional dari sekedar emosi kebencian dan amarah. Secara individu, respon atau tanggapan kitalah yang justru sangat menentukan dampak peristiwa pada diri kita. Terkadang, tanggapan dapat berarti juga mengabaikan isu, membiarkan suatu peristiwa berlalu, dan berpaling ke arah yang lebih baik. Allah SWT “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh” (QS. Al-Araf: 199). Tidak salah lagi, kebencian, hasutan kemarahan, dan luapan ekspresi ekstrim yang berlebihan hanya dilakukan oleh orang-orang jahil yang mencari keuntungan dari kekacauan. Dengan melindungi diri kita dari hasutan kebencian dan provokasi, kita juga akan melindungi orang lain di sekitar kita.

Singkatnya, ada berbagai cara untuk menangkal provokasi dan ujaran kebencian yang dapat menyeret kita dalam bahaya di dunia dan akhirat. Mengingat bahwa Islam mengajarkan untuk menghindari perkataan buruk, masyarakat Muslim semestinya tidak mudah terhasut kebencian dan lebih memilih menjauhinya. Respon berlebihan dan ekspresi ekstrim sekelompok Muslim terhadap berbagai kontroversi, hanya menunjukkan kesenjangan pemahaman antara Muslim dan ajaran Islam. Mari menahan diri dari segala bentuk ujaran kebencian, sekaligus menumbuhkan pemahaman dan kerukunan yang lebih besar di tengah kompleksitas dan keragaman negeri kita.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.