Pandangan Para Ulama tentang Beramal dengan Hadis Dhaif

KhazanahHadisPandangan Para Ulama tentang Beramal dengan Hadis Dhaif

Dalam hierarki sumber hukum Islam, hadis menempati posisi kedua setelah al-Quran. Tidak seperti al-Quran yang sudah pasti shahih secara keseluruhan, hadis memiliki kualitas yang beragam. Terbagi menjadi hadis shahih, hasan, dan dhaif (lemah). Hadis dengan kualitas shahih atau hasan bisa dijadikan rujukan. Adapun hadis dhaif, para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan beramal dengannya.

Setidaknya ada tiga kecenderungan ulama dalam menyikapi hadis dhaif. Pertama, kalangan ulama yang menolak sama sekali, hadis dhaif dinilai tak bisa dipakai untuk konteks apapun, baik dalam keutamaan amal (fadhail a’mal), nasihat, peringatan, maupun kisah-kisah. Terlebih terkait hukum dan akidah. Para ulama dalam mazhab ini mengajukan argumen, bahwa hadis-hadis seputar keutamaan amal, targhib (janji yang menggembirakan) dan tarhib (ancaman) itu sama dengan hadis-hadis hukum.

Kelompok ini berpendapat, bahwa Islam diambil dari sunnah yang benar. Sedangkan hadis dhaif bukan sunnah yang dapat diakui kebenarannya. Maka dari itu, ketika berpegang padanya, sama halnya menambah agama tanpa mendasarkan pada keterangan yang kuat. Pendapat ini dinisbatkan kepada sejumlah ulama, seperti Abu Bakar Ibnu al-Arabi, al-Syihab al-Khafaji, serta al-Jalal al-Dawami. Para imam besar hadis juga mengambil pandangan ini, di antaranya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya ibn Ma’in, Abu Hatim al-Razi, dan lain sebagainya.

Kedua, mengatakan bahwa hadis dhaif bisa digunakan dan diamalkan secara mutlak. Penggunaan tersebut baik dalam perkara halal haram, keutamaan, maupun targhib dan tarhib. Kebolehan menggunakan hadis dhaif di sini disertai dengan dua syarat yang telah disepakati sejumlah ulama hadis. Syarat pertama, hadis dhaif dipakai jika dalam suatu masalah tidak ada hadis shahih atau hadis hasan yang membahasnya. Syarat kedua, hadis-hadis dhaif tersebut tidak terlalu dhaif serta tidak bertentangan dengan hadis lain.

Pandangan ini dinisbatkan kepada beberapa ulama besar, yaitu al-Nasa’i, Abu Hanifah, Abu Dawud al-Sijistani, juga Kamaluddin ibn al-Hamam. Adapun Imam Ahmad menuturkan, bahwa ia lebih menyukai hadis dhaif ketimbang pendapat ulama. Hal tersebut karena menurutnya kita tak boleh mengambil jalur kias untuk mencari hukum suatu perkara kecuali setelah tak ada nash yang menerangkannya.

Mazhab ketiga, yaitu pendapat yang masih mengakomodir sebagian hadis dhaif dengan sejumlah syarat tertentu. Para ulama mazhab ini membolehkan mengamalkan hadis dhaif dalam hal fadhail a’mal, nasihat, kisah-kisah, targhib serta tarhib, dan menolak dalam urusan hukum halal haram juga akidah. Ini merupakan pandangan jumhur ulama dari kalangan ahli hadis, ulama fikih, dan yang lainnya. Pandangan ini mencoba menengahi pendapat pertama dan kedua di atas.

Baca Juga  Kerudung di Mata Gus Dur

Secara lebih lanjut, terdapat beberapa syarat untuk mengamalkan hadis dhaif. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani ada tiga. Pertama, tingkat kedhaifannya tidak berlebihan. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan dari seorang pembohong (maudhu’), tertuduh dusta (matruk), ataupun orang yang banyak salahnya (munkar) tidak dapat dipakai. Kedua, hadis dhaif itu tidak bertentangan degan dasar hukum yang telah dibenarkan. Ketiga, ketika mengamalkan hadis dhaif tersebut tidak disertai keyakinan bahwa riwayat itu datang dari Nabi.

Ada pula yang memberi tiga syarat tambahan di luar pendapat Ibn Hajar di atas. Ketiganya adalah, pertama, hadis dhaif itu berada di bahah satu dalil umum, sehingga jika tak ada dalil pokok yang menaunginya, hadis dhaif tersebut tak bisa diamalkan. Kedua, hadis dhaif itu hanya terkait amalan keutamaan. Ketiga, tidak ada hadis shahih lain yang membicarakan perkara yang sama.

Ibnu Hajar al-Haitami adalah salah satu ulama yang masuk dalam barisan pendapat ketiga ini. Ia memberikan pandangan tentang alasan keabsahan mengamalkan hadis dhaif dalam hal fadhail a’mal. Menurutnya, apabila hadis dhaif tersebut sejatinya shahih, maka memang sudah semestinya diamalkan. Namun, jika ternyata hadis dhaif itu memang dhaif, maka mengamalkannya tidak mengakibatkan kerusakan berupa pengharaman yang halal, menghalalkan yang haram, ataupun menyia-nyiakan hak orang lain.

Mayoritas ulama dari berbagai generasi mengambil pendapat ketiga ini. Di antara mereka adalah Sufyan al-Tsauri, Abdullah ibn al-Mubarak, Sufyan ibn Uyainah, Muwafiq al-Din ibn Qudamah, Abu Zakariya al-Nawawi, Ibn Katsir, Jalaluddin al-Suyuthi, ‘Ali al-Qari, Dr. Nuruddin ‘Itr, dan lain-lain.

Kebolehan menggunakan hadis dhaif terkait fadhail a’mal bukan berarti memberi wewenang pada hadis yang lemah untuk menetapkan hukum. Tujuan para ulama membolehkannya adalah untuk mendorong terlaksananya amal saleh. Mereka bukan dalam rangka menetapkan kebaikan atau keburukan amal dengan memakai hadis yang lemah.

Suatu hadis dikatakan dhaif ketika tak memenuhi syarat-syarat dari hadis shahih ataupun hadis hasan. Para ulama bersilang pendapat terkait pengamalan hadis tersebut dengan menyertakan argumen mereka masing-masing. Dari ketiga pandangan di atas, mazhab terakhir menjadi pendapat mayoritas dan nampak paling moderat. Di mana, kelegalan beramal dengan hadis dhaif adalah untuk mendorong terselenggaranya amal saleh. Di saat yang sama, kebolehan tersebut bukan berarti memberi hadis dhaif wewenang dalam penetapan hukum.

Ini adalah persoalan ijtihadi. Para ulama telah berusaha menyuguhkan pendapat mereka. Dalam hal ini, kita leluasa memilih pendapat manapun. Yang terpenting adalah tidak mencela yang berbeda dengan kita. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.