Mendirikan Shalat yang Sesungguhnya

KhazanahHikmahMendirikan Shalat yang Sesungguhnya

Banyak orang sudah tahu bahwa shalat adalah kewajiban yang kepastiannya tak perlu dipertanyakan lagi. Ulama mengistilahkan shalat sebagai sesuatu yang ma’lumun min al-din bi al-dharurah. Karena itu, pembicaraan seputar shalat kadang kala memunculkan pertanyaan, masih perlukah kita membahas shalat? Jika ditinjau dari sisi hukum, nampaknya memang tak perlu ada penjelasan. Namun, apabila melihat kenyataan bagaimana kebanyakan umat Muslim menunaikan shalat, rasanya masih perlu untuk menilisik lebih jauh tentang bagaimana mendirikan shalat yang sesungguhnya agar tidak sekadar menjadi gerak badan tanpa rasa dan makna.

Sayyidina Umar pun pernah berkata, “Banyak orang yang shalat, tapi sedikit orang yang yuqimu al-shalah (mendirikan shalat)”. Inti pembahasan adalah kata iqamah. Ungkapan aqimu al-shalah lazimnya diartikan sebagai “dirikanlah shalat”. Quraish Shihab menuturkan, bahwa terjemahan demikian mesti diuraikan lebih untuk mencapai makna yang dikehendaki. Kata qama yang biasa diartikan berdiri, sebetulnya menggambarkan terlaksananya sesuatu secara sempurna. Sejalan dengan makna kata qawwam dalam ayat al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’, yang artinya laki-laki (suami) sudah semestinya melaksanakan kewajiban-kewajibannya atas istri secara sempurna. Bukan diartikan laki-laki itu berdiri di atas perempuan.

Dengan demikian, ungkapan aqimu al-shalah berarti tunaikanlah shalat secara sempurna, yakni menyempurnakan rukunnya, syarat-syaratnya, menjaga kekhusyukannya, dan lain sebagainya. Iqamah al-shalat menuntut kehadiran hati yang penuh. Sebab, orang munafik pun juga shalat, tapi shalat mereka digambarkan oleh al-Quran dengan ungkapan, Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. (QS. Al-Nisa [4]: 142). Jangankan menghadirkan hati, berdiri untuk shalat saja mereka bermalas-malasan, sehingga yang dilakukan barangkali tak lebih dari gerak lisan dan badan.

Dalam ayat 45 surat al-Baqarah diterangkan bahwa shalat hanya akan bernilai apabila dilakukan dengan khusyuk, yakni kesadaran akan kerendahan kehambaan di hadapan Dzat Yang Maha Agung. Implikasinya, orang yang khusyuk akan memusatkan seluruh pikirannya pada Allah dan membersihkannya dari segala sesuatu selain-Nya. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya.

Baca Juga  Meninjau Makna Hadis Surga di Telapak Kaki Ibu

Allah tidak mengatakan wailul li al-muqimina al-shalah, akan tetapi wailul lil mushallin. Dengan kata lain, banyak orang yang celaka sebab ia tidak yuqimu al-shalah, ia lalai dalam shalatnya, sekadar shalat tanpa memenuhi tuntutan dari perintah shalat. Secara fikih bisa jadi shalatnya tetap sah, tapi tak menghasilkan rasa dan dampak positif lebih lanjut di luar shalat.

Shalat yang sebenarnya akan memiliki sifat mencegah diri dari perilaku keji dan mungkar. Sejalan dengan apa yang Allah firmankan, bahwa Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut [29]: 45). Ayat ini bukan jaminan bahwa orang yang shalat otomatis tercegah dari perbuatan keji serta mungkar. Karena kenyataannya banyak orang yang shalat tapi perilakunya jauh dari akhlak karimah.

Fakta demikian nampaknya akan menjadi semakin jelas dengan menyimak sabda Nabi berikut, bahwa Siapa yang (shalat tapi) shalatnya tidak mencegah dari kekejian dan kemungkaran, maka baginya tak dihitung sebagai telah melaksanakan shalat. Jadi, ayat tadi bukan membahas jaminan terhindar dari perilaku keji dan mungkar bagi yang melakukan shalat, tapi lebih tepat dipahami sebagai definisi shalat yang sesungguhnya, yakni bahwa shalat yang benar akan termanifestasi dalam kebaikan akhlak.

Seseorang yang tak menghadirkan hati dalam shalatnya adalah orang yang rugi. Pentingnya khusyuk dan kehadiran hati diungkapkan dalam salah satu riwayat dari Nabi, bahwa Dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang yang tidak peduli.

Agar shalat tak hanya menjadi rutinitas fisik atau bahkan mengundang celaka bagi pelakunya, kita mesti paham lebih dari sekadar dimensi fikih shalat. Sebab itu, pembicaraan tentang shalat harus digali menjangkau sisi hakikat dan maknana. Mendirikan shalat yang sesungguhnya, yakni dengan menyempurnakan tuntutan-tuntutan shalat, memenuhi syarat rukunnya, menjaga kekhusyukan, juga menghadirkan hati, sehingga terwujud dalam akhlak mulia, menjauhkan pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.