Kelapangan Bung Karno Menghindari Perang Saudara

KhazanahKelapangan Bung Karno Menghindari Perang Saudara

Siapa sangka jika bapak proklamator, Bung Karno yang dulu membangkitkan semangat juang hingga mencapai kemerdekaan Indonesia dilengserkan dengan cara mengejutkan oleh pihak yang berambisi kekuasaan. Beberapa kisah riwayat menyebutkan, meski secara terang-terangan rezim orde baru mengusirnya pelan-pelan dari singgasana istana. Bung Karno lebih memilih menghindari perang saudara, ketimbang ditertawakan dan dimanfaatkan bangsa lain karena adanya konflik internal.

Pada 1966, bisa dibilang usia Indonesia ketika itu masih muda sebagai negara yang baru merdeka, belum memiliki kekuatan ekonomi dan politik kenegaraan secara utuh. Insiden lengsernya Bung Karno berangkat dari turunnya surat sakti yang disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang ditujukan kepada Soeharto sebagai salah satu petinggi Angkatan Darat (AD) yang kebetulan selamat setelah peristiwa menewaskan beberapa perwira tinggi AD. Surat perintah tersebut bermisi agar Soeharto “memotori” upaya penyelamatan negara.

Namun, sayangnya surat perintah itu disalahgunakan untuk mengambil alih kekuasaan Soekarno. Jadi jika dirunut, di antara peristiwa yang membuat Soeharto bisa menjabat sebagai presiden, yakni bermula adanya propaganda isu G30 S PKI pada tahun 1995 yang mengkambinghitamkan PKI sebagai dalangnya. Pada posisi ini Sukarno dalam posisi terpojok, karena terkesan melindungi PKI demi mempertahankan konsep Nasakom (Nasionalis, Aagama, Komunis).

Setelah terjadi propaganda besar, Soekarno mengambil sikap darurat dengan mengeluarkan Supersemar pada 1966, hingga terjadi tekanan konflik internal yang menyebabkan sukarno turun dari jabatan presidennya. Melalui strategi pengukuhan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tak lama setelah dipegang Soeharto. Lantas, pada 1967 Soeharto berhasil menyingkirkan sang proklamator dan memaklumatkan dirinya sebagai presiden Indonesia.

Sejatinya, Bung Karno telah mencium kenakalan Soeharto semasa ia masih menjabat presiden. Ia sakit hati karena secara terang-terangan menyelewengkan isi dari Supersemar. Dalam buku Jejak Langkah Bung Karno karya Abraham Panumbangan (2020), Bukan hanya Bung Karno yang kecewa, melainkan beberapa perwira besar turut kecewa. Bung Karno kala itu hanya berdoa agar kasus Supersemar dapat menemukan titik terangnya dan misterinya segera terpecahkan.

Kenakalan Soeharto membuat banyak pihak menjadi geram. Kendati demikian, kelapangannya kian terlihat ketika beberapa perwira menyarankan agar Bung Karno memukul Soeharto yang sudah sangat keterlaluan. Hartono, salah seorang petinggi militer Komandan Korps Komando (KKO) yang paling jengkel menanti-nanti perintah tersebut, tetapi sayangnya Bung Karno menolak. Hartono yang dikenal dengan perkataannya, “Hitam kata Bung Karno, Hitam kata KKO”. Itu artinya, ia tengah menunjukkan betapa setia dirinya terhadap Soekarno dan akan selalu menuruti apapun yang diperintahkannya tanpa ada penolakan.

Baca Juga  Peresmian Simbolik Nama Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani

Kita tentu mengetahui, keganasan orde baru itu ibarat buaya dalam air danau yang tenang. Memangsa secara rapi, pelan, tetapi pasti. Sebagaimana salah stau ungkapan populernya, perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Bahkan di masanya sendiri, Bung Karno benar-benar merasa kesulitan saat mendapat manuver dari Soeharto sebab yang dihadapinya adalah orang sebangsanya.

Sebenarnya ada banyak penyebab yang membuat lengsernya Bung Karno, tetapi klimaksnya yakni saat Soeharto benar-benar memanfaatkan situasi yang sedang buruk. Bagi Bung Karno, alasan mengapa ia tidak melawan Soeharto pada waktu itu adalah tidak menghendakinya perang saudara. Terlebih, ketika perang saudara itu dikarenakan perebutan kekuasaan. Selain akan terdengar lucu, hal tersebut juga akan terlihat memalukan bila sampai terdengar oleh masyarakat dunia. Bagaimana juga, Bung Karno selalu mengutamakan keutuhan dan persatuan Indonesia.

Mungkin terdengar klise, tapi ini adanya. Kelembutan hati Bung Karno membuatnya tidak bisa berbuat banyak ketika musuhnya adalah sebangsanya sendiri. Sudah cukup baginya, melihat mengorbankan banyak nyawa rakyat untuk memerjuangkan kemerdekaan melawan penjajah, jadi tidak semestinya nyawa mereka dipertaruhkan kembali untuk memertahankan kedudukannya sebagai presiden. Sampai pada akhir hidupnya, ia tak menyangka akan menghembuskan nafas terakhirnya sebagai tahanan politik orde baru.

Penting bagi kita untuk “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (Jasmerah). Kecintaan terhadap Tanah Air harus terus ditingkatkan, mengingat perjuangan para leluhur bangsa yang telah mempertaruhkan banyak hal demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hal kecil yang bisa diperbuat untuk membalas jasa mereka adalah dengan memberikan sumbangsih yang terbaik dan berkomitmen kuat menjaga persatuan republik Indonesia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.