Ayat untuk Wanita, Bukan Soal Jilbab dan Rumah Tangga Saja

KolomAyat untuk Wanita, Bukan Soal Jilbab dan Rumah Tangga Saja

Tidak sedikit wanita yang mengira bahwa ayat-ayat al-Quran hanya mengatur tugas wanita dalam persoalan hijab, peran keistrian, dan keibuan saja. Sedangkan ribuan ayat lainnya, terutama tentang peran sosial Muslim, luput dari perhatian wanita karena dianggap tidak berkaitan dengan perempuan. Tidak heran, kewajiban intelektual dan sosial yang berlaku bagi setiap orang, tanpa batasan gender dan jenis kelamin, sering terabaikan oleh wanita. Nyatanya, berkontribusi di tengah masyarakat, menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama, produktif, turut berjuang dalam hidup, menuntut ilmu sampai akhir hayat, kerap dianggap sebagai tugas yang lebih ditekankan pada laki-laki.

Fenomena ini membangkitkan lagi pertanyaan klasik tentang, ‘apakah Tuhan lebih banyak berbicara untuk laki-laki di banding untuk perempuan?’ Pertanyaan ini muncul dalam benak banyak Muslim saat ini, meskipun terkadang mereka ragu untuk menyuarakannya. Namun, pertanyaan semacam ini, pada kenyataannya, adalah salah satu pertanyaan tertua dalam sejarah Islam. Tercatat di era paling awal Islam, dalam hadis riwayat Ahmad, Istri Nabi Ummu Salamah RA pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Mengapa kami tidak disebutkan dalam al-Quran sebagaimana laki-laki?”

Keesokan harinya, Ummu Salamah mendengar Nabi mengumumkan di mimbar bahwa, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzab: 35). 

Ayat yang turun sebagai jawaban atas pertanyaan Ummu Salamah, dalam penafsiran Ibnu Asyur, ini menggambarkan bahwa, “Dalam Syariah Islam, perintah selalu mencakup laki-laki dan perempuan, kecuali apa yang ditentukan berlaku untuk salah satu dari dua jenis kelamin.” 

Kesetaraan hak dan kewajiban setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan diakui dalam Islam. Itulah kenyataan yang berlaku di dalam dua sumber hukum utama Islam, yakni al-Quran dan al-Hadis. Soal kesetaraan peran ini bukan masalah dunia modern saja, Cendekiawan abad ke-12, Qadhi Abu Bakr bin al-Arabi, memiliki pendapat yang terang tentang kesetaraan ini, “sifat penciptaan laki-laki dan perempuan adalah satu, dan hukum Syariah atas mereka adalah sama.” (Al-Qabas Fi Syarh al-Muwatha’, ’ 1992: 174). Begitu pula, Al-Khathabi di dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan (1:79) menulis bahwa, “keputusan hukum yang diwahyukan untuk satu jenis kelamin berlaku sama untuk yang lain kecuali ada bukti (dalil) yang menentukan sebaliknya.”

Baca Juga  Ahmadiyah di Mata Bung Karno

Prinsip ini sering ditegaskan kembali oleh ulama-ulama lainnya, termasuk Ibnu Hajar. Ia mengulang-ulang prinsip ini dalam kitab syarahnya, Fath al-Barri , “Secara konsisten dalam semua hukum juga berlaku untuk wanita, sebagaimana yang berlaku untuk pria, kecuali apa yang ditentukan oleh beberapa bukti.” (1:255. dan lihat juga 2:187; 2:454; dsb)

Di luar metodologi interpretasi hukum di atas pun, penyertaan laki-laki dan perempuan dalam kata ganti yang bersifat maskulin, merupakan fitur tata bahasa Arab yang sudah diakui sejak awal kitab gramatikal bahasa arab muncul. Penggunaan kata-kata maskulin sering memasukan (taghlib) padanan femininnya. Oleh karena itu, hum (mereka) dapat berarti sekelompok laki-laki atau kelompok campuran. Sedangkan Hunna (mereka feminin) hanya bisa menjadi sekelompok perempuan. 

Jadi, jika hadits atau ayat al-Quran yang mengacu pada ‘dia (laki-laki)’ atau ‘pria mana saja’, hal itu perlu juga dipahami secara umum, yaitu bagi laki-laki sekaligus perempuan, kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

Sebagaimana dalam sebuah riwayat lain, tercatat bahwa ketika pembantu Ummu Salamah sedang menyisir rambutnya di kamarnya yang menyatu dengan masjid, Ummu Salamah mendengar Nabi berseru “Wahai orang-orang!” dan mulai mengajar orang-orang yang berkumpul di sana. Ummu Salamah pun bangkit untuk bergabung dengan mereka. Pembantunya mengingatkan bahwa Nabi SAW  “telah memanggil para pria, bukan wanita”. Ummu Salamah menjawab, “Sesungguhnya aku termasuk bagian dari orang-orang” (HR. Muslim). 

Singkatnya, ayat-ayat al-Quran dan teks-teks hadis untuk perempuan tidak hanya yang berkaitan tentang jilbab, peran keistrian, dan keibuan. Tidak selayaknya, perempuan melupakan peran intelektual dan sosial lainnya yang berlaku umum bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan. Ummu salamah adalah teladan awal para wanita untuk mencari tahu hak-haknya, serta mulai melibatkan diri dalam dunia umum, tidak terpinggirkan, dan turut mengakses kesempatan yang setara atas sesama manusia, laki-laki dan perempuan. Tidakkah kita, para muslimah masa kini, juga harusnya bangkit untuk mengamalkan ayat-ayat sosial, berkontribusi lebih jauh untuk melayani masyarakat, menjawab tantangan zaman, menuntut ilmu hingga akhir hayat. 

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.