Tiga Etika Orang Beriman

KhazanahHadisTiga Etika Orang Beriman

Keimanan tak bisa diukur secara matematis. Tapi orang beriman pasti menampilkan komitmen moral yang bisa dibaca secara kasatmata. Rasulullah SAW tidak muluk-muluk menentukan kriteria orang beriman. Jika dicermati, ukuran keimanan yang dibahas Nabi dalam salah satu sabdanya mengerucut pada adab dalam pergaulan sosial. Ini adalah isyarat, bahwa iman tidak cukup dengan ibadah personal, tapi harus dibuktikan dengan kesalehan sosial.

Hadis itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Abu Hurairah menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia menghormati tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.

Di permulaan, Nabi menekankan untuk menjaga lisan. Konflik atau permusuhan tidak jarang terjadi dikarenakan ucapan kita yang tak dijaga hingga membuat orang lain terluka. Tak sedang berhadapan dengan orang lain pun kita diminta untuk memelihara lisan dengan tidak membiasakan diri berkata kasar, mengumpat, atau yang sejenisnya.

Pada akhirnya, seluruh anggota badan kita akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk lisan. Terbiasa berucap buruk terlebih hingga menyakiti orang lain akan memberatkan kita di akhirat kelak. Jika seseorang sudah tersakiti karena ucapan, meminta maaf pada mereka tidak lebih mudah dari memohon ampunan Tuhan. Sebab itu, yang pertama ditegaskan adalah untuk berkata baik atau diam. Pepatah yang menyebut diam itu emas, mendapati relevansinya dalam konteks ini.

Kemudian, ciri kedua orang beriman adalah memperhatikan etika dalam bertetangga. Nabi dan sabda-sabdanya selalu jeli dan luar biasa. Hadis ini berangkat dari kisah seseorang yang disakiti tetangganya lalu mengadu pada Nabi. Bermuamalah baik dengan tetangga sering kali disepelekan. Kedekatan yang bukan pada level saudara atau darah membuat sebagian orang tak merasa penting membangun hubungan baik dengan tetangga.  Sebab itu, beliau mencantumkan penghormatan pada tetangga sebagai variabel penentu komitmen keimanan seseorang.

Kita wajib berbuat baik pada tetangga dengan menunaikan hak-hak mereka. Termasuk di dalamnya adalah tidak menyakiti mereka dalam bentuk apapun. Kerasnya perintah bersikap baik pada tetangga kiranya semakin jelas ketika menengok firman Allah dalam surat al-Nisa [4]: 36, yang menyandingkan perintah tersebut dengan kewajiban menyembah Allah dan larangan menyekutukan-Nya.

Baca Juga  Ghuroba itu orang yang berbuat kebaikan

Dan sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.

Tetangga adalah orang terdekat yang tinggal di sekitar rumah kita. Paling memungkinkan dimintai bantuan saat keluarga kita mengalami kesulitan adalah tetangga. Ini merupakan ilustrasi sosial sederhana mengapa bermuamalah dengan baik pada tetangga adalah wajib.

Terakhir, bagian dari etika seorang mukmin adalah memuliakan tamu yang bertandang ke rumahnya. Ada waktu, tenaga, bahkan materi yang dikorbankan tamu yang berkunjung. Maka sudah sepantasnya seorang tuan rumah memuliakan mereka. Memuliakan berarti mencakup keramahan sikap, tidak bersikap masa bodoh, dan tentunya menjamu dengan hidangan atau minuman yang pantas, sekiranya cukup untuk menghargai kedatangan mereka, serta menyesuaikan kemampuan tuan rumah pula.

Dalam bertamu ada unsur silaturahmi, perbuatan yang sangat dianjurkan Islam. Sebab tradisi berkunjung akan memperkuat simpul persaudaraan, menyuburkan kasih sayang sesama manusia, dan kerja sama di antara mereka. Selain itu, memuliakan tamu adalah akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Karena kepribadian yang luhur, selalu menyambut dan menjamu tamu dengan jamuan yang sebaik-baiknya, Nabi Ibrahim pun mendapat gelar Bapak Para Tamu (Abu Dhaifan).

Aksi nyata kebaikan dalam pergaulan merupakan refleksi dari makna iman itu sendiri, di mana anggota badan memiliki tugas untuk membuktikan keimanan yang kita yakini dalam hati dan kita ucapankan melalui lisan. Tiga perkara dalam hadis tersebut ibarat tiga bongkah batu-bata untuk melengkapi bangunan keimanan kita. Tanpanya, iman kita tidak lengkap.

Hadis di atas memerlihatkan, bahwa iman terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Adapun pengkhususan penyebutan iman pada Allah dan hari akhir dalam hadis itu adalah isyarat, bagi yang mengaku beriman pada Allah harus meyakini ia akan mendapat balasan atas amal perbuatannya kelak di akhirat. Maka dari itu, lakukanlah tiga hal tersebut. Seseorang yang menghayati keimanannya, pasti beretika. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.