Berlaku Baik pada Perempuan adalah Wasiat Nabi

KolomBerlaku Baik pada Perempuan adalah Wasiat Nabi

Rekaman ceramah Oki Setiana Dewi tengah ramai diperbincangkan. Kisah rumah tangga wanita Jeddah yang dikemasnya sebagai contoh materi tausiahnya pun memantik perdebatan. Dalam penjelasannya, ada seorang istri yang dipukul suaminya lalu ia menyembunyikan perilaku kasar itu dari orang tuanya. Menutup-nutupi kekerasan suami ini dinilai sebagai sikap ideal yang mestinya ditiru kaum hawa, dengan alasan seorang istri tak perlu mengumbar aib suami.

Sayangnya, penjelasan demikian mengarah pada narasi normalisasi KDRT terhadap perempuan. Seolah perempuan sah dilukai dan tak berhak membela diri, atas nama seorang istri harus taat serta menjaga marwah suami. Sementara itu, berlaku baik pada wanita merupakan pesan yang diwasiatkan Nabi. Artinya, adalah tugas kita untuk menunaikan. Menjamin terciptanya ruang aman bagi semua, khususnya perempuan.

Ketika membuka kembali sejarah manifesto Rasulullah di bukit Arafah pada momentum haji wada’, terdapat memoar jelas yang spesifik menegaskan perintah bersikap baik terhadap wanita. Pengalaman buruk meliputi diskriminasi, subordinasi, penindasan, kekerasan, juga obyektifikasi yang dialami perempuan di masa jahiliah, menjadikan mereka diganjar porsi khusus dalam draf manifesto Nabi. Praktik penindasan perempuan di Arab jahiliah begitu mengakar, maka dari itu penekanan nasihat ini ibarat bekal transisi bagi umat Nabi menuju tradisi yang kian mengasihi kaum hawa.

Wasiat tersebut Rasulullah SAW sampaikan di hadapan ribuan umatnya. Khotbah Nabi dibuka, penuh dengan isyarat bahwa waktu kepergian beliau sudah dekat. Suasana pun mengharu. Benar, tak berselang lama setelah haji wada’ Nabi kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa pada 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah.

Setelah beberapa poin nasihat beliau tuturkan, sampailah pada wasiat seputar wanita. Rasulullah SAW menerangkan di permulaan, bahwa antara suami istri itu setara, keduanya sama-sama memiliki hak dan kewajiban dalam payung rumah tangga yang harus saling diisi. Nabi melanjutkan khotbahnya, Pimpinlah (nasihatilah) istri kalian dengan baik. Sebab mereka adalah penolong (teman) kalian, mereka tak memiliki apapun untuk diri mereka. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah, dan kehormatan mereka dihalalkan dengan nama Allah. Camkan ucapanku ini, wahai manusia.

Manakala istri berbuat kemaksiatan yang nyata, ada penanggulangan bertahap yang juga dijelaskan dalam khotbah perpisahan ini. Dengan menasihati istri, jika tak mempan maka boleh pisah ranjang, dan opsi terakhir yang kerap disalahpahami adalah kebolehan memukul. Tegas Nabi, itu adalah pukulan yang sekiranya tak menyakiti. Ukuran pukulan tak menyakiti digambarkan dengan pukulan menggunakan siwak atau yang seukurannya. Siwak adalah alat pembersih gigi di masa itu yang kurang lebih seukuran jari telunjuk.

Dengan sendirinya, menampar istri, menempeleng, atau bahkan memukul menggunakan senjata tidaklah berdasar dan klaim kebolehan pukulan semacam itu gugur. Perilaku demikian jauh dari kategori yang diatur Nabi. Tidak ada kiblat kekerasan dalam Islam. Jika masih ragu, sahabat pernah bersaksi, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah sekali pun memukul dengan tangannya, baik kepada perempuan bahkan pada asisten rumah tangga (HR. Muslim).

Baca Juga  Ironi Kebebasan Beragama di Kota Baja

Bersikap baik pada perempuan adalah tanggung jawab siapapun yang mengaku umat Nabi Muhammad. Sebagaimana wasiat transformatif beliau dalam pidatonya. Dalam riwayat Ibnu Majah serta kitab Sahih Ibn Hibban tertera hadis yang mengatakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya pada keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku. Muamalah yang baik itu dilakukan pada keluarga secara umum, dan khususnya terhadap istri.

Menjawab rasa penasaran seorang sahabat yang bertanya bagaimana Nabi di tengah keluarganya, Sayyidah Aisyah pun bercerita contoh kebaikan sederhana beliau sebagai seorang suami. Menurutnya, Nabi adalah laki-laki yang tak segan membantu pekerjaan rumah tangga. Demikian penuturan Sayyidah Aisyah melukiskan bagaimana sikap Nabi, yang diriwayatkan Imam Bukhari. Membantu istri tak menciderai maskulinitas ataupun kenabian beliau.

Mengapa Nabi begitu kritis, hingga membangun pergaulan yang sehat dengan keluarga ditempatkan sebagai salah satu capaian terbaik seseorang. Sebab, beliau ingin agar iklim penuh kasih dan relasi egaliter dalam institusi keluarga ternormalisasi, mengikis budaya patriarki penuh ketimpangan yang selama ini ditampilkan masyarakat Arab. Gali sebanyak mungkin teladan hidup berumah tangga dari Nabi, karena secara langsung Nabi memberi garansi. Beliau adalah contoh mutlak.

Khotbah tadi menyinggung pula tentang sakralnya ikatan rumah tangga. Pernikahan adalah perjanjian agung yang distempel langsung oleh kepercayaan Tuhan. Kehormatan seorang perempuan menjadi legal karena ada nama Allah yang menjaminnya. Dengan kata lain, merusak ikatan itu dengan tindak kekerasan sama halnya telah mempermainkan amanah Tuhan.

Menceritakan kekerasan dalam rumah tangga pada pihak yang tepat itu bukan mengobral aib. Kekerasan adalah cela itu sendiri yang harus disikapi. Setiap suami ataupun istri adalah manusia yang berhak membela diri dan mencari perlindungan saat terancam. Menyakiti pasangan dengan dalih ayat an-Nisa [4]: 34 adalah redaksi kuno dan klise. Alih-alih mengamalkan ajaran Islam, suami yang melakukan kekerasan pada istrinya tak lain adalah tindak penyelewengan dalil. Mengemas dalih dengan jubah dalil syariat.

Penting untuk selalu menyisir akhlak Nabi dan petuah-petuah beliau guna mencapai prinsip pakem Islam, yakni menjadi cinta dan rahmat bagi semua. Khotbah wada’ Nabi adalah manifesto kemanusiaan universal. Ditegaskan untuk menjamin hak-hak umat manusia, laki-laki dan perempuan. Khotbah tersebut secara khusus menegaskan perintah menjaga, menghormati, dan menghargai perempuan, untuk menuju konsep utuh mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan baik) dalam keluarga dan selebihnya. Di pundak kita—para umatnya—tanggung jawab menjalankan wasiat itu berada. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.