Mengendalikan Amarah dengan Bershalawat

KolomMengendalikan Amarah dengan Bershalawat

Siapa yang pernah membaca novel atau menonton film ayat-ayat cinta ? Pada saat Fahri, sang tokoh utama melihat pertikaian di dalam bis, ia langsung mengucapkan shallu ‘alannabi dan orang-orang langsung bershalawat, seketika pertikaian itu redam dan berlalu. Bagi orang Mesir situasi tersebut bagian dari budaya. Mereka menjadikan shalawat sebagai alaram mengendalikan amarah atau menghindar dari aktivitas yang tidak bermanfaat.

Tentu kita mengetahui ada banyak kalimat shalawat yang bisa kita ucapkan, misal versi sederhana allahummashalli ‘ala Muhammad wa ’ala ali Muhammad. Adapun versi panjang lainnya ada seperti shalawat thibbil qulub, nariyah dan sebagainya. Sebagaimana yang diyakini umat Islam secara batiniyah shalawat itu multifungsi, baik untuk upaya menyembuhkan penyakit, memperlancar rezeki, memakbulkan hajat, dan seterusnya. Oleh karena itu, tak ayal bila shalawat juga dapat mengendaliankan amarah sebagaimana tradisi orang Mesir. Entah bagaimana periwayatan dulu, yang jelas budaya ini sudah mengakar dengan kondisi sosial masyarakat di sana.

Sebenarnya, marah itu sesuatu yang normal. Ia bagian dari ekspresi yang ditunjukkan manusia terhadap yang tidak disukai atau tidak sesuai dengan penilaiannya. Namun, tidak bisa dikatakan wajar pula kepada mereka yang mudah marah pada setiap hal yang di luar ekspektasinya. Kendati itu jelas kesalahan, mengontrol emosi jauh lebih solutif ketimbang meluapkan segala kemarahan.

Sebab emosi yang tidak stabil, justru terkadang memunculkan problem baru. Sebab amarah, kerap kali membuat tidak sadar dengan apa yang dilakukannya, hingga dapat memperburuk kondisi. Demikian alasan mengapa Rasulullah SAW saat diminta nasihat oleh sahabatnya, beliau berpesan agar jangan mudah marah dan mengulangnya sebanyak tiga kali. Hal itu menandakan adanya penekanan terhadap pesan betapa pentingnya megendalikan amarah.

Manusia itu makhluk yang mudah jengkel. Amarahnya mudah terpancing, padahal perkaranya sepele, terlebih kesalahan besar. Dengan ini shalawat menjadi instrumen yang mengingatkan kita kepada pesan Nabi SAW agar tidak mudah marah dan sebagai teladan yang senantiasa bersikap bijak dalam mengendalikan situasi yang genting.

Dalam psikologi kepribadian yang dimotori Simund Freud terkait teori psikoanalisis, berpandangan kepribadian manusia didominasi oleh ketidaksadaran. Ia bahkan mengatakan, bahwa kesadaran hanya merupakan bagian kecil dari struktur kepribadian manusia, sementara yang dominan adalah ketidaksadaran. Kesadaran terlihat dipermukaan, sementara ketidaksadaran apa yang ada di bawah permukaan begitu luas. Islam memaknai ketidaksadaran dengan qalbu, akal, nafs, yang mengarah pada tingkah laku sepontan.

Kemarahan sering kali mendominasi ketidaksadaran. Maka dari itu, orang yang sedang labil emosinya karena cenderung ceroboh dianjurkan agar menghindari banyak bicara, melakukan banyak pekerjaan, dan mengambil keputusan. Ambil sikap diam sembari bershalawat dan menarik napas dalam-dalam, hingga situasi kebatinan lebih damai maka boleh lanjutkan aktivitas dengan nalar yang lebih jernih dan positif.

Baca Juga  Emas, Jubah, dan Kuda Mulla Nasrudin

Tidak hanya sampai di situ, alasan lain penulis menyarankan mengendalikan amarah dengan bershalawat adalah mengingatkan kita pada Nabi SAW sebagai sosok yang pemaaf dan bersyukur. Terakadang, konflik kebatinan tidak selalu disebabkan orang lain, melainkan ketidakpuasan diri atau merasa gagal mencapai apa yang ditargetkan. Kondisi kekecewaan yang berasal dari dalam, tentu bisa memicu gairah sensitif hingga berimplikasi mudah marah. Pada posisi ini seseorang harus sadar untuk bisa memaafkan diri dan bersyukur apapun hasilnya.

Setelah melakukan beberapa tahap upaya mengendalikan kemarahan, penting untuk mengapresiasi diri dengan kembali bersyukur, bahwa kita dapat menaklukan badai yang bernama marah. Adakalanya kemarahan itu dibutuhkan pada situasi tertentu, tetapi kebanyakan ia identik seperti momok racun yang tertanam dalam jiwa manusia.

Demikian, tak sedikit orang bijak berujar kepada mereka yang mampu menguasai diri adalah anugrah. Sebagaimana yang diungkap seorang filsuf asal China kuno Lao Tzu mengungkapkan, “Mengenal orang lain adalah kecerdasan, mengetahui diri sendiri adalah kebijaksanaan sejati. Menguasai orang lain adalah kekuatan, menguasai diri sendiri adalah kekuatan sejati.”

Senada dengan hadis Nabi SAW, beliau pernah bertanya kepada sahabatnya, Siapakah orang yang gagah di antara kalian? Mereka menjawab, orang yang tidak bisa dibanting oleh orang lain. Beliau berkata, bukan itu, orang gagah adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Meningkatkan kesadaran dengan bershalawat merupakan nilai tambah keimanan dan kecintaan kita kepada Nabi SAW. Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi dalam kitab Kifayatu al-Atqiya mengatakan, shalawat itu bacaan yang tidak pernah tertolak dan mendatangkan banyak manfaat. Bacaan shalawat pasti diterima tanpa syarat adalah wujud penghormatan kepada Rasulullah SAW, karena status drajatnya yang amat luhur.

Kemarahan itu sama berbahayanya dengan api yang menghanguskan kayu bakar. Apabila ia tidak dikendalikan hanya menyisakan abu atau penyesalan. Rasa kebersalahan yang mendalam akan memunculkan permasalahan baru atau trauma. Walhasil, mari kita jadikan shalawat sebagai permohonan syafaat Nabi SAW dari marabahaya amarah yang menyakiti diri sendiri dan orang lain. Waspadalah terhadap amarahmu sebelum semuanya berubah menjadi tumpukan abu.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.