Lawan Kebijakan Intoleran Terhadap Ahmadiyah Sintang

KolomLawan Kebijakan Intoleran Terhadap Ahmadiyah Sintang

Warga Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat, kembali menghadapi tindakan intoleransi dan kekerasan. Kali ini masjid mereka dibongkar paksa oleh Satpol PP. Mirisnya, pembongkaran ini dilakukan atas perintah resmi dari Pemerintah Kabupaten Sintang! Hal demikian merupakan potret kebijakan intoleran pemerintah kepada warga sipil yang amat memilukan.

Tidak ada pemandangan yang lebih buruk daripada runtuhnya masjid Ahmadiyah Sintang, bersama hak-hak sipil mereka sebagai warga negara Indonesia. Kebijakan intoleran semacam ini harus dikritik dan dilawan karena telah mengkhianati para pendiri bangsa yang telah menanamkan gagasan Bhineka Tunggal Ika di Tanah Air. Pemerintah idealnya berperan dalam menjaga suasana aman dan tenteram bagi umat beragama, baik minoritas maupun mayoritas, untuk menjalankan keyakinan agamanya secara damai.

Penganiayaan berkelanjutan terhadap Ahmadiyah sudah lama membuktikan kegagalan pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama bagi warganya, sebagaimana diatur dalam pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, serta pasal 28 (2) UUD 1945. Terlebih lagi, Ahmadiyah adalah sebuah komunitas masyarakat yang damai. Jamaah Ahmadiyah tidak pernah melakukan tindakan yang merugikan secara fisik. Tidak pernah melakukan sesuatu yang membahayakan ketentraman dan stabilitas masyarakat. Juga tidak terlibat dalam tindakan kriminal atau pemberontakan yang membahayakan umat lain. Mereka bahkan menjamu satpol PP yang hendak membongkar masjid mereka dengan suguhan kue dan minuman. Betapa keruh dan kacaunya pikiran orang yang menyerang kelompok yang saling mengajarkan Love For All Hatred For None ini!

Pemerintah Kabupaten, yang dalam hal ini Bupati Sintang, memberikan contoh nyata dalam melanggar hak, peraturan, dan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Penerbitan SP III Pembongkaran Masjid Mifthul Huda, menunjukkan bahwa pemerintah telah berpihak dan menuruti tuntutan kelompok tertentu yang sama sekali tidak mewakili pendapat mayoritas Muslim Indonesia.

Baca Juga  Tidak Ada Paksaan dalam Berjilbab

Dengan mengekang aktivitas keagamaan Ahmadiyah, pemerintah Sintang tidak hanya melakukan intervensi berat terhadap masalah keagamaan, tetapi juga menunjukkan sikap yang secara substansial melanggar semangat konstitusi dan dasar negara Indonesia dalam menjaga pluralitas dan kebebasan beragama.

Diskriminasi dan persekusi terus-terusan terhadap penginkut keyakinan yang berbeda dari mayoritas membuktikan, bahwa pemerintah telah mendefinisikan kebebasan beragama dalam arti yang sempit. Yakni, terpatas pada enam agama mayoritas saja. Hal itu menyebabkan pengikut keyakinan agama lain tidak menikmati hak yang sama yang semestinya mereka miliki, bahkan sangat rentan dianiaya, dilarang, dan diserang.

Singkatnya, pemerintah maupun para pemegang kebijakan dan fatwa tidak boleh tunduk pada kebencian, intoleransi, dan kekerasan. Pemerintah idealnya menjalankan peran sebagai pembela pluralisme yang tugas utamanya tidak terbatas pada memberikan hak memilih keyakinan apa pun bagi setiap warga negara, tetapi memberikan jaminan atas pelaksanaan tugas dan ketentuan keagamaan. Konstitusi Indonesia dengan jelas menyerukan nilai-nilai pluralisme, kebebasan beragama, dan toleransi dalam arti yang sangat luas, yang semestinya menjadi acuan utama dalam menjaga hak-hak sipil warga negara Indonesia.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.