Pernikahan Masa Jahiliyah yang Dihapus Islam

KolomPernikahan Masa Jahiliyah yang Dihapus Islam

Sejak zaman kuno masyarakat mengenal istilah pernikahan. Sebab bagaimanapun pernikahan menjadi jalan keluhuran dari buasnya syahwat. Namun, dalam tradisi jahiliah ada beberapa nilai yang tak sejalan dengan Islam hingga pernikahan tersebut dihapuskan. Hal ini khususnya sangat merugikan bagi perempuan dan masyarakat sebenarnya membenci, hanya saja mereka kala itu tak dapat melawan arus atas apa yang sudah mengakar. Kehadiran Islam benar-benar membawa nafas segar, karena semangat kemanusiaan yang membuat derajat perempuan menjadi bermartabat dan terhormat salah satunya melalui pedoman pernikahan.

Pada dasarnya pernikahan yang terjadi di masa jahiliah sama dengan hari ini, yaitu terdiri atas lamaran dan mahar, serta ijab dan qabul, yang dikenal dengan perkawinan suami (bu’ulah). Inilah perkawinan yang diakui Islam. Seorang suami bertanggung jawab menjadi kepala keluarga, memberi nafkah, penanggung jawab rumah, mendidik anak-anaknya. Anak yang dilahirkan dari Rahim istrinya menjadi hak atas suaminya.

Tradisi jahiliah tidak melarang anak perempuannya dikubur hidu-hidup dan tidak menganggap itu sebagai kejahatan. Bahkan, seorang ibu tidak bisa mencegah suaminya yang mau menguburkan anak-anaknya. Segala hak dalam rumah tangga semuanya suami yang mengatur.

Ada banyak kecacatan atau ketimpangan dalam pernikahan di masa jahiliah. Dalam buku Sejarah Arab Sebelum Islam, Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan buah karya Jawwad Ali (2019), seorang wali boleh memaksakan anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang disepakati walinya, lain halnya kalau dari keluarga terhormat perempuan diberi izin mengungkap pendapat tentang pernikahannya. Masyarakat jahiliah membolehkan adanya pernikahan dua perempuan sekaligus dan laki-laki menikahi istri ayahnya yang sudah meninggal. Mereka menyebut pernikahan ini dhaizan dan pernikahannya disebut al-maqt.

Dengan ini al-Quran melarang tegas atas tradisi tersebut. Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu, anak-anak perempuan dari istrimu yang dalam peliharaanmu dari istri yang kau campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu (menikahinya) … (QS. An-Nisa: 23).

Sebagian ahli tafsir mengatakan, masyarakat jahiliah mengharamkan pernikahan yang diharamkan Islam, kecuali menikahi istri ayah dan menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus. Itu sebabnya, ayat tersebut memperjelas bahwa yang dikecualikan oleh mereka juga sejatinya dilarang, karena sama saja dengan melegalkan pernikahan sedarah, yakni mewarisi istri dari ayahnya yang meninggal kemudian dinikahkan dengan anaknya. Kalau anaknya menyukai, jika tidak ia dapat memutuskan membiarkan istri dari ayahnya menjanda sampai meninggal atau melakukan kompensasi.

Berat sekali menjadi perempuan di zaman dahulu. Mereka diperlakukan seperti barang yang dapat ditukar dan diwariskan berdasarkan tradisi mereka. Diriwayatkan, tiga laki-laki bani Qais bin Tsa’labah secara bergantian mewarisi istri ayah mereka kemudian mereka dicela oleh Aus bin Hajr at-Tamimi dalam syairnya. Kendati kerap dipraktikkan oleh para tokoh, tradisi ini tidak disukai atau dibenci banyak orang, hingga disebut perkawinan al-maqt (dibenci).

Baca Juga  KH. Ma’ruf Khozin: Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Di antara macam-macam perkawinan yang pertama nikah mut’ah yaitu pernikahan yang dibatasi waktu atau kontrak. Jika waktu yang disepakati telah habis, maka perceraian secara otomatis terjadi. Nikha mut’ah ini pernah diperbolehkan dalam Islam sebelum perang Khaibar, tetapi tak lama kemudian diharamkan setelah perang Khaibar dalam kurun waktu tiga hari. Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengharamkannya karena dinilai bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Hal tersebutnya disebabkan merugikan pihak perempuan, di dalamnya tidak ada nafkah, pengakuan anak, apalagi waris, utamanya tidak sejalan dengan tujuan pernikahan yang melanggengkan hubungan.

Kedua, nikah badal (tukaran). Akad pernikahan yang diucapkan oleh seorang suami kepada suami lainnya, berikan istrimu kepadaku maka akan kuberikan istriku padamu. Akad demikian sungguh sangat sangat menyeleweng karena bagaimanapun istri bukan sesuatu yang kehormatannya ditukar bagaikan benda. Jelas kalau Islam datang menghapus pernikahan tersebut.

Ketiga, nikah syighar adalah seorang laki-laki yang menikahkan perempuan dalam tanggungannya sebagai wali kepada seorang pria ini akan menikahkan perempuan dalam tanggungan walinya pernikahan tanpa mas kawin atas dasar kerelaan. Lazimnya, praktik seperti ini dilakukan oleh masyarakat miskin badui. Ketika diucapkannya “Nikahkan syighar aku”, itu artinya, kawinkan aku kepada saudara perempuanmu, anak perempuanmu, atau perempuan yang berada dalam tanggungan walimu, lalu aku akan mengawinkanmu dengan anak perempuanku, saudara perempuanku, atau perempuan dalam tanggungan waliku. Hal tersebut dilarang oleh Islam.

Keempat, nikah istibdha adalah pernikahan yang direlakan dari seorang suami menyuruh istrinya agar menanam benih dari laki-laki lain hingga hamil. Umumnya praktik pernikahan demikian dilakukan oleh seorang yang memiliki kecerdasan, pembesar, dan pemimpin kaumnya agar keturunannya dengan harapan agar anaknya kelak menjadi bibit unggul. Usai menanam benih, istri ini akan Kembali kepada suaminya. Apapun alasannya praktik seperti ini tetap jelas tidak dibenarkan dalam Islam, karena pernikahan tersebut dihapuskan.

Dari sekian pernikahan yang dihapuskan, sejatinya Islam telah memilah pernikahan yang terbaik dan maslahat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Pernikahan adalah akad kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melakukannya adalah ibadah. Dari yang semulanya diharamkan menjadi dihalalkan. Keindahan terkait pernikahan sebagaimana dilukiskan oleh firman Allah SWT. Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya Dia adalah menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.. (QS. Ar-Rum: 21).

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.