Hindari Dakwah Provokatif Bahar Smith

KolomHindari Dakwah Provokatif Bahar Smith

Dakwah provokatif Bahar bin Smith kembali mendapat perhatian publik. Pasalnya, Bahar diduga berujar kebencian dengan menyinggung Jendral Dudung dalam ceramahnya di Margaasih, Bandung, Jawa Barat (11/12/2021). Sebagai Muslim yang mencintai kedamaian, setiap dakwah yang mengandung unsur provokatif mestinya dihindari. Kita bisa saja kritis terhadap suatu kelompok, tetapi bukan berarti harus berujar kebencian terlebih di majelis dakwah. Sebab kedatangan jemaah di majelis tersebut bertujuan untuk belajar agama yang baik, bukan untuk saling mengumbar kebencian.

Islam memiliki muatan pedoman dalam melakukan syiar dakwah. Dakwah yang mengajak, bukan mengejek, merangkul bukan memukul, dan ramah bukan marah-marah. Sebagaimana metode dakwah yang baik disebutkan dalam firman Allah SWT, Serulah kamu ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalannya. Dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl: 125).

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, hikmah yaitu berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian orang yang diajak pada kebaikan. Metode dakwah dengan hikmah, tentu menghindari kalimat-kalimat yang bernuansa provokasi atau ujaran kebencian. Boleh jadi di posisi ini, para jemaah diimbau untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Padahal, tujuan terselubungnya menyalakan api kebencian jemaah terhadap sosok yang dikemukakan dalam dakwahnya.

Lazimnya, pendakwah provokator lebih mengedepankan sosok untuk dibenci, seperti kafir identik dengan non-Muslim. Ketimbang menunjukkan rasionalitas, keramahannya dalam beragama, misal bersikap dermawan, membela minoritas, bergabung dalam aktivitas bakti masyarakat. Namun, pada kehidupan realitanya yang terlihat lebih pada keterlibatannya pada kasus hukum tindakan kekerasan dan merendahkan, baik kepada manusia atau segala sesuatu yang dinilai berseberangan dengannya. 

Sebagai murid yang ingin mencari guru agama yang baik langkah kita mesti dikritisi. Pantaskah kita mengikuti guru yang jelas terindikasi kekerasan, berujar kebencian, provokatif, dan amoral lainnya untuk belajar agama? Jika kita tetap melaju, sadari bahwa dakwah ajaran Islam sangat jauh dari hal-hal tersebut. Mimbar dakwah yang isinya penuh celaan dan makian sudah seharusnya kita hindari agar dapat mengenal Islam yang berkualitas dan bermartabat, yaitu Islam rahmatan lil’alamin.

Dalam mimbar dakwah, sejarah Islam pernah diciderai dengan cetatan kelam. Ini terjadi pada masa Bani Umayyah, yang mana setiap khutbah Jumat mereka memiliki tradisi melempar ujaran kebencian dan provokatif kepada Ali bin Abi Thalib dan ahlul bait. Namun, tradisi buruk ini diputus oleh Umar bin Abdul Aziz ketika ia menjabat sebagai khalifah. Umar II dikenal sebagai khalifah yang mendalami ilmu tasawuf yang adil dan berhati mulia. Itu sebabnya, ia menghentikan aktivitas tercela ini dan mensucikan mimbar dakwah hanya untuk mensyiarkan Islam yang ramah dan sebagai majelis ilmu.

Baca Juga  Nabi SAW Mendidik Anak dengan Kebaikan, Bukan Kekerasan

Sebagaimana kisah di atas, kita tentu dapat mengambil pelajaran apabila menemukan majelis dakwah yang diisi celaan, sama halnya kita sedang mengulang sejarah kelam tersebut. Itu sebabnya, harus dihentikan. Karena jika tidak, citra Islam yang indah dan mendamaikan sulit terlihat, yang terlihat hanya mudah marah-marah dan bersikap represif. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sebagai suri tauladan yang baik bagi manusia dihadirkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan. Walisongo yang menyebarkan Islam di Indonesia, kiranya telah mengikuti jejak beliau dalam berdakwah. Yakni syiar yang penuh kesejukan, riang, jauh dari kegaduhan, tetapi sarat akan makna Islam.

Syaikh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’alim menyebutkan cara memilih guru yang tepat. Kriteria pertama, yaitu pilihlah guru yang berilmu tinggi dan berpengetahuan luas. Semakin profesional atau luas dan dalam pengetahuan seorang guru, wawasan keislaman kita lebih baik, hingga tidak mudah menyalahkan orang lain. Kedua, memilih orang yang paling wara’. Orang yang menghindar dari melakukan hal yang haram dan buruk. Ini penting bagi penuntut ilmu, bahwa tidak semua yang pandai itu bersifat wara’. Tak ayal, jika ilmunya dimanfaatkan untuk berbuat kejahatan, korupsi, menindas, dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab lainnya ketimbang untuk kemaslahatan. 

Ketiga, memilih yang lebih berumur. Bagi seorang pelajar hal ini akan membuatnya takzim dan hormat kepada gurunya sebagaimana perintah Rasulullah SAW untuk menghormati yang lebih tua dan mengasihi yang kecil, sebab yang tua lebih kaya pengalaman, hingga patut menimba ilmu darinya. Namun, hal itu tidak membatasi siapa pun untuk berguru kepada yang lebih muda selagi ia memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, maka boleh-boleh saja.

Memang benar, kita dapat belajar dari siapa saja. Akan tetapi, tidak dianjurkan bagi mereka yang belum menguasai dasar keilmuan agama yang matang sebab ia akan terbawa arus. Ibarat, orang yang baru belajar renang, tetapi langsung memilih kolam yang dalam barang tentu ia akan tenggelam. Sebaik-baiknya pertahanan diri adalah dengan terus mengoreksi kesadaran. Dari sekian hal yang dipelajari, apa yang membuat keberagamaan kita menjadi lebih baik, giat beribadah, dan harmonis dalam membangun relasi sosial. Atau justru, keilmuan yang didapat justru membuat pribadi merasa lebih baik, padahal orang-orang kian menjauh karena ketidakramahan dan kurangnya empati kita terhadap orang lain.

Oleh karena itu, selalu waspada dan hindari setiap dakwah yang provokatif dan ikuti dakwah yang mengajarkan pada esensi ajaran Islam yang menyejukkan, tetapi tetap mengedepankan rasionalitas, karena Islam merupakan agama yang dilandaskan ilmu pengetahuan dan akhlak.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.