Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 282 : Nasehat dalam Berhutang

RecommendedTafsir QS. Al-Baqarah Ayat 282 : Nasehat dalam Berhutang

Hutang-piutang adalah bagian dari tolong menolong sesama manusia. Meskipun hutang piutang diperbolehkan, tapi Islam menyuruh umatnya agar menghindari beban hutang semaksimal mungkin. Di era modern saat ini, transaksi hutang piutang kian mudah dilakukan dan dapat menjadi salah satu solusi cepat ketika sedang dalam kesulitan ekonomi. Namun, kemudahan di seputar memperoleh hutang ini dapat menjadi jebakan berbahaya jika kita tidak berhati-hati. Untuk itulah al-Quran memberi nasehat penting yang harus diperhatikan setiap Muslim dalam berhutang.

QS. Al-Baqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang didalam al-Quran. Ayat yang disebut sebagai ayat al-Mudayanah (hutang-piutang) tersebut merinci berbagai hal yang berkaitan tentan transaksi hutang-piutang. Pada ayat ini Allah menerangkan ketentuan-ketentuan dalam muamalah, yang didasarkan pada keadilan dan kerelaan masing-masing pihak sehingga menghilangkan keragu-raguan, buruk sangka, dan resiko kerugian lainya. 

Di dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa ayat ini menekankan tentang pentingnya pencatatan hutang oleh pihak yang berhutang. Hal ini dimaksudkan agar orang yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan tercatatnya transaksi atau hutang itu. Menulis hutang adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Menurut Quraish Shihab, penggalan ayat-ayat ini menasehati setiap orang yang melakukan transaksi hutang-piutang dengan dua nasehat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan …untuk waktu yang ditentukan… (QS. Al-Baqarah: 282) yang tertulis di awal ayat. Hal ini mengisyaratkan bahwa ketika berhutang masa pelunasannya harus ditentukan dengan pasti. Bukan dengan berkata,”Kalau saya ada uang,” atau “Kalau si A datang,” karena ucapan semacam ini tidak pasti. Bahkan anak kalimat ayat ini juga mengesankan bahwa ketika berhutang semestinya sudah harus tergambar dalam benak pengutang, bagaimana serta dari mana sumber pembayaran hutangnya diandalkan. Ini secara tidak langsung mengantar seorang Muslim untuk berhati-hati dalam berhutang. (Tafsir al-Misbah, h. 603)

Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus kehormatan dan harga diri. Karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berhutang kecuali jika sangat terpaksa. “Hutang adalah kehinaan di siang hari dan keresahan di malam hari”, demikian sabda Rasul saw yang dikutip di dalam Tafsir al-Misbah. Seorang yang tidak resah karena memiliki hutang atau tidak merasa risih karenanya, maka dia bukan seorang yang menghayati tuntunan agama. 

Baca Juga  Adzan Hayya ‘ala al-Jihad Bukan Ajaran Islam

Al-Quran memang sangat menekankan pentingnya kehati-hatian dan kecermatan dalam berhutang. Sebab hutang adalah satu beban yang dapat menjerumuskan dan menjebak seseorang, membuat orang yang kesulitan menjadi lebih sulit lagi. Fenomena klasik ini terus terjadi hingga di era modern seperti sekarang. Tidak heran jika salah satu doa Rasul saw. yang populer adalah allahumma inni a’udzu bika min dhala’il ad-dain wa ghalabat ar-rijal (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari hutang yang memberatkan serta penekanan manusia terhadapku). Di sisi lain beliau juga bersabda, penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah penganiayaan (HR. Bukhari dan Muslim).

Pokok nasehat dalam berhutang yang kedua terdapat dalam kalimat …Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya (QS. Al-Baqarah: 282). Mengapa yang dianjurkan membacakan rincian hutang adalah yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Menurut penafsiran Quraish Shihab, dengan mengimlakkan sendiri hutangnya di depan penulis serta yang memberi hutangnya, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian tersebut.

Allah SWT juga mengingatkan bagi yang berhutang agar ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Demikian ia diingatkan untuk bertakwa dengan menyebut dua kata yang menunjuk kepada Tuhan, yaitu Allah dan Rabbahu. Ini untuk mengingatkan yang berhutang bahwa hutang yang diterimanya serta kesediaan pemilik uang untuk menghutanginya tidak terlepas dari tarbiyah, yakni pemeliharaan dan pendidikan Allah terhadapnya. Karena itu lanjutan nasehat tersebut menyatakan, Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup oleh kesepakatan bersama.

Itulah beberapa nasehat pokok dalam berhutang yang terkandung di dalam QS. Al-Baqarah ayat 282. Yakni, mencatat hutang dan memperhitungkan sebaik mungkin bagaimana agar hutang itu dapat dilunasi. Nasehat ini tentu juga berkaitan erat dengan larangan melakukan
transaksi riba di dalam beberapa ayat sebelumnya (QS. Al-Baqarah: 275-279). Maka dari itu, segala bentuk transaski utang-piutang yang mengandung riba dan dapat merugikan pihak yang bertransaksi, harus dihindari meskipun terlihat mudah dan menggiurkan. Sebisa mungkin seorang Muslim harus menghindari hutang jika tidak dalam kondisi terdesak.

Sumber: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 603-606

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.