Dakwah Patriarki Sudah Tidak Relevan

KolomDakwah Patriarki Sudah Tidak Relevan

Versi Islam yang teknis dan legalistik, terus menguat secara politik hingga hari ini. Ada banyak sekali aspek kritis dari gerak-gerik Muslim fundamentalis dan Islam politik, di antaranya ialah dakwah patriarkinya. Dakwah patriarki yang disebut di sini ialah retorika yang mengukuhkan struktur patriarki yang bias jender, disertai legitimasi agama, digunakan untuk bersikap tidak adil terhadap hak kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki. Ada nggapan bahwa patriarki merupakan satu-satunya relasi gender ideal yang Islami. Sayangnya, banyak orang percaya bahwa patriarki adalah Syariat agama, padahal, dominasi laki-laki atas perempuan, anggapan bahwa perempuan itu inferior dan memosisikannya di bawah laki-laki, sebenarnya merupakan kontruksi sosial-budaya.

Kenyataan paling menyakitkan di balik dakwah patriarki, ialah kenyataan bahwa ada praktik interpretasi ayat al-Quran atau hadis yang ketat, kaku dan seliteral mungkin ketika berkaitan dengan topik perempuan. Hal itu dilakukan demi menutup-nutupi adanya kemungkinan alternatif penafsiran yang mendukung hak-hak perempuan. Bagaimanapun zaman telah berubah dalam rentang waktu yang jauh, perempuan tetap ditundukan pada penafsiran-penafsiran tradisional dan kolot, semetara penafsiran dalam urusan lain terus berkembang. Mereka, sebagai otoritarian, memiliki kekuatan untuk melarang atau membatasi pemahaman baru yang membebaskan perempuan dan mencapnya sebagai ‘melanggar kodrat’ atau ‘sesat’. Terbukti misalnya dalam reproduksi makna teks al-Quran dan Hadis tentang cadar, pekerjaan rumah tangga, dan berpergian keluar rumah.

Dalam artikel ilmiah berjudul A Survey of Modernization of Muslim Family Law, Fazlur Rahman menyinggung adanya motif ulama Muslim sepanjang sejarah, maupun para ideolog kaum fundamentalis, untuk memilih tafsir dan penjelasan yang paling membatasi perempuan. Mereka kerap menolak melakukan modifikasi aturan tentang perempuan untuk menyesuaikan dengan dinamika zaman. Mereka terus mengabaikan sebagian atau semua dalil lain yang cukup spesifik dalam hak-hak perempuan. Fundamentalis selanjutnya menolak untuk menggunakan hak mereka dalam menafsirkan ayat-ayat yang ambigu untuk kemajuan ataupun kemaslahatan perempuan.

Padahal demi menawarkan kembali hukum Islam dalam bentuk yang relevan dengan masyarakat Muslim modern, kaum fundamentalis yang juga dikenal dengan berbagai gerakan reformasinya tersebut, menyadari perlunya penafsiran ulang nash agama dan membuka kembali kesempatan ijtihad. Menurut Lamia Rustum, para pemikir fundamentalis di dalam penelitiannya, memanfaatkan semua metode yang disediakan Islam untuk memperbaharui pemikiran agar sesuai zaman. Namun, tidak satu pun dari metode itu yang diterapkan pada masalah berkaitan dengan relasi gender atau hak-hak perempuan. Mereka melakukan berbagai pembaharuan Islam di bidang sosial, politik, dan berbagai aspek kehidupan, tetapi membiarkan perempuan tetap pada penafsiran dan doktrin peran yang sama dan tidak berubah selama berabad-abad, seperti domestikasi dan subordinasi.

Keluwesan modifikasi atau pembaharuan penafsiran pun nampak pada kaum salafi dan islamis laki-laki. Mereka saat ini lebih leluasa menggunakan produk baru seperti internet, media sosial, kendaraan, dan gadget yang menurut penafsiran murninya dianggap produk Barat yang bid’ah atau haram, serta berpakaian dengan lebih fleksibel menggunakan batik, kemeja, hoodie, baju koko, peci maupun kopiah yang bukan budaya Islam Arab. Namun, bagi para perempuan tetap didakwahi untuk menggunakan pakaian wanita arab, bercadar, dilarang keluar rumah, tidak boleh bekerja, dan berbagai pematasan lainnya yang konstan, seperti masa lampau. Kenyataan ini benar-benar mengherankan bukan?

Tidak dipungkiri, adat istiadat dan budaya lokal masyarakat di mana pun Islam tersebar dan berkembang, selama berabad-abad, menyusup masuk ke dalam doktrin Muslim. Termasuk diantaranya ialah budaya patriarki, yang sebenarnya merupakan bagian dari pengadopsian budaya dari luar Islam. Leila Ahmed, dalam bukunya Women and Gender in Islam membuktikan bahwa makna gender yang terekam oleh sejarah masyarakat Islam awal, berbeda drastis dari makna jender berlaku dalam masyarakat Muslim setelahnya dan mayoritas Muslim kini.

Pada sub bab ‘Women and The Rise of Islam’, ia mencatat bahwa dalam era awal Islam, terjadi perombakan sistem tradisi secara radikal yang membawa perempuan pada kesetaraan dan kesederajatan dengan kaum laki-laki. Kesetaraan moral dan spiritual semua manusia ialah ajaran universal Islam, sebuah doktrin egaliter yang tidak pernah ada sebelumnya. Pada masa itu, perempuan turut berperan dalam sosial-politik kemasyarakatan secara signifikan, termasuk para Istri dan keturunan Nabi Muhammad SAW. Selalu ada perempuan yang dikenal dengan peran politis dan intelektualnya sepanjang sejarah itu, bahkan jumlahnya tidak sedikit.

Baca Juga  Generasi Muda Kunci Revitalisasi Peradaban

Berdasarkan penelusuran Leila Ahmed tersebut, degradasi makna jender dari egaliter menjadi patriarki, terjadi terutama di tengah masyarakat Islam Abbasiyah Irak. Dari sanalah diperoleh makna jender dan gagasan tentang perempuan yang mulai kontras berbeda dengan warisan peradaban Islam era awal. Abbasiyah Irak adalah sebuah masyarakat yang berbaur dengan sejumlah tradisi agama dan budaya, termasuk Yahudi, Kristen, dan Iran. Percampuran budaya itu tak terhindarkan, hingga bias androsentris dan misoginis dari masyarakat itu turut terserap ke dalam pemikiran Islam. Di saat yang bersamaan era Medieval Islam tersebut juga memproduksi sastra, hukum, dan kebudayaan yang menjadi korpus dan otoritas bagi pembentukan pemikiran Muslim yang dominan.

Oleh karena itu, budaya patriarki, sedalam apapun ia telah dikandung selama berabad-abad dalam masyarakat Islam, bukanlah syariat Islam. Struktur hirarkis hubungan antar jender, anggapan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, pengambilan kebijakan yang berorientasi pada laki-laki, hanyalah bagian dari budaya. Ironisnya lagi, ia adalah budaya lokal Yahudi-Kristen yang oleh mereka sendiri ditinggalkan, tetapi kita adopsi sebagai tradisi Islam secara turun-temurun bahkan dilegitimasi.

Saluran legitimasi itu ialah dakwah Patriarki, retorika yang tidak henti-hentinya dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Muslim hingga di era kontemporer ini. Bukan pertamakalinya dalam sejarah, agama dan perempuan dipolitisasi oleh Islamis.  Lamia Rustum dalam bukunya yang berjudul The Idea of Women in Fundamentalist Islam, menemukan bahwa ada pola dakwah yang sama di antara kelompok fundamentalis, di mana agama dan perempuan dimanipulasi untuk tujuan politik.

Konsistensi mereka pada penekanan status perempuan, domestikasi, dan relasi hirarkis dengan laki-laki, merupakan kesamaan strategi mereka untuk mencapai kekuasaan politik. Kaum fundamentalis, dari kelompok Islamis manapun, nampak sepakat menghidupkan kembali patriarki dan kendali terhadap perempuan untuk menjamin dukungan. Tatanan ideal kebebasan, keabsahan, kesetaraan sosial, keadilan ekonomi, kemakmuran, persatuan, dan kemenangan, dibangun atas dasar patriarki di mana perempuan terselubung dan dikucilkan dari ruang publik.

Penelitian yang mengkaji pemikiran tokoh-tokoh fundamentalis seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Ayatullah Khomeini, Hasan Al-Turabi dan al-Mawdudi ini, menemukan adanya kecenderungan yang sama untuk mempertahankan kontrol sosial terhadap perempuan, sebagai strategi pragmatis para fundamentalis Islam. Perempuan merupakan mata rantai sosial yang lemah dan paling terlihat, oleh karena itu mudah ditundukkan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan ilusi kontrol kepada masyarakat dan dunia. Dengan demikian, Lamia Rustum berkesimpulan, bahwa kontrol perempuan muncul sebagai alat yang efisien untuk kontrol sosial. Tindakan otoriter terhadap perempuan memperoleh legitimasi dan penerimaan ketika disajikan sebagai bagian dari penerapan Syariah Islam.

Jadi, dakwah patriarki merupakan materi retoris yang bersumber pada degradasi moral segolongan masyarakat abad pertengahan. Ia sekaligus mengandung kekuatan politis gerakan kaum fundamentalis, yang sangat berambisi mengontrol perempuan agar tetap berada di garis marginal demi keuntukang politik.

Dengan demikian, dakwah patriarki memuat banyak kerancuan dan ketidakberpihakan kepada perempuan, ia juga sarat dengan praktik korupsi makna teks agama. Pesan etis Islam yang menekankan kesetaraan semua manusia, pentingnya keadilan relasi jender, dan sejarah kemajuan perempuan di zaman Nabi SAW, mungkin tidak akan terdengar dari speaker dakwah jika para da’i menahan ide-ide dan praktik kesetaraan. Kita harus kritis terhadap hambatan besar kemajuan Muslimah ini. Patriarki, dalam statusnya sebagai budaya, paling jauh hanya dapat diakui sebagai alternatif, bukan etik atau syariat Islam. Ajaran Islam sesungguhnya egaliter dan berkeadilan terhadap semua makhluk.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.