Jejak Imam Syafi’i sebagai Pembela Hadis

KolomJejak Imam Syafi'i sebagai Pembela Hadis

Tidak hanya seorang pendiri mazhab fikih populer. Imam Syafi’i juga merupakan ahli hadis kaliber yang terpercaya. Hanya memang kemasyhuran dalam bidang fikih mengalahkan popularitasnya di bidang hadis. Meskipun demikian, saat berusia 13 tahun, Imam Syafi’i tercatat berhasil menghafal kitab al-Muwaththa’, sekaligus membacakan hafalannya di hadapan sang penulis kitab, yakni Imam Malik. Ini adalah salah satu hal yang membuktikan kehebatan Imam Syafi’i dalam hadis. Besarnya perhatian Imam Syafi’i pada hadis dan komitmen dalam meneguhinya membuat Imam Syafi’i mendapat gelar pembela hadis/sunnah (nashiru al-hadis).

Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencatat dalam Tawali al-Ta’sis, bahwa Harmalah bin Yahya pernah mendengar langsung pernyataan dari Imam Syafi’i yang berkata, “Di Mekkah saya dijuluki sebagai Nashir al-Hadis”. Sejak masih tinggal di Mekkah, Imam Syafi’i memang sudah kerap bergaul dengan para ulama dan juga menghafal banyak hadis. Adapun di usia tujuh tahun, ia telah selesai menghafal al-Quran.

Kehebatan Imam Malik selaku ahli hadis Madinah pun terdengar oleh Imam Syafi’i. Karenanya ia sangat ingin menimba ilmu kepada Imam Malik. Tekad kuat untuk berguru pada Imam Malik yang mendorongnya meminjam kitab al-Muwaththa’ dari penduduk Mekkah untuk dihafalnya hingga tamat. Akhirnya, berbekal tekad dan surat rekomendasi dari penguasa Mekkah, Imam Syafi’i bisa menemui Imam Malik, berguru dan menyetor hafalan al-Muwaththa’ kepadanya. Kala pergi ke Madinah, Imam Syafi’i berusia 13 tahun.

Muhammad bin Idris al-Syafi’i pun menjadi murid terbaik Imam Malik. Kehebatannya diakui banyak ulama. Dalam Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Imam al-Razi menceritakan, bahwa banyak penghafal hadis yang tak sanggup menghafal al-Muwaththa’. Artinya, kemampuan al-Syafi’i menghafalnya menunjukkan kehebatannya di bidang hadis.

Berguru pada Imam Malik di Madinah telah meninggalkan corak keilmuan ashabu al-hadis pada diri Imam Syafi’i. Selain kekuatan hafalan tadi, banyak hal lain yang menunjukkan Imam Syafi’i seorang pakar dan pembela hadis. Ia tekun mengodifikasi dan meneliti hadis untuk keperluan pengambilan hukum serta dalil bagi mazhabnya. Hadis-hadis tersebut juga ia dalami maknanya. Disebutkan pula bahwa salah satu sanad hadis yang paling sahih datang dari riwayat Imam Syafi’i dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Imam Syafi’i senantiasa menjadikan al-Quran dan hadis Nabi sebagai sumber dan landasan dalam memproduksi hukum. Secara umum, ini yang membuat Imam Syafi’i digelari pembela hadis.

Pembelaan lebih khususnya nampak dari upaya Imam Syafi’i memerjuangkan kehujahan hadis Ahad. Ketika belajar di Baghdad, Imam Syafi’i sering berdiskusi dengan kalangan ulama mazhab Hanafi mengenai penggunaan hadis Ahad sebagai dalil. Imam Syafi’i pun membantah ulama Hanafiah yang menolak penggunaan hadis Ahad untuk dalil. Kalaupun mengambilnya, mereka hanya menerima hadis Ahad yang diriwayatkan dari ulama Iraq yang terpercaya, seperti Alqamah, Ibrahim al-Nakha’i, dan Hammad bin Sulaiman. Hadis Ahad sendiri merupakan hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga perawi atau lebih di tiap tingkatannya, tapi tidak mencapai derajat mutawatir.

Baca Juga  Menghidupkan Spirit Ekologis Gus Dur

Sikap ulama Hanafiah itu sebenarnya cukup bisa dimaklumi. Mazhab Imam Abu Hanifah memang dikenal sangat ketat dan hati-hati dalam menerima sebuah hadis, mengingat mazhabnya lahir di wilayah yang sulit ditemukan hadis sahih, dengan situasi sosial politik yang dinamis dan plural. Sebab itu, mereka hanya menerima hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang di tiap tingkatannya, minimal 10 orang). Para ulama Hanafiah tersebut memertimbangkan kemungkinan bohong perawi di tengah kondisi sosial politik saat itu. Sedikitnya perbendaharaan hadis dan cepatnya dinamika kehidupan di Baghdad pula yang menyebabkan mazhab Abu Hanifah lebih mengedepankan logika dalam memutuskan suatu hukum.

Untuk mendebat ulama mazhab Imam Abu Hanifah mengenai penolakan mereka atas kehujahan hadis Ahad, Imam Syafi’i mengajukan sejumlah argumen. Pertama, Rasulullah SAW dalam mengutus sahabatnya untuk mendakwahkan Islam ke berbagai daerah, jumlah utusannya tak mencapai minimal batas tawatur, bahkan acap kali hanya satu orang saja. Dengan kata lain, transmisi hadis yang dilakukan oleh sahabat itu masuk dalam kategori hadis Ahad. Seperti halnya dakwah ke Yaman, Nabi hanya mengirim Mu’adz bin Jabal. Andai kata pengambilan hukum hanya bisa didasarkan pada hadis mutawatir, pasti Nabi akan mengirim rombongan dengan banyak orang dalam tiap misi dakwah.

Kedua, Nabi Muhammad mendorong agar orang yang mendengar hadis, mereka menghafal dan memahaminya lalu disampaikan kepada orang lain meskipun hanya satu orang. Dalam sabdanya dikatakan, Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar hadis dariku, lalu ia menghafalnya—dalam redaksi riwayat lain: lalu ia memahami dan menghafalnya—hingga (kemudian) ia menyampaikannya (kepada orang lain) (HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah). Nabi tentu akan secara eksplisit mensyaratkan banyak orang (kuantitas perawi) untuk menyampaikan hadis, apabila memang hadis Ahad tak berlaku sebagai dalil. Tapi nyatanya beliau tidak mensyaratkan hal tersebut.

Apa yang dilakukan Imam Syafi’i tersebut adalah upaya berharga bagi umat. Kita dimudahkan dalam mencari opsi dalil hadis karena banyaknya riwayat yang terakomodir. Jika terbatas pada hadis mutawatir saja yang diakui kehujahannya, maka umat Islam akan sangat kesulitan dalam mencari pendasaran baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Sebab jumlah hadis mutawatir sangatlah sedikit. Selagi suatu hadis Ahad memenuhi kriteria derajat sahih atau hasan, maka dimungkinkan untuk dijadikan dalil.

Upaya pembelaan Imam Syafi’i dimaksudkan agar sunnah Nabi tak terabaikan begitu saja. Di balik itu semua, ada kepekaan intelektual-sosial yang luar biasa dari sosok Imam Syafi’i. Sebab, upayanya menampakkan orientasi maslahat dan kehendak memudahkan bagi umat Islam dalam beragama dan mengakses dalil. Lebih lanjut, kegigihan dan ketekunan Imam Syafi’i dalam meneliti sumber-sumber hukum Islam termasuk hadis, telah meninggalkan warisan besar berupa mazhab fikih yang memudahkan umat Muslim. Dengan segala kiprah dan usaha yang telah dilakukan, pantas jika Muhammad bin Idris al-Syafi’i menyandang gelar nashiru al-hadis, sang pembela hadis Nabi. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.