Motif Politik Kelompok Muslimah Anti-Kesetaraan Gender

KolomMotif Politik Kelompok Muslimah Anti-Kesetaraan Gender

Beberapa hari yang lalu, saya melihat sebuah pamflet webinar berjudul We Need Islam Not Gender Equality. Acara online tersebut diselenggarakan oleh para Muslimah yang berideologi Negara Khilafah dan menuntut penerapan Islam kaffah dalam bingkai Hizbut Tahrir (HT). Ya, siapa lagi kalau bukan ex-MHTI. Kelompok wanita dari gerakan pengusung Khilafah ini dulunya adalah bagian dari organisasi sayap HTI. Selain bekerja dalam agenda HT untuk mempersiapkan negeri Muslim bagi tegaknya daulah Khilafah Islamiyah, para wanita tersebut juga memainkan tema yang dirancang khusus untuk menyasar perempuan, yaitu penolakan keras terhadap wacana kesetaraan gender. 

Muslimah anti kesetaraan gender ini mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk menginformasikan bahaya kesetaraan dan keadilan gender. Melalui media online,majalah, buletin, seminar, dan konferensinya, wanita yang menuntut politik Islam Kaffah ini menyebarkan kontra-wacana kesetaraan gender dengan mengasumsikannya sebagai Barat yang jahat.

Retorika seputar gender para wanita kelompok ini, dari dulu tetap sama, yakni mencerminkan penolakan mentah-mentah terhadap berbagai agenda dunia dan nasional yang mendukung partisipasi perempuan di bidang sosial, politik dan ekonomi. Mereka mengidentifikasi gender sebagai kebohongan dan jebakan kapitalis, dibuat oleh pakar gender di seluruh dunia, khususnya barat, untuk menghancurkan Islam. Mungkin terdengar agak delusional dan berlebihan, namun tesis semacam ini mudah sekali ditemui dalam setiap narasi kemlompok Negara Islam, sebagaimana yang terdengar dari webinar We Need Islam, Not Gender Equality kemarin. 

Pada dasarnya, kelompok pengusung negara Khilafah memang tidak memperjuangkan nilai Islam yang universal, melainkan memperjuangkan pemahaman dan ideologinya sendiri. Tidak heran, cara pandang HTI yang bias terhadap hak-hak perempuan berasal dari undang-undang buatannya sendiri, yang dengan sengaja mengabaikan ruh kesetaraan dan egalitarian yang terkandung dalam ajaran Islam. 

Berdasarkan Draft Konstitusi Hizbut Tharir, ada beberapa poin yang memang mendukung wanita HTI untuk menentang kesetaraan gender, dan memperjuangkan isu domestikasi perempuan. Sehingga wajar apabila mereka meganggap bahwa partisipasi kerja perempuan yang meningkat, merupakan agenda yang tidak Islami.

Misalnya, dalam bab ‘Sistem Sosial’. Pasal 108 berbunyi “Peran utama wanita adalah sebagai ibu dan istri”. Kemudian dalam pasal 117 disebutkan “suami melakukan semua pekerjaan yang biasanya dilakukan di luar rumah, dan wanita melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan di dalam rumah”. Berkat dua pasal ini, perempuan HTI sangat memperjuangkan kekakuan peran domestik perempuan.

Syariat Islam versi Hizbut Tahrir mewajibkan perempuan untuk berperan penuh sebagai istri dan ibu di rumah. Peran rumah tangga yang mereka sebut sebagai umm wa rabbah al-bait, merupakan peran utama perempuan yang tidak dapat ditawar. Sehingga perempuan yang ingin bekerja, pada akhirnya, harus sepakat menanggung beban ganda (double burden). Tidak dapat disangkal, Narasi utama mereka untuk menentang habis-habisan wacana kesetaraan jender yang  memungkinkan negosiasi peran rumah tangga secara demokratis, pada akhirnya sangat merugikan perempuan.

Padahal di dalam Islam, tidak ada pembagian peran yang kaku dan ketat seperti itu. Kita tidak pernah mendengar bahwa Khadijah berhenti bekerja atau berkarir setelah menikah dengan Rasulullah. Relasi gender dalam diatur dan ditata dengan fleksibel berdasarkan konteks masing-masing masyarakat. Struktur patriarki atau relasi gender yang tidak setara dan hirarkis mungkin cocok dalam kondisi masyarakat tertentu, tetapi bisa jadi tidak cocok bagi masyarkat lain di mana hak-hak perempuan sangat dihargai. 

Kelompok pengusung khilafah memang kurang menganggap bahwa hak-hak perempuan dapat setara dengan laki-laki. Dalam pasal 112 konstitusinya misalnya, tertulis “Wanita tidak diizinkan untuk mengambil peran di pemerintahan, oleh karena itu wanita tidak dapat memegang posisi Khalifah Mu’awin, wali, ‘amil atau melakukan tindakan apa pun yang memerintah. Dia tidak diperbolehkan menjadi hakim ketua, hakim di mahkamah Mazhalim, atau pun juru jihad”. Bayangkan, betapa menyedihkannya bahwa di abad modern ini, masih ada kelompok orang yang menghambat hak seseorang untuk berada di posisi strategis dan terlibat pengambilan keputusan hanya karena jenis kelaminnya yang bukan laki-laki!

Baca Juga  Gangguan Mental Bukan Lemah Iman

Jadi sudah tentu, ide-ide yang berasal dari Draft Konstitusi Hizbut Tahrir itulah yang kira-kira melatarbelakangi perlawanan kelompok Muslimah ini terhadap kesetaraan dan kebebasan perempuan. Inilah kultur di kalangan fundamentalis seperti HTI, perempuan selalu diposisikan di bawah otoritas laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki.

Sampai di sini, cukup jelas bahwa wacana gender yang awalnya merupakan masalah utama yang dibahas para wanita dalam seminar ini, ujung-ujungnya, hanya digambarkan sebagai bagian dari sistem Barat. Hal ini tentu tidak lepas dari politik anti-Barat Hisbut Tahrir yang memusuhi terminologi barat seperti demokrasi, kapitalisme, tentu juga gender. Motif kebencian yang sangat besar terhadap Barat tercermin dengan baik dalam setiap narasi dakwahnya, karena hal itu memang sesuai dengan agenda politik HT. Maka dari itu, retorika umum Muslimah anti kesetaraan gender ini, dalam setiap artikel maupun orasinya, selalu mengait-ngaitkan isu tentang perempuan dengan kebutuhan mendesak untuk mendirikan kekhalifahan dan politik Islam kaffah.

Pada dasarnya, kelompok Islamis, apapun ideologi politik maupun ekonominya, memiliki kesamaan dalam menekankan wanita muslimah ke dalam rumah tangga dan peran domestik. Gender dimanipulasi untuk kelangsungan politik, meskipun dakwah domestikasi perempuan di kalangan kelompok ini sendiri, sebenarnya seringkali mencerminkan kecenderungan dan praktik yang kontradiktif.  Dalam The Idea of Women Under Fundamentalist Islam, karya Lamia Rustum Shahadeh, lebih jauh dikemukakan adanya kontradiksi antara teori peran domestik perempuan ala kaum fundamentalis dan praktiknya.

Seperti di antaranya, dukungan al-Maududi terhadap pencalonan Fatimah Jinnah, dan keragu-raguan Khomeini antara menghapus perempuan dari ruang publik atau mengundang mereka kembali sebagai sumber kekuatan politik. Terlebih lagi, kehidupan pribadi seorang tokoh Muslimah fundamentalis, Zaynab al-Ghazali, nyatanya berbeda drastis dari perjuangannya tentang pentingnya peran perempuan di rumah.

Pandangan kaku tentang peran domestik perempuan sebagai kodrat, dalam realitasnya sudah sulit diterapkan. Khususnya bagi wanita yang memiliki profesi keahlian, bahkan aktivis muslimah yang kerap menyuarakan peran itu sendiri. Muslimah yang aktif dalam aktivisme kelompok islamnya, misalnya, mau tidak mau membutuhkan pembantu bagi peran domestiknya. 

Dibandingkan diisolasi di rumah dan jauh dari kehidupan publik, Zaynab al-Ghazali perlu sering bekerja di luar rumah untuk menyebarkan Islam, menentang barat, mengejar pertempuran di lapangan. Zaynab al-Ghazali, mencapai posisi tinggi di Ikhwanul Muslimin dan bahkan bangga telah dikirim ke penjara pria Liman Tura, sebelum dia akhirnya dikirim ke penjara wanita di mana ia mengolok-olok para narapidana dan menganggap dirinya lebih tinggi dari mereka. Ia tidak menjalani kehidupan domestik perempuan seperti yang kerap disuarakannya.

Dengan demikian, penolakan kesetaraan gender, jelas, didasari motif kepentingan Ideologi khilafah, bukan kepentingan perempuan secara umum apalagii kesadaran tentang tingginya ajaran Islam untuk menyetarakan seluruh umat Manusia. Materi dakwah yang berpola menakut-nakuti perempuan, membatasi perannya dan melaknat kebebasannya sangat tidak relevan dengan konteks zaman sekarang. Ada banyak sekali alternatif pemahaman agama yang mendukung kemajuan perempuan. Jangan mau dikekang oleh dakwah yang melemahkan perempuan dan menentang kesetaraan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.