Memahami Kesalahan yang Dilakukan Sahabat Nabi

KhazanahHikmahMemahami Kesalahan yang Dilakukan Sahabat Nabi

Sahabat Nabi tidaklah seperti Nabi yang terjaga dari kesalahan (ma’shum). Kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan sahabat diceritakan dalam sejumlah riwayat. Ada sahabat yang minum khamr, berzina, ada juga sahabat yang melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan, dan sebagainya. Rasulullah pun menghukum mereka secara adil. Predikat sebagai generasi terbaik tidak membuat Rasulullah mengistimewakan para sahabatnya dalam hal hukuman. Keadilan Nabi berpegang pada prinsip bahwa setiap orang bertanggung jawab atas perbuatan mereka, dan bahwa hak tiap orang harus dibela.

Kesalahan yang diperbuat sahabat ini bukanlah aib. Justru itu bagian dari skema kebaikan Allah dalam mendidik umat manusia. Para sahabat dijadikan sebagai manusia yang bisa bersalah guna menjadi teladan bagi kita dalam menyikapi kesalahan. Generasi terbaik ini memetik pengetahuan langsung dari Nabi Muhammad—yang tak memiliki cela—namun, mereka tetap tidak sempurna sekalipun dengan pengetahuan itu. Karenanya para sahabat bersikap sejauh kemampuan mereka. Andai kata mereka tanpa cela, kita tak bisa memetik hikmah dari perbuatan para sahabat.

Rasulullah SAW pernah memuji seorang wanita yang berzina lalu bertobat. Kata beliau, Tobatnya begitu tulus, sehingga jika tobat itu dibagi-bagikan ke tujuh puluh penduduk Madinah niscaya akan mencukupi mereka (HR. Muslim). Nabi Muhammad SAW mengajari kita cara memandang seseorang yang berbuat salah. Kita tak boleh berbuat kasar pada orang tersebut, menghinanya sebagai pendosa, mengusir, melaknat, atau menutup pintu maaf bagi mereka.

Alih-alih meremehkan orang yang berbuat salah, Nabi menyuruh kita untuk merenungi hikmahnya. Sebagaimana yang nampak dari hadis di atas, ketulusan pertobatan wanita tadi adalah hal yang mesti diperhatikan dan direnungi. Jangan kita menjadi penolong bagi setan. Mereka yang menghardik, menghina pendosa, yang mendoakan pelaku maksiat jauh dari rahmat Allah merupakan barisan penolong setan.

Nabi pernah menegur sahabat yang melaknat seorang peminum khamr dengan mengatakan, Janganlah kalian menjadi penolong setan atas saudara kalian. Di lain riwayat, ketika mendengar hinaan terhadap tersangka peminum khamr, Nabi mengatakan, Jangan kalian laknat dia! Demi Allah, aku tidak tahu bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kitab Fathu al-Bari, Imam Ibnu Hajar menerangkan maksud dari penolong setan. Singkatnya, pekerjaan setan adalah menggoda manusia untuk bermaksiat. Saat ada yang bermaksiat, timbul pula orang lain yang marah, karena rasa marah itu ia terdorong untuk menghina atau melaknat pelaku maksiat tadi. Inilah tujuan setan, yaitu agar kita mendoakan keburukan. Jadi, seseorang yang menghina pendosa seolah-olah telah menunaikan tujuan setan, sehingga disebut sebagai penolongnya.

Baca Juga  Pentingnya Ridha Orang Tua bagi Anak

Para sahabat Nabi tidak lepas dari khilaf dan salah. Bersamaan dengan itu Nabi Muhammad melarang kita berbicara buruk tentang mereka, serta menyuruh kita untuk menghormati kedudukan mereka. Rasulullah berkata, Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku! Demi Allah, seandainya salah satu dari kalian berinfak emas sebanyak gunung Uhud, kalian tidak akan menyamai pahala dari segenggam (emas) yang diinfakkan oleh salah satu dari mereka dan tidak pula setengahnya (HR. Bukhari-Muslim).

Setidaknya ada dua hal yang bisa dicermati dari kesalahan para sahabat. Pertama, pengalaman kesalahan para sahabat Nabi adalah skenario hikmah bagi umat ke depannya. Dari mereka, kita belajar memahami perintah untuk menampakkan bagaimana perilaku yang benar dalam menghadapi kesalahan dan menyikapi pelakunya. Yakni dengan tidak mencela, melaknat, atau mendoakan keburukan seorang pendosa, dengan tetap menghargai kemanusiaan mereka.

Kedua, dalam konteks sahabat, mereka adalah generasi terbaik, tapi tak luput dari kekeliruan. Di saat yag sama, mereka adalah teladan bagi generasi kemudian dengan segala kekurangannya. Namun demikian, keagungan kedudukan para sahabat, jangan lantas menjadikan kita menutup nalar kritis saat mendapati hal yang mengganjal atau layak dan penting dipertanyakan. Asalkan disampaikan dengan santun dan bertanggung jawab.

Akhir kata, setiap kita pasti pernah berbuat salah. Karena itu tidak perlu memandang orang lain lebih rendah. Tuhan saja Maha Pengampun dan Pemurah. Maka dari itu, tak pantas jika kita menganggap kesalahan seseorang sebagai aib dan noda yang tak bisa sirna. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.