Hijab Lebih Dari Soal Kain

KolomHijab Lebih Dari Soal Kain

Saking berambisinya menerapkan pemakaian hijab syar’i bagi perempuan, segolongan Muslim terkesan lebih mengutamakan kainnya, pakaiannya, hijabnya itu, daripada perempuan itu sendiri. Pakaian Hijab bagi mereka sangat menentukan kadar kesucian perempuan. Hal itu menyebabkan sebagian Muslim kerap mencela dan merendahkan perempuan yang tidak berhijab sesuai standar yang dianggap syar’i. Nampaknya, pembahasan utama ayat hijab di tengah masyarakat Muslim, hanya soal kain saja. 

Dalam sebuah video ceramah yang berjudul “Dosa Besar ke 108 -Tidak Menutup Aurat”. Ustadz Khalid Basalamah, dengan kisah-kisah ajaibnya menekankan pentingnya mengenakan hijab, ditambah cadar dan niqab, untuk melindungi diri perempuan. Amat disayangkan, materi cerama seperti ini seakan menggantungkan keselamatan perempuan hanya pada lembaran kain di tubuhnya, dan melazimkan kekerasan dan pelecehan terjadi akibat kurangnya kain yang membungkus perempuan. hmmm!

Pada dasarnya, mengenakan hijab dengan keyakinan sebagai perlindungan diri dari gangguan, merupakan prinsip yang  bersumber dari al-Quran. Allah SWT berfirman, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. (QS. Al-Ahzab: 59).

Berdasarkan konteks historis ayat tersebut, perintah berjilbab diturunkan agar menjadi solusi bagi masalah keamanan sosial perempuan di zaman itu, yaitu sebagai peneguh identitas dan melindungi perempuan dari gangguan. Fakhruddin al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan mengenai kebiasaan perempuan keluar rumah pada waktu malam hari untuk sebuah keperluan. Di lingkungan itu, ada golongan orang-orang fasik dari kalangan munafik yang mempunyai kebiasaan jahiliyah, yakni menggoda dan mengganggu budak-budak wanita yang keluar rumah, bahkan mereka juga mengganggu wanita-wanita merdeka. Ketika golongan munafik tersebut ditegur mereka berkilah bahwa “kami menyangka mereka adalah budak-budak perempuan”, sehingga Allah menurunkan ayat tersebut. Jadi, jelas sekali, hijab adalah atribut yang menegaskan bahwa wanita tidak boleh diganggu.

Saat ini, tantangan zaman berubah, masalah keamanan sosial bagi perempuan pun sudah tak lagi sama, bahkan membutuhkan penanganan yang lebih kompleks. Jilbab pada belasan abad yang lalu telah cukup untuk menjaga keselamatan perempuan dari gangguan, tetapi saat ini mungkin sudah tidak begitu signifikan lagi jika hanya dipakai sebagai simbol saja, tanpa memperhatikan substansinya yang merupakan upaya menciptakan keamanan bagi perempuan. Padahal, meskipun hijab tidak luput dari kritik modern, namun, spirit al-Ahzab ayat 59 untuk menjaga dan memperhatikan keamanan perempuan tetap diapresiasi hingga di era kini.

Maka dari itu, penting untuk mencari serta menempa pandangan koheren yang berakar ayat ini, yang sesuai dengan tempat, budaya, dan waktu sejarah kita. Bung Karno, bapak bangsa, meyakini bahwa tantangan zaman kita berkembang lebih besar daripada masyarakat madinah Zaman Nabi, sehingga ia menuliskan, “Segala ucapan-ucapan Muhammad SAW tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni tuntutan-tuntutan paling sedikitnya, bukan tuntutan tuntutan yang musti persis seperti itu, bukan tuntutan-tuntutan yang mutlak.”

Dari semangat ini, kita sesungguhnya diharapkan untuk memaksimalkan teks agama agar lebih produktif dan kontekstual bagi zaman kita, bukan hanya memaksakan pemahaman kaku berdasarkan bentuk literalnya, dan terjebak pada simbol-simbolnya saja.

Di dalam QS. al-Ahzab ayat 59, perempuan dianjurkan untuk menutup bagian-bagian tubuhnya yang apabila ditampakkan akan menyebabkan adanya gangguan (al-ada). Thahir ibnu Asyur mengemukakan pendapat bahwa, tidak semua perintah yang tercantum dalam al-Quran merupakan perintah wajib. Sekian banyak hadis yang menggunakan redaksi perintah tetapi maksudnya adalah anjuran, atau larangan tetapi maksudnya adalah sebaiknya ditinggalkan. Meskipun hanya berupa anjuran, tidaklah mengurangi banyaknya hikmah yang menggugah darinya. Sebagaimana Muhammad Syahrur menyebutkan jika ayat tersebut masuk dalam klasifikasi ayat ta’limāt (pengajaran).

Baca Juga  Filosofi KH. Ahmad Dahlan Dalam Menghadapi Tantangan Masyarakat

Adapun gangguan (al-ada) yang perlu dipahami di sini terdiri dari dua macam, yaitu yang bersifat alami dan sosial. Gangguan alami terkait lingkungan geografis, seperti suhu udara dan cuaca. Sedangkan gangguan sosial adalah gangguan yang berasal dari masyarakat, seperti celaan dan gangguan dari orang-orang. sehingga ia memberi kesimpulan, bahwa pemberlakuan ayat tersebut dapat berupa tata cara berpakaian perempuan yang didasarkan pada kebiasaan setempat, dengan catatan dapat menghindarkannya dari gangguan sosial.

Kata al-jilbab sebagai kata yang bermakna perlindungan, menurut Syahrur ialah pakaian luar yang dapat berbentuk celana panjang, baju, seragam resmi, mantel dan lain-lain. Jadi menurutnya, seluruh bentuk pakaian semacam ini termasuk dalam pengertian al-jalabib yang diakomodir dalam ayat 59 surat al-Ahzab tersebut.

Selaras dengan pengertian itu, penafsir lainnya, yaitu Quraish Shihab menuliskan bahwa cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah ayat ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni, agar mereka dikenal sebagai wanita muslim yang baik sehingga mereka tidak diganggu.

Quraish Shihab menambahkan bahwa kita boleh berkata bahwa hanya yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan, berarti menjalankan bunyi teks tersebut. Kemudian beliau menambahkan bahwa pada saat yang sama, kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan sebagian tangannya, bahwa mereka ‘secara pasti telah melanggar petunjuk agama’, sebab al-Quran tidak menyebut batas aurat dan para ulama pun berbeda pendapat.

Dari beberapa penjelasan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perbedaan dan keragaman model hijab atau jilbab itu sangat lazim dan sah, meski aspek detailnya diatur pula dalam ayat lain, seperti dalam QS. An-Nur ayat 31. Perbedaan pakaian bukan suatu masalah selama dapat melindungi dan menghindarkan perempuan dari gangguan, substansi yang melekat kuat dalam ayat yang saat ini dibahas terletak pada kalimat ‘agar mereka tidak di ganggu’ (QS. Al-Ahzab: 59), jadi watak sebenarnya dari ayat tersebut ialah spirit perlindungan terhadap wanita.

Dengan demikian, menggunakan QS. Al-Ahzab ayat 59 sebagai dogma untuk semakin membungkus rapat kaum perempuan sebenarnya kurang relevan. Zaman sekarang, menggantungkan perempuan pada kekuatan kain jilbab saja sangat tidak menjamin, inti Jilbab sebagai simbol perlindungan harus didukung juga dengan ide-ide untuk menciptakan kondisi yang baik dan aman bagi perempuan. 

Singkatnya, penggunaan Jilbab ataupun hijab, bagaimanapun tetap direkomendasikan konteks masyarakat kita saat ini, namun harus dengan kesadaran untuk tidak mengabaikan tanggung jawab keselamatan perempuan dari aspek lain, karena perlindungan dan keselamatan perempuan merupakan inti dari jilbabnya. Spirit utama dari ayat tentang jilbab bukan sekedar mengulurkan kain, tetapi lebih jauh dari pada itu, yakni mengupayakan keselamatan dan perlindungan perempuan di ruang publik.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.