Mengkritik Tanpa Melecehkan

KhazanahMengkritik Tanpa Melecehkan

Di zaman kita saat ini, orang mudah sekali menyerang kehormatan orang lain lainnya dengan menggunakan segala macam sindiran, label, dan julukan ofensif yang merusak. Seperti dengan sebutan kadrun, cebong, dan kampret misalnya. Di Medsos, jika orang yang sedang diserang diketahui, maka sindiran itu menjadi ejekan yang jahat. Namun, jika siapa target spesifik yang dimaksud tidak diketahui, maka sindiran itu akan menimbulkan kecurigaan yang meluas, “mungkin dia sedang berbicara tentang si anu atau si anu.”

Nabi SAW menuntun kita untuk tidak mengkritik Muslim lain secara vulgar dengan menyebut dan mempermalukannya, sehingga merusak reputasi mereka. Beliau adalah teladan kita dalam mengamalkan perintah Allah SWT, …Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk (QS. al-Hujurat:11)

Rasulullah SAW mengajarkan bahwa Reputasi atau kehormatan sesama Muslim itu sakral dan tidak dapat dilanggar tanpa alasan yang serius. Reputasi seorang Muslim adalah bagian dari aset sucinya, Abu Huraira meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ. Artinya, setiap Muslim itu suci bagi Muslim lainnya, yaitu hidupnya, kekayaannya, dan reputasinya. (HR. Muslim)

Secara umum, umat Islam diajarkan untuk saling menasihati tentang kesalahan publik anggotanya. Tetapi, hal itu perlu dilakukan melalui cara-cara yang dapat menjaga kehormatan dan reputasinya, seperti secara tertutup, private, atau tanpa melecehkan identitasnya. Jika seorang Muslim melakukan kesalahan di depan umum, yang terbaik adalah mengkritik tindakan atau ide yang salah secara pribadi atau di forum lain tanpa menyebut nama orang tersebut atau mempermalukannya. 

Kita tidak boleh menyerang identitas orang yang melakukan kesalahan. Bagaimanapun, tujuan utama dalam menegur atau menasihati adalah untuk memperbaiki perilakunya, bukan untuk menyakitinya. Apabila Nabi SAW mendengar sesuatu yang buruk tentang seorang pria, dia tidak akan menyebutkan nama mereka dengan mengatakan, “Ada apa dengan si ini sehingga dia seperti ini?” Sebaliknya, Nabi akan menyebutnya secara jamak dan umum agar tidak vulgar, “ada apa dengan orang-orang yang seperti ini?”

Baca Juga  Ahmadiyah di Mata Bung Karno

Pada suatu kesempatan, beberapa sahabat Nabi SAW secara terbuka menyatakan ambisinya untuk beribadah sepanjang waktu. Demi mengejar porsi ibadah yang tidak terkalahkan, ada yang berkata bahwa dia tidak akan menikah, yang lain berkata akan berpuasa sepanjang hari, ada juga yang bertekad tidak akan tidur. 

Nabi SAW tidak menegur para sahabat ini dengan menyebut nama mereka, tetapi ia meluruskan kepada orang-orang bahwa sunnah itu berbeda dari gaya hidup ekstrem seperti itu. Berdasarkan Riwayat Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, Ada apa dengan orang-orang yang berkata seperti ini? Aku shalat dan aku tidur, aku berpuasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Siapa yang tidak mengikuti amalanku bukan golonganku. (HR. Muslim)

Itulah cara mulia Nabi Muhammad SAW dalam meluruskan dan menegur seseorang. Ketika beliau tidak menyetujui sesuatu, dia akan membahasnya dan menyebutkan ketidaksetujuannya tanpa menyebutkan siapa yang melakukannya. Imam Al-Nawawi dalam syarah tentang hadis ini, menjelaskan bahwa, Ini adalah bagian dari karakternya yang luar biasa. Memang, tujuannya adalah agar orang itu dan semua yang hadir, serta orang lain, mendengar ketidaksetujuan itu tanpa memarahi orang di majelis. (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 1401)

Singkatnta, Islam mengajarkan kita untuk membatasi kritik kita pada ide atau perbuatan yang salah, tanpa sedikitpun menyerang dan melecehkan identitas orangnya. Dengan demikian, kita dapat fokus pada apa yang memang layak dikritik, yaitu tindakan nyata dari dosa dan pelanggaran, sambil tetap menghormati kesakrala reputasi publik dan nama baik saudara seiman kita.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.