Terlalu Takut pada Orang Tua Memicu Anak Berbohong

KolomTerlalu Takut pada Orang Tua Memicu Anak Berbohong

Berangkat dari ketakutan, seorang siswa (13 tahun) di Perancis yang sedang diskors karena kerap membolos sekolah melakukan rekayasa cerita tentang gurunya, yakni Samuel Patty untuk menyenangkan hati ayahnya. Kasus yang menimpa seorang guru yang sempat menggegerkan seluruh masyarakat global. Pasalnya, tak disangka kebohongan tersebut berujung menewaskan gurunya secara tragis yang dipenggal kepalanya oleh seorang ekstremis setelah mendapat informasi dari media sosial yang disiarkan ayah dari anak yang telah membohonginya, terkait karikatur yang menjerumuskan Samuel Patty.

Dilansir dari The Guardian, (7/3) Le Parisien mengungkapkan bahwa setelah diperiksa lebih lanjut tentang kasus Samuel Patty, Z (inisial siswa) mengaku salah telah menuduh Samuel Patty. Ia tidak berada di kelas ketika gurunya menjelaskan, selama ini Z menutup kebenaran atas peristiwa karena khawatir ayahnya akan kecewa atas kenakalannya di sekolah.

Kasus ini menarik dibahas lebih lanjut. Bukan hanya pada sisa trauma insiden tragis, melainkan kebohongan anak itu sendiri penting untuk diperhatikan. Jika ditilik antara seorang anak yang berbohong dan respons berlebihan ayahnya yang langsung mengekspos berlebihan di media sosial, maka keduanya memiliki kesinambungan terkait pola asuh yang berada dalam suatu keluarga. Kini tak disangka, kebohongan anak yang menjadi akar rumput problematikanya.

Umumnya, ketika anak dalam situasi dirundung rasa takut, sangat memungkinkan ia berbohong untuk menyelamatkan dirinya. Hal ini dikarenakan sangat signifikan terkait pola asuh orang tua yang mengantarkan mereka untuk melakukannya. Dari sekian beberapa sikap orang tua yang tak disadari memicu anak berbohong. Yaitu pertama, orang tua otoriter terhadap ambisinya. Karena itu, tak jarang banyak anak yang masuk perguruan tinggi, tetapi tidak sesuai minatnya. Sikap demikian membuat anak tertekan, sulit berkembang dan berbahagia, lantas bakatnya pun turut tertimbun. Dari sini anak akan terpaksa berbohong, karena memaksa kesempurnaan pada anak, orang tau merasa lebih berpengalaman atau tahu segalanya, sehingga tidak pernah ditanyakan apa yang sebenarnya menjadi minat atau keinginannya.

Kedua, takut dihukum. Filsuf Bertrand Russell pernah berkata, anak-anak yang tidak jujur hampir selalu disebabkan oleh akibat dari rasa takutnya. Imajinasi rasa takut ini merambah pada kebohongan, terlebih jika ia pernah melakukan kesalahan kemudian dihukum, baik secara fisik, dimarahi, dipukuli, dipermalukan ataupun sebagainya, maka akan mengukuhkan spekulasi anak dengan tidak berkata jujur merupakan pilihan yang baik agar terbebas dari imajinasi ketakutannya.

Kejujuran anak atas kekeliruannya yang tidak dihargai orang tua, juga menjadi problem untuk melakukan kebohongan lebih lanjut. Oleh karena itu, apresiasi terhadap kejujuran itu penting. Beritahukan bahwa kesalahan yang dilakukan anak bisa dimaklumi, tetapi bila ada kesalahannya itu sulit maafkan secara cuma-Cuma, maka berikan konsekuensi hukuman yang ia bisa terima secara sepakat atas kesalahannya dengan senang hati, dengan catatan memberikan hukuman yang bisa memberi efek jera tanpa ada kesan yang menakutkan atau mengerikan.

Ketiga, memiliki pemikiran salah dan tidak punya solusi. Anak-anak yang masih terbatas dalam berpikir mungkin rentan melakukan hal-hal yang salah. Jadi orang tua sudah semestinya menuntun anak menata pemikirannya dengan benar agar tidak berbohong. Misal anak mendapatkan nilai yang tak bagus, bukan berarti ia harus memalsukan nilainya agar tidak mengecewakan orang tuanya. Katakan saja, bahwa kejujurannya lebih baik, meski nilainya tidak terlalu bagus. Lebih baik lagi, orang tua tersebut memberi motivasi dengan menemani masa sulit-sulitnya agar kepercayaan dirinya tidak hilang.

Baca Juga  Ajaran Toleransi Melalui Masjid

Selain itu, pengalaman empiris di lingkungannya akan kebohongan juga berpengaruh. Lingkungan keluarga merupakan instansi terkecil dalam masyarakat. Instansi ini menjadi awal penanaman nilai-nilai luhur. Rasulullah SAW bersabda, Ibu adalah madrasah pertama. Meski yang disebutkan hanya ibu, hakikatnya peran kedua orang tua memiliki tanggung jawab yang sama dalam mendidik. Sebagaimana firman Allah SWT, Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.. (QS. At-Tahrim: 6).

Memang kebohongan merupakan salah satu hal yang sulit ditolerir orang tua dan guru, hingga kerap membuat pusing kepala. Meski begitu, kebohongan yang dilakukan pada anak itu perkembangan normal. Itu artinya, otaknya telah terangsang nalar kognitifnya untuk mengarang sesuatu di luar jangkauannya. Mudah diidentifikasikan ketika anak kecil tidak jujur, karena ia masih belum pandai menyimpan kebohongannya.

Pada situasinya, kebohongan yang dilakukan anak kecil ia hanya memikirkan keamanan untuk dirinya saja. Berbeda dengan mereka yang sudah dewasa, terkadang dalam kebohongannya masih ada pertimbangan baik atau buruknya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Adapun sebagai upaya menangkal kebohongan, sudah semestinya orang tua belajar agar bisa mengimplementasikan pola asuh yang demokratis, walaupun pola asuh otoriter tidak selalu buruk. Pola asuh yang demokratis berimplikasi pada hubungan keluarga yang lebih rileks dan egaliter, yakni bebas tapi terarah. Tidak terlalu otoriter dan permisif (terlalu membebaskan anak tanpa bimbingan). Selalu mengedepankan musyawarah secara persuasif untuk bertukar pikiran sembari menginformasikan kausalitas yang diputuskan, tidak menghakimi segalanya secara sepihak.

Perlu diingat pula, jangan mengatakan bahwa sekali kebohongan anak lantas moralnya dilabelkan buruk. Ini akan sangat menyakiti harga dirinya. Belajar bersabar untuk terus mendidik agar ia menjadi lebih baik.

Pada akhirnya, kunci memperbaiki kebiasaan buruk atas kebohongan adalah mengajarkannya teladan kejujuran dan ketulusan terhadap orang lain. Orang tua yang bersahabat dengan anaknya, tentu tidak akan sulit mengetahui kapan anak tengah berbohong atau berkata jujur. Bagaimana pun orang tua harus mendapat kejujuran dari anaknya sebagai kepercayaan dari orang terdekatnya, tetapi jika anak sulit mengatakan yang sebenarnya, maka jangan memaksanya. Anak memiliki hak untuk diam sampai ia mau bercerita dengan suka rela. Apabila dalam pembicaraannya melibatkan orang lain yang membuat orang tua geram, maka ucapannya harus dikonfirmasi terhadap pihak yang terkait supaya tidak terjadi kesalahpahaman hingga ada pihak yang dirugikan akibat kebohongan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.