Pentingnya Nuansa Feminin dalam Politik

KolomPentingnya Nuansa Feminin dalam Politik

Budaya kekuasaan dalam masyarakat kita, berjalan dalam proses yang berkarakter maskulin. Yakni ambisius, kuat, dan agresif. Kecenderungan ini membentuk politik yang berorientasi pada kekuasaan. Tidak heran, kita selama ini dipertontonkan dengan drama kekuasaan yang diraih dan dipertahankan dengan berbagai cara, menghalalkan segala jalan, dan lebih berpihak pada kepentingan elit yang berkuasa.

Sedangkan, jalannya politik yang lebih berorientasi pada pelayanan terhadap masyarakat, masih kurang nyata di hadapan publik. Padahal, posisi pemimpin yang digunakan untuk melayani dan mengayomi masyarakat adalah salah satu dari definisi politik. Urusan politik seharusnya bukan hanya berkonotasi pada penguasaan aset-aset strategis, tetapi yang lebih penting adalah melayani kepentingan rakyat.

Minimnya politik pelayanan yang diperkaya oleh kualitas feminin, disinyalir bersumber pada minimnya partisipasi perempuan dalam bidang politik. Selama ini, bidang kekuasaan dan otoritas selalu didominasi oleh laki-laki, sehingga menciptakn ruang politik yang lebih maskulin. Kuatnya nuansa maskulin dalam ranah politik, juga menuntut kaum perempuan yang terjun di dunia politik untuk berupaya menganut gaya kekuasaaan model laki-laki, menyingkirkan ciri-ciri feminin alaminya.

Padahal, kebajikan dan amal shalih tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Begitupun pembagian sifat gender maskulin dan feminine, tidak selalu berarti pengelompokan antara laki-laki dan perempuan, karena kedua sifat tersebut dapat diadopsi oleh siapa saja. Maka dari itu, kualitas feminin seorang perempuan yang berpolitik tidaklah perlu dieleminasi agar ia dianggap cocok berkiprah secara maksimal di bidang ini. Sebaliknya, kehadiran karakter feminin justru akan memperkaya nuansa politik yang ada.

Kita tidak perlu mengharapkan perempuan yang hadir di ranah politik berubah mengikuti standar politik yang maskulin. Kehadiran lali-laki dan perempuan, dengan karakternya masing-masing, sama-sama penting, serta perlu diseimbangkan. Menghilangkan salahsatunya sama saja mengurangi potensi yang ada. Perempuan bisa saja memiliki motivasi politik yang berbeda dari laki-laki, sehingga harus ada ruang untuk keduanya, khususnya ruang bagi gaya politik yang lebih feminin yang selama ini minim.

Dikutip dari Musdah Mulia, dalam bukunya Muslimah Reformis (2020 : 402), Sidney Verba yang merupakan seorang pakar politik Amerika, mengatakan bahwa perempuan lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfat bagi masyarakat luas, daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri. Hal demikian merupakan sumbangan terpenting dari perempuan di dunia politik.

Gaya politik yang feminin, jika mau dicari dalilnya, tentu merujuk pada kisah Ratu Saba’ dalam al-Quran. Ratu Saba’ adalah perempuan yang berkuasa, dipenuhi dengan anugerah, dan memiliki tahta yang megah dan hebat (QS. An-Naml : 23). Dalam kisahnya yang diseleksi al-Quran, ia menunjukkan kualitas feminin yang kuat dalam politik. Ratu Saba’ memiliki ketajaman perspektif yang tercermin dari kemampuannya menganalisa surat yang diterimanya, kemudian menilainya sebagai surat yang terhormat (QS. An-Naml : 29). Meskipun begitu, dia tetap beroperasi sesuai protokol pemerintahan yang benar. Ratu Balqis berkonsultasi dengan para penasihatnya terlebih dahulu sebelum menentukan tindakan yang akan diambilnya (QS. An-Naml : 32).

Baca Juga  Keistimewaan Sya’ban dan Amalan Sunnah di Dalamnya

Dia seimbang dalam diplomatiknya. Ratu Balqus bersedia mendengarkan nasihat, namun juga persuasif ketika mengambil sikap. Dia kolaboratif dalam meminta saran dan masukan, sekaligus juga tegas dalam resolusinya. Setelah menerima surat dari Sulaiman, yang mengancam agresi militer, Ratu tampaknya dapat melihat implikasi “mulia” dalam pesan tersebut.

Berdasarkan deskripsi al-Quran, sebenarnya negeri Saba yang dipimpin seorang ratu tersebut memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa untuk berperang. Tetapi Ratu Saba’ memilih jalan politik yang lebih anggun dan cerdas dalam menghadapi ancaman politis, al-Quran mengabadikan kekuatan politik feminine itu, yakni saat Ratu Saba’ berkata, Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian yang akan mereka perbuat. Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu. (QS. An-Naml: 34-35)

Keputusannya untuk mengirimi hadiah-hadiah kepada lawan politiknya dari pada menunjukkan kekuatan dan kemampuan militer, yang dimaknai oleh sebagian mufassir sebagai politik ‘feminin’. Amina Wadud, dalam bukunya Quran and Women memberikan komentar bahwa intelektualitas tentang realita politik damai dan pengetahuan spiritualnya tentang pesan unik Sulaiman sekaligus, menunjukkan keahlian yang independen dalam memerintah dengan bijaksana, serta kecerdasan spiritualnya. Politik damai yang dipromosikannya berjalan simultan denga keyakinan agama Tauhid yang akhirnya diterimanya dari Sulaiman. Ratu Saba’ memiliki pengetahuan, bertindak berdasarkan ilmu, sehingga dapat menerima kebenaran.

Sudah saatnya mempromosikan kekuasaan menurut definisi yang lebih menerima karakter feminin, yakni pemaknaan kekuasaan dan kepemimpinan yang mencakup peran sebagai pengasuh dan pemelihara masyarakat, serta penuh kasih sayang dan kedamain. Kekuasan tidak harus bernuansa maskulin saja, sebab tidak ada faedahnya mengeliminasi unsur-unsur feminin. Politik yang berorientasi pada pelayanan dapat dijalankan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Warna politik yang bernuansa feminin perlu diupayakan oleh semua pihak, tidak lain demi kemajuan bersama.

Dengan demikian, kearifan politik bernuansa feminin murni yang didemonstrasikan dalam al-Quran merupakan gaya politik yang direkomendasikan, bahkan memang telah banyak diterapkan di dunia modern saat ini. Al-Quran berbicara secara positif tentang Ratu Saba sebagai representai politik yang feminin, bukan berarti bahwa politik yang feminin hanya boleh dijalankan perempuan. Karena caranya meminta nasihat dari para penasihatnya, menunda keputusannya, berdiplomasi untuk menghadapi ancaman serangan militer Sulaiman, dan menempuh jalan yang lembut dan damai, merupakan kualifikasi yang bisa ditiru siapa saja. Jadi, nuansa feminin dalam politik itu sangat penting dan perlu untuk diadopsi dalam budaya politik kita.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.