Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Menyikapi Pujian dan Celaan seperti Pergantian Musim

BeritaSyekh Abdul Qadir al-Jailani: Menyikapi Pujian dan Celaan seperti Pergantian Musim

Adakalanya Tuhan menguji keimanan seseorang melalui pujian dan celaan. Jika kedua hal tersebut masih membuat hambanya terlena atau frustasi, maka kadar keimanannya masih fluktuatif. Namun, sebaliknya bila pujian dan celaan ini tidak mengubah apapun dalam suasana batinnya, itu artinya ia telah lulus melewati ujian kasat mata manusia, sehingga kelak ia akan dimudahkan jalannya menuju kehadirat Allah SWT.

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Fathur Rabbani, orang-orang yang ahli tarekat itu telah menjadikan pujian dan ketercelaan seperti musim panas dan musim hujan atau seperti malam dan siang. Mereka melihat kedua hal tersebut dengan biasa saja, karena sesungguhnya tidak ditakdirkan senang susah itu datang, kecuali atas perintah Allah.

Hal tersebut oleh Abi Sodiq, sapaan Akhmad Sodiq, yang merupakan penganut Thariqah Qadariyah wa Naqsabandiyah (TQN) dijelaskan lebih rinci. “Ketika dihadirkan pergantian musim panas maupun dingin, atau pergantian waktu lainnya, tentu kita tidak merasakan adanya penyesalan, yakni meresponsnya dengan sewajarnya atau biasa saja. Demikian seharusnya, seorang penempuh jalan (as-salik) tidak menganggap ribet dalam menyikapi pujian dan celaan”, ungkapnya dalam Pengajian Sabtuan Mihrobul Muhibbin (18/09/2021)

Penulis kitab Nailul Amani Mursyid TQN KH. Muhammad Shiddiq as-Shalihi Kudus juga menambahkan, karena jika seseorang dapat melihat segala pujian dan celaan itu semua dari Allah SWT, maka sudah sepatutnya as-salik tidak menghindar dari orang-orang yang mencelanya. Tidak mudah terpancing oleh pujian atau terprovokasi oleh celaan. Sikap inilah yang dimiliki para sufi, yaitu tidak menyibukkan dirinya pada urusan pujian dan celaan, melainkan hanya fokus pada Allah semata.

Adapun munculnya perasaan senang atau sedih akibat pujian dan celaan itu perkara normal. Namun, ketika perkara pujian dan celaan disadari dengan benar, dengan kata lain mampu menyakinkan diri, bahwa yang menguji seseorang tersebut sebenarnya tidak lain adalah Allah SWT, maka yang dilakukannya itu barang tentu sesuatu kebenaran yang hakiki.

Baca Juga  Pancasila itu Islami

Walhasil adanya analogi pergantian musim dalam menyikapi pujian dan celaan, kiranya hal yang mudah dipahami bahwa manusia itu sejatinya mampu bersikap sewajarnya dengan tidak melebih-lebihkan sesuatu, kalau ia dapat memahami kedudukannya dengan tepat. Pada akhirnya, semoga kita tidak terkecoh dengan adanya pujian dan celaan, sehingga kita dapat fokus meniti jalan pulang kehadirat Allah dan memahami rahasia Ilahi Rabbi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.