Bijak Memahami Hadis Larangan Seputar Gambar

KolomBijak Memahami Hadis Larangan Seputar Gambar

Menggambar, memajang foto ataupun lukisan telah menjadi hal yang lumrah dilakukan kini. Jenisnya pun beragam, mulai dari gambar atau lukisan pemandangan, binatang, benda, tokoh, ataupun foto keluarga yang diabadikan.

Menjadi dilematis. Sebab, berbagai hal yang sekarang merupakan bagian dari karya seni, ekspresi jiwa, bahkan menjadi sumber penghasilan yang lumrah tersebut, seolah terganjal oleh sejumlah riwayat hadis yang secara tekstual melarang aktivitas membuat, memiliki, atau memajang gambar serta patung. Perlu pembacaan yang jeli agar menghasilkan pemahaman berimbang dan luwes.

Pembahasan tentang larangan aktivitas menggambar, memajang gambar, membuat patung beserta konsekuensinya tercatat dalam beberapa hadis terpisah yang derajatnya sahih. Para ulama pun berlainan pendapat dalam memahami hadis-hadis itu.

Adapun larangan memasang gambar tercermin dari hadis yang menceritakan, bahwa Jibril pernah berjanji menemui Nabi SAW, tetapi dia tak kunjung datang sehingga Nabi merasa tidak enak. Nabi SAW pun keluar lalu beliau bertemu dengannya. Dia pun berkata kepada Nabi: “Sungguh kami tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar”. (HR. Bukhari).

Kemudian dalam redaksi lain, ada istilah “tamatsil” yang biasa diartikan sebagai patung tiga dimensi yang memiliki bayangan. Yang juga dikatakan dapat mencegah malaikat masuk ke rumah jika patung tersebut ada di dalamnya.

Di lain tempat, ada hadis mengenai konsekuensi bagi tukang gambar. Sebuah riwayat dari Ibnu Umar yang mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang melukis gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat”. Dikatakan kepada mereka: “Hidupkanlah gambar-gambar yang kalian buat itu”. (HR. Muslim). Ibnu Abbas meriwayatkan hal senada dengan hadis dari Ibnu Umar, yang dicatat oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Menurut Quraish Shihab, ada ulama yang memahami hadis-hadis tersebut secara tekstual dan sementara ulama menelaahnya secara kontekstual. Para ulama menyatakan, gambar atau patung yang dimaksud dalam hadis-hadis tersebut adalah gambar makhluk bernyawa atau patung tiga dimensi yang memiliki bayangan. Mengacu pada matan hadis itu sendiri yang membebani si pembuat agar kelak meniupkan ruh pada gambar tersebut. Dengan kata lain, gambar dua dimensi, pemandangan, tumbuhan, dan benda-benda mati tidak termasuk dilarang.

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu mendetailkan, gambar yang dilarang di zaman Nabi adalah yang mencakup tiga karakteristik, yakni gambar makhluk bernyawa dari jenis manusia atau binatang, ditujukan untuk pengagungan, dan gambar itu menandingi ciptaan Allah. Terkait foto, tidak banyak ulama yang melarangnya. Sebab fotografi adalah hal baru, dan foto dimaknai sebagai teknik mengambil bayangan dari suatu obyek.

Hadis-hadis ini secara tekstual melarang aktivitas menggambar, memiliki, atau memasang gambar serta patung. Disertai dengan ancaman siksaan dan tuntutan untuk menghidupkan apa yang digambarnya. Larangan tersebut tentu tak lepas dari setting historis-sosiologis masyarakat pada masa itu yang belum lama pulih dari penyakit syirik. Sebab itu, kurang bijak rasanya jika begitu saja mengharamkan hal-hal tadi dalam konteks kehidupan sekarang yang dinamis.

Dari sisi historis-antropologis, masyarakat Arab di awal Islam masih dalam proses transisi dari kepercayaan politeisme dan animisme menuju monoteisme. Sebelum Islam datang, bangsa Arab sebenarnya telah mengenal ajaran hanif Nabi Ibrahim. Karena terputus dari petunjuk Ibrahim, mereka pun kembali menyembah berhala. Sekeliling Ka’bah kala itu dipenuhi dengan ratusan patung yang diibadahi kaum musyrik.

Sesembahan tersebut adalah patung-patung yang mereka buat dengan tangan sendiri. Pembuat patung pun menjamur, baik untuk kebutuhan ibadah sendiri maupun dijual untuk umum. Maka dari itu, wajar dan relevan jika Rasulullah SAW melarang hal-hal seputar gambar dan patung. Mengingat kondisi keimanan Muslim awal yang masih rentan dan rawan kembali pada praktik kemusyrikan menyembah berhala.

Selain itu, pada mulanya orang-orang dahulu melukis para leluhur mereka untuk tujuan penghormatan. Melalui gambar tersebut mereka mengenang dan meneladani kesalehan leluhurnya. Generasi yang datang kemudian, mengira bahwa pendahulunya menyembah lukisan tersebut hingga mereka pun menirunya. Karenanya, ketika itu Rasulullah menyabdakan teguran keras bagi praktik semacam itu untuk memutus rantai pemujaan pada gambar atau lukisan.

Sedangkan melihat perkembangan pemikiran dan kondisi masyarakat kini, nampaknya tak relevan lagi jika begitu saja melarang seseorang menggambar, melukis, berkreasi seni, ataupun sekadar memajang foto keluarga di ruang tamu. Karena semua itu adalah bagian dari ekspresi jiwa dan naluri estetika seseorang. Bahkan, dunia menggambar telah menjadi profesi yang populis. Hanya saja, yang perlu digarisbawahi ialah karya yang dibuat jangan sampai menyalahi nilai-nilai etika dan agama.

Baca Juga  Kiai Miftachul Akhyar: Tebarkan Dakwah Moderat di Media Sosial

Ketika kita mundurkan lagi rekam sejarah, persisnya di masa Nabi Sulaiman AS, akan didapati hal yang berbeda. Dikisahkan, bahwa kesenian membuat patung justru mendapat apresiasi dari Allah kala itu (Saba’ [34]: 13). Dari sini, nampak bahwa larangan tersebut bersifat kondisional, temporal, dan terkait erat dengan konteks.

Fleksibiltas ini terbingkai dalam kaidah Ushul Fikih yang menyatakan “al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman”, yakni “ada tiadanya hukum tergantung pada ‘illat-nya”. Apabila ‘illat (alasan) tersebut berubah atau tidak ada, maka hukum pun juga berubah atau tak lagi berlaku. Pada titik inilah hukum Islam menampilkan kelenturannya.

Meminggirkan konteks hadis dan memukul rata keharaman seni menggambar, melukis, seni pahat, atau sekadar menghias ruangan dengan foto, dalam hemat penulis hanya akan mengesankan Islam sebagai agama anti seni dan kaku. Padahal, disebutkan dalam hadis bahwa Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan (HR. Al-Tirmidzi). Dan seni visual adalah salah satu entitas keindahan yang hidup serta berkembang di tengah umat manusia.

Ringkasnya, penulis melihat setidaknya ada dua pandangan ulama dalam menyikapi hadis-hadis tersebut. Ambil contoh pendapat Yusuf al-Qardhawi, Quraish Shihab, dan Ali al-Shabuni. Al-Qardhawi relatif lebih fleksibel. Menurutnya, terkait keharaman atau kebolehan gambar, bergantung pada obyek yang digambar serta ada atau tidaknya ‘illat (alasan) larangan dari hadis tadi pada gambar tersebut. Lukisan maupun gambar bernyawa yang tak mengandung unsur-unsur larangan, seperti pengagungan atau penyucian, tidak diharamkan oleh al-Qardhawi. Paling tinggi ia menyebut hal itu sebagai makruh.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Quraish Shihab. Dalam membuat patung pahlawan misalnya, jika ditujukan untuk meghargai jasanya dan memotivasi generasi sekarang untuk berjuang, maka itu boleh saja. Bukan bermaksud mengesampingkan hadis Nabi di atas. Menurut Quraish Shihab, perlu dipahami bahwa dalam Islam ada kalanya hukum berkaitan dengan ibadah dan ada kalanya menyoal non-ibadah.

Terkait ibadah tentu tak bisa ditawar. Adapun hal non-ibadah boleh dilakukan selagi tak ada larangan. Kalau ada perkara non-ibadah yang dilarang pun perlu ditinjau untuk menemukan ‘illat pelarangannya. Dari sini nampak, bahwa yang ditekankan Quraish Shihab adalah motif dari pembuatan gambar itu sendiri. Sekalipun yang dibuat adalah patung atau makhluk hidup yang dulu dilarang Nabi, kalau bukan untuk tujuan terlarang, maka tidak masalah.

Sedangkan al-Shabuni cenderung lebih ketat dan bersikap hati-hati. Ia mengambil keumuman hadis Nabi tadi. Sehingga, menurutnya tak boleh menggambar semua makhluk yang bernyawa kecuali gambar makhluk tersebut tidak utuh. Gambar tak bernyawa dan boneka mainan anak kecil ia bolehkan. Namun, al-Shabuni mengategorikan gambar fotografi ke dalam gambar yang dilarang pada hadis Nabi.

Menurut penulis pribadi, selama tujuan membuat karya tersebut bukan untuk dikultuskan atau menyaingi ciptaan Allah, tidak menjadikan si pembuat merasa pongah, serta tetap memerhatikan nilai etika serta agama, itu tidaklah mengapa.

Tanpa memahami konteks, akan sulit merasakan ruh dari sabda Nabi. Pemahaman yang diperoleh pun terkesan parsial. Kontekstualisasi juga merupakan upaya agar sabda Nabi dapat berdialog dengan ruang dan waktu yang dinamis.

Di era sekarang, banyak sekali orang menawarkan jasa gambar maupun fotografi. Jika hal itu serta merta diharamkan, penulis rasa itu tak bijak karena bisa memutus sumber penghidupan seseorang. Sedangkan, bekerja untuk melanggengkan kehidupan (hifdzu al-nafs) adalah salah satu tujuan syariat Islam itu sendiri (maqashid syariah).

Ada ulama yang antisipatif dan cenderung ketat membaca riwayat-riwayat hadis tersebut. Ada pula yang berupaya membangun dialektika antara teks dengan konteks. Perbedaan demikian adalah wajar dan sah-sah saja. Keragaman ini justru menghasilkan beragam opsi yang bisa kita adopsi.

Dalam perkara khilafiah, yang jelas harus kita hindari adalah merasa paling benar dan menghakimi pilihan orang lain yang tak sama. Dalam menjelaskan ke publik pun kita harus berusaha jujur menampilkan ragam pendapat yang ada. Tak lain agar masyarakat kian terbiasa dan dewasa berhadapan dengan perbedaan.

Perkara menggantung gambar/foto keluarga di rumah misalnya, kita kembalikan pada preferensi masing-masing orang. Toh sudah ada rambu-rambu yang diijtihadkan ulama mengenai hal itu. Daripada bersitegang atau mendaku paling benar, lebih baik kita transfer energi tersebut untuk terus belajar. Agar semakin arif dan tak cemas dengan perbedaan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.