Fundamen Beragama itu Penting

KolomFundamen Beragama itu Penting

Nyatanya fundamentalis beragama itu tidak semerta-merta ditengarai buruk. Tanpa fundamen seorang Muslim akan kehilangan identitas keislamannya sebagai ajaran yang bernilai luhur penuh perdamaian dan peradaban. Akan tetapi, adanya kepentingan kelompok Islamis fundamen keagamaan kerap kali dibelokkan pada hal-hal anarkis, sehingga mencoreng citra Islam.

Istilah fundamentalis agama lazimnya memiliki konotasi negatif. Pasalnya istilah tersebut, lekat dengan fundamentalis gerakan revivalisme, yakni sekelompok orang yang gagal move–on atas romantisme kejayaan di masa lalu atau euforis kejayaan Islam di masa klasik. Padahal, dalam bahasa Arab istilah fundamen secara harfiyah adalah ushuliyah bermakna dasar-dasar dalam usul fiqh, termasuk usul al-din (dasar-dasar agama). Jadi penekanan istilah usul dalam bahasa Arab kebanyakan berkonotasi netral, sebagaimana banyak judul kitab-kitab para ulama terdahulu.

Namun dalam ranah sejarah Islam, penempatan istilah fundamentalis mulanya berangkat dari persoalan teologi, tetapi dalam perkembangannya fundamentalis justru dominan pada teori politik, ketimbang teologi dan praktik sosial. Tokoh filsafat asal Kairo, Hassan Hanafi menyayangkan dengan makna fundamentalis modern yang bergeser pada fundamentalis radikal. Sebab pada mulanya, fundamentalis merupakan simbol kebangkitan Islam yang pelopori oleh al-Afghani (w.1879), ‘Abduh (w. 1905), Rif’at Tahtawi (w. 1873) dan lain-lain bertujuan kembali mencerahkan pemikiran dan modernitas.

Adapun yang melatarbelakangi gerakan tersebut dikarenakan mereka bertanya-tanya mengapa umat Islam menjadi terbelakang, sementara Barat lebih maju. Bukankah dahulu Islam adalah sumber peradaban yang tak terkalahka? Hilangnya identitas umat Islam menjadi faktor kuat dari situasi terbelakang. Itu sebabnya, mengimplementasikan kembali ajaran autentik yang diwariskan ulama salaf bagian dari solusi yang signifikan. Tanpa menafikan segala nuansa selain Islam yang lebih inklusif dan mengapresiasi modernitas yang terjadi di Barat dengan mengambil sisi positifnya.

Oleh karena itu, fundamentalis yang lahir awalan  tidak bersifat radikal, apalagi tertutup dan eksklusif. Kedua ajaran tersebut diadopsi secara bersamaan sebagai modal perspektif yang seimbang untuk mengkontekstualisasikan yang terjadi pada masa kini dan memprediksi yang terjadi pada masa depan, serta tidak melupakan perjuangan dahulu yang membawa kegemilangan. Jadi tidak statis pada pandangan satu zaman, tentu memaksakan diri agar berada di masa lampau sementara zaman dan manusia telah berubah itu sesuatu yang nihil. Maka dari itu, mesti ada penyesuaian kebijakan dalam segala situasi.

Baca Juga  Pencerahan Spiritual Ibu Kartini

Mengabaikan fundamen agama sama halnya melepaskan identitas diri sebagai umat. Apa artinya beragama bila melupakan tujuan Islam yang memiliki semangat mendisiplinkan umatnya dengan tuntunan ajaran luhur dan menumpas ketidakadilan, hubungan eratnya gerakan perlawanan terhadap imperialisme.

Akan tetapi, kehadiran kelompok islamis terkait fundamentalis ini menggeser tujuan awal. Mereka cenderung dogmatis, ketimbang rasional terhadap ajaran nash dan berambisi masif mendirikan negara Islam demi mematuhi syariat, tapi apatis dengan kemaslahatan umum. Konsep ini semakin membludak sejak Sayyid Qutb menulis buku Ma’alim fi Thariq. Kemudian diikuti aktivis Mesir radikal, diantaranya Muhammad ‘Abd al-Salam Farag, Syaikh Abdul Hamid Kisyik, Syaikh Yusuf Badri dan lain-lain.

Masifnya fundamentalis yang radikal di Mesir kian memanas setelah diprovokasi oleh karya yang berjudul al-Jihad al-Faridhah al-Ghaibah. Mereka yang terprovokasi tentang isi karya atas kewajiban jihad menyebabkan Presiden Anwar Sadat terbunuh pada 6 Oktober 1981. Tentunya mereka melakukan hal tersebut karena bertentangan dengan klaim yang diamini.

Paham fundamen radikal pun telah lama hadir di Indonesia. Itu sebabnya kita harus waspada dengan mereka yang mudah mengklaim kekerasan dan mengintimidasi atas nama agama. Meski fundamen dalam beragama itu penting, tetapi bergesernya pemaknaan sebagaimana yang disebut Hasan Hanafi menjadi perhatian untuk dikaji ulang terkait tujuan fundamentalis yang sebenarnya.

Jika ingin melihat kembali kemajuan peradaban Islam, maka hal perlu diperhatikan adalah tidak berpusat mengganti sistem yang berlaku di setiap negara dengan sistem khilafah. Fokus ini harus dialihkan pada bidang keilmuan utamanya, sains, dan modernitas lainnya sebagaimana kemajuan yang terjadi di masa kini.

Dengan demikian, cara-cara klasik yang konon bertujuan untuk memajukan peradaban Islam harus ubah sesuai perkembangan zaman yang ada. Allah SWT telah meletakkan ajaran Islam di atas fundamen nilai-nilai luhur, karena itu menebarkan ajaran yang penuh kepedulian, jujur, tidak mengandung kekerasan atau intimidasi merupakan bagian dari keniscayaan ajaran Islam.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.