Tiap hari kian banyak orang yang berbuat seenaknya tanpa rasa malu. Seperti halnya kasus korupsi yang nampak ternormalisasi. Manusia dengan akal sehat pasti heran sekaligus geram melihat jajaran pejabat korup berompi oranye, justru tersenyum lebar sembari melambaikan tangan di depan kamera. Jangankan menyesal, mengakui kesalahannya saja tidak. Yang ada hanya terus berkelit, bahkan mengemis diskon pengampunan. Akhlak malu merupakan risalah kenabian yang harus ditradisikan. Rasulullah SAW dengan keras memeringatkan, “Jika engkau tak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari).
Putusnya urat malu adalah penanda seseorang tak punya harga diri. Sebab, rasa malu akan mencegah perilaku rendahan dan amoral. Rusaknya tatanan sosial serta maraknya praktik kejahatan mengindikasikan krisis rasa malu dalam diri individu. Apabila terlanjur melakukan kesalahan, manusia normal nan kesatria akan mengaku dan minta maaf atas perbuatannya. Adapun pengelakan hanya akan mempermalukan diri sendiri.
Salah satu unsur vital dari iman adalah rasa malu. Malu adalah akhlak Islam. Ketika malu tak lagi ada, iman pun turut memudar dan turun derajat. Riwayat dari Abu Hurairah menyebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Iman itu memiliki 73-79 atau 63-69 cabang. Cabang tertingginya adalah mengucap Laa ilaha illallah, cabang terendahnya ialah menyingkirkan gangguan—seperti duri—dari jalan. Dan malu merupakan cabang dari iman. (HR. Muslim).
Iman yang sempurna itu mencakup beragam perbuatan saleh. Penyebutan “malu” secara khusus sebagai cabang iman adalah karena malu merupakan penentu bagi cabang-cabang yang lain. Orang yang mempertimbangakan rasa malu, ia akan terjaga dalam jalur kebaikan. Takut pada fitnah dunia dan akhirat. Karenanya, sikap tersebut disebutkan secara khusus, sedangkan cabang iman yang lain tidak.
Dalam ungkapan al-Sa’di pada Bahjatu Qulubi al-Abrar, Nabi secara eksplisit menyebutkan malu sebagai cabang iman, karena akhlak malu adalah penyebab terkuat terlaksananya seluruh kesalehan yang merupakan cabang-cabang keimanan. Sederhananya Nabi menjelaskan, bahwa Rasa malu itu mendatangkan kebaikan. (HR. Bukhari-Muslim).
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika malu telah ditradisikan dan menjadi akhlak seseorang, itu akan menjadi penyebab datangnya kebaikan orang tersebut. Selain pemicu kebaikan, sikap malu adalah kebaikan itu sendiri. Sebaliknya, saat malu telah luntur, tatanan hidup akan didominasi oleh keburukan.
Karakter malu adalah perisai bagi manusia dan agama. Malu akan mendorong seseorang bertindak lebih hati-hati serta berkesadaran. Dengan demikian, ia sedang menjaga kehormatan diri serta agamanya. Kepada Imam Ali bin Abi Thalib, Nabi pernah berwasiat, Wahai Ali, agama itu seluruhnya terdapat pada sifat malu. Malu ialah menjaga kepala dan apa yang ada di sekitarnya, menjaga perut serta apa-apa yang ada di dalamnya. (Washiyyatu al-Musthafa SAW li al-Imam ‘Ali Karramallahu Wajhah, hlm 49).
Ibnu Rajab menjelaskan, menjaga kepala, perut, dan sekitar keduanya berarti melindungi juga semua indera dari hal-hal yang diharamkan. Termasuk di dalamnya menjaga penglihatan, pendengaran, lisan, serta hati. Demikian cara hamba bersikap malu kepada Tuhannya, bukan sekadar mulut berkata “aku sungguh merasa malu”.
Bukan kebetulan, sikap malu dan hidup memiliki keterkaitan. Al-hayaa’ yakni malu dalam bahasa Arab merupakan turunan dari kata al-hayaah (hidup/kehidupan). Seseorang yang tak punya rasa malu, seperti halnya mayat di kehidupan ini. Ia yang berbuat seenaknya dan tak segan lagi untuk bermaksiat sejatinya telah mati. Maka dari itu, segala yang dilakukannya tak berguna.
Selalu merasa diawasi oleh Allah adalah langkah awal untuk membudayakan sifat malu. Dari sini, penting kiranya kita berusaha mencapai derajat ihsan. Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun kau tak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim). Kita diminta untuk terus ingat Tuhan dan berkesadaran dalam tiap tindakan. Dua hal tersebut adalah kompas agar muncul rasa malu saat hendak bermaksiat.
Kitab fenomenal Imam Nawawi, al-Arba’in al-Nawawiyah, merupakan kitab hadis yang menghimpun riwayat berkaitan dengan landasan-landasan agama. Satu dari empat puluh dua hadis yang ia cantumkan ialah hadis tentang malu, Jika engkau tak malu, maka berbuatlah sesukamu. Dengan kata lain, malu adalah salah satu pondasi agama yang harus dihidupkan. Bukan malu karena perasaan rendah diri, tapi rasa malu sebab tak enak hati ketika melakukan perbuatan hinalah yang harus dibudayakan. Wallahu a’lam. []