Bangga Menjadi Muslim Demokratis

KolomBangga Menjadi Muslim Demokratis

Ada 229 juta Muslim tinggal di negeri ini. Segala keperluan peribadatan umat Islam selalu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakatnya. Firman Allah dan Shalawat Nabi SAW, dapat bergema di mana-mana. Meskipun Islam dominan di negeri ini, Indonesia bukan negara Islam. Berjalannya sistem pemerintahan demokrasi yang selama ini, nyatanya dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan umat Islam di negeri ini. Namun, ada saja segelintir orang yang terus-terusan melabeli sistem pemerintahan yang bukan ‘negara Islam’ dengan istilah buruk, yaitu ‘pemerintah Thagut’.

Perlu dipahami bahwa, narasi ‘pemerintah thagut’ selama ini berfungsi sebagai istilah umum dalam argumen politik kelompok ekstrem. Individu atau pemerintah Muslim yang bermitra dengan Barat dan tidak mendukung  ‘Negara Islam’ (Islamic state), akan dengan ringan dituduh thagut. Di sekolah-sekolah ISIS misalnya, bab-bab dalam buku pelajaran yang menjelaskan berbagai bentuk pemerintahan modern dan identitas politik Barat, sebagai bentuk penyembahan berhala karena melanggar kedaulatan Tuhan. Di antara sistem pemerintahan yang dianggap thagut ialah demokrasi. Fakta ini dipublikasikan sebagai paper ilmiah yang berjudul Inside The Caliphate’s Classroom (2016).

Ironisnya, ajaran-ajaran ekstrem yang ditemukan Dr. Olidort dari buku-buku sekolah ISIS, mirip dengan paham sekelompok Muslim ekstrem juga berkembang di negeri kita, seperti pemahaman beberapa Muslim yang tewas dalam aksi terorisme eberapa waktu lalu. Kebencian pada pemerintah, memusuhi saudara seiman di luar kelompoknya, menyerang non-Muslim yang damai, dan pada akhirnya melakukan terorisme, merupakan agenda kaum jihadis.

Padahal sebenarnya, Thaghut merupakan suatu istilah Qur’ani dalam mengungkapkan wujud sosok tandingan terhadap keesaan Allah. Akar katanya adalah thagha yang secara bahasa berarti melampaui batas, berbuat sewenang-wenang, kejam atau menindas, Raghib al-Ishfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Quran, thaghut merupakan sebutan bagi setiap orang yang melampaui batas dan setiap yang disembah selain Allah.

Asosiasi-asosiasi thagut yang sebelumnya merujuk pada berhala, setan, atau tiran dalam sistem pemerintahan otoritarin itu, belakangan ini disematkan pada setiap orang atau kelompok yang dituduh anti-Islam dan agen imperialisme budaya Barat. Istilah ini diperkenalkan ke wacana politik modern sejak muncul di sekitar revolusi Islam Iran (1978), Hisbut Tahrir (1953), Al-Qaeda (1988), ISIS (1999), dan berbagai organisasi politik islam lainnya. Semua gerakan politik Islam ini baru muncul di abad 20, namun selalu merasa paling Islam seolah-olah muncul tiba-tiba dari zaman Nabi Muhammad SAW.

Selain karena doktrin sesat semacam itu, kelompok yang ‘menthagutkan’ sistem demokrasi memandang demokrasi bukan dari pesan yang dibawanya, melainkan hanya dari kulitnya saja, seperti istilahnya yang dari Barat bukan dari Arab, kemudian dengan instan menilai bahwa demokrasi tidak sesuai Islam hanya karena tidak diserap dari bahasa Arab. Sedangkan, Muslim moderat di dunia modern pada umumnya memahami demokrasi dari sisi substansi yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Seperti prinsip Syura yang menyiratkan sistem pemerintahan Islam modern atau “demokrasi Islam”. 

Baca Juga  Ketika Abuya Berziarah Ke Makam Syekh Abdul Qadir Al-Jilani

Banyak ulama modern yang menyetujui sistem demokrasi sebagai sistem pemerintah yang sah bagi Muslim dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut umat Islam. Musyawarah, keadilan, kesetaraan, toleransi, kebebasan, dan elemen lainnya merupakan unsur Islam yang ada dalam demokrasi. Substansinya demokrasi sejalan dengan Islam. Beberapa hadis juga menunjukkan bahwa, Islam menolak kediktatoran dan menghendaki pemerintahan yang disetujui oleh rakyatnya. Pemilu, yang selama ini kita laksnakan dalm memilih pemimpin, dapat berarti “kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seorang pemimpin”, hal ini sangat identik dengan mekanisme baiat dalam pemilihan Abu Bakr.

Demokrasi merupakan sebuah upaya mengembalikan sistem kekhilafahan Khulafa’ ar-Rasyidin yang memberikan hak kebebasan partisipasi politik rakyat, yang sempat  hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem kerajaan. 

Salah satu ulama Islam kontemporer, Yusuf Al-Qaradhawi, ia mengatakan bahwa secara substansi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, bahkan ajaran substansi demokrasi telah lama dikenal oleh Islam.  Masyarakat Islam berhak berijtihad untuk menentukan rincian pemerintahan yang mengaturnya, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia. 

Dalam sejarah awal Islam sendiri, kadang-kadang sistem yang digunakan adalah istikhlaf, baiat, atau ahlul hal wa al-aqd, ketiga model kepemimpinan yang berbeda-beda tersebut terjadi dalam kurun 13 tahun setelah Rasul wafat. Masalah perbedaan sistem kepemimpinan di kalangan khulafaur-rasyidin tidak akan terjadi jika Islam telah menetapkan sistem suksesi pemerintahan yang bak. Jadi anggapan bahwa sistem politik adalah hal otentik itu sangat meragukan.

Singkatnya, demokrasi di negeri kita merupakan sarana untuk mewujudkan keadilan dan syura, menghormati hak-hak manusia, dan mencegah kepemimpinan tiran. Hal demikian sangat sejalan dengan Islam. Ulama besar Uni Emirat Arab (UEA), Shyaikh Abdullah Bin Bayyah pernah memuji Muslin di indoeisa menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia bisa menjadi contoh bagi Muslim di negara lain.

Kita patut bangga karena menjadi kaum Muslim yang mampu mengembangkan sistem demokrasi untuk mewujudkan negeri yang damai, serta turut berpartisipasi aktif dalam perdamaian dunia.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.