Gus Dur Menggugat Sistem Islami

KhazanahGus Dur Menggugat Sistem Islami

Perdebatan mengenai relasi agama dan negara tak pernah padam dari masa ke masa. Mereka yang menjadikan Islam sebagai suatu sistem hukum formal, kemudian mengklaim sebagai yang lebih atau bahkan paling Islami. Ayat al-Quran yang menyatakan, “Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (Udkhulu fi al-silmi kaffah)” (QS. Al-Baqarah [2]: 208) menjadi titik perbedaan mendasar di kalangan umat Islam.

Kalangan fundamentalis menerjemahkan “al-silmi” sebagai Islam. Dengan itu, mereka mengharuskan adanya entitas formal Islam dalam bentuk sistem Islami (dalam asumsi mereka). Taliban yang tengah hangat diperbincangkan adalah contoh nyata dari kalangan fundamentalis ini.

Adapun mereka yang mengartikan “al-silmi” sebagai kedamaian, menunjukkan suatu entitas universal yang tidak terikat pada sistem tertentu, termasuk sistem yang diklaim Islami tadi. Bagi pihak yang teguh pada formalisasi, membawa implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dianggap merepresentasikan seluruh ajaran Islam dapat mewakili keseluruhan aspirasi umat Islam. Hingga kemudian lahirlah partai politik Islam.

Gus Dur dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita menegaskan, dalam iklim demokrasi tentu kita menghormati eksistensi partai Islam. Tapi bukan berarti harus mengikuti mereka. Sejak awal, sistem yang diklaim Islami—yang berangkat dari pemaknaan “al-silmi” sebagai Islam—tadi problematis. Dalam kerangka kenegaraan suatu bangsa, sebuah sistem Islami secara otomatis membuat masyarakat non-Muslim menjadi warga negara kelas dua.

Ini akan menjadi persoalan yang berbuntut pada penghakiman ketaatan seorang Muslim. Di mana standar ketaatan tersebut dipegang oleh lembaga/sistem yang diklaim Islami. Mereka yang tak utuh menjalankan ajaran Islam tentu akan dianggap kurang Islami jika dibandingkan dengan warga/anggota partai yang menjalankan ajaran Islam secara penuh.

Dari sini nampak, bahwa sistem Islami yang digadang-gadang para fundamentalis amat bermasalah. Mari kita uji urgensi sistem Islami tersebut dengan argumen al-Quran. Dalam Islam ada ketentuan-ketentuan non-organisatoris yang diberlakukan bagi umat Islam oleh al-Quran.

Sejumlah ayat menyatakan lima syarat agar seseorang dianggap sebagai Muslim yang baik. Di antaranya yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang butuh (dari kalangan saudara, orang miskin, anak yatim, dan sebagainya), sabar saat menghadapi cobaan, serta menegakkan profesionalisme.

Baca Juga  Bung Karno dan Cita-Cita Kebangsaan

Bukankah ketika kelima syarat tadi dilakukan oleh seorang Muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dia telah dan tetap dianggap memenuhi syarat sebagai Muslim yang baik? Dan dengan sendirinya tidak dibutuhkan kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Dengan demikian, membentuk suatu sistem Islami tidak termasuk syarat untuk seseorang dianggap sebagai Muslim yang taat.

Gus Dur juga menandaskan, bahwa NU sejak awal terbuka dan menerima adanya upaya yang berbeda-beda dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. NU tidak mau terjebak dalam politisasi teks agama dengan memaksakan formalisasi hukum Islam dalam konteks ketatanegaraan. Karenanya, Gus Dur pernah dihujat banyak pihak karena mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tanpa mentahbiskannya sebagai partai Islam.

Keterbukaan Gus Dur serta NU terbukti, bahwa tanpa payung sistem Islami pun ajaran Islam tetap dapat secara merdeka dipraktikkan dalam keseharian umat Islam di atas tanah Indonesia ini. Segala perbedaan dan keragaman negeri ini juga bisa teratasi.

Ada satu adagium terkenal dari Sayyidina Umar yang kemudian mereka jadikan sebagai landasan politis-ideologis dalam menegaskan pentingnya sistem Islami formal tadi. Dikatakan, “Tidak ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan”. Nyatanya, dalam ungkapan Sayyidina Umar tidak ada sesuatu yang secara spesifik menunjukkan adanya sebuah sistem Islami.

Dengan demikian, ungkapan tersebut mengakomodir dan mengakui kebenaran sistem apapun itu selagi memperjuangkan berlakunya ajaran dan nilai Islam dalam kehidupan sebuah bangsa dan/atau  negara. Masih dalam buku tadi, Gus Dur menegaskan, Islam tidak mewajibkan sebuah sistem Islam, yang artinya tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Islam tidak membakukan sistem atau bentuk negara. Lalu adakah sistem Islami? Semua sistem yang berangkat dari “al-silmi” yang berarti kedamaian, mengakomodir nilai dan ajaran Islam, memperjuangkan kemanusiaan, itu Islami, apapun istilah atau sistemnya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.