Citra Misoginis Taliban

Dunia IslamCitra Misoginis Taliban

Sejak kekuasaan Afghanistan diambil alih Taliban, tidak ada yang lebih dicemaskan daripada nasib perempuan di sana. Taliban terkenal menyeramkan karena budaya misoginisnya yang sangat kental, mereka merupakan kelompok ekstrimis yang memberlakukan kebijakan gender yang sangat keras ketika berkuasa di Afghanistan pada 1996-2001. Mereka berulang kali merusak setiap perjanjian internasional yang mengatur hak-hak perempuan yang telah ditandatangani oleh pemerintah Afghanistan sebelumnya. Namun baru-baru ini, setelah merebut kekuasaan kembali pada 15 Agustus 2021 lalu, Taliban menjanjikan kebebasan perempuan yang sebelumnya tidak pernah diakuinya.

Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan bahwa mereka akan menghormati hak-hak perempuan, perempuan akan diizinkan untuk bekerja, belajar, dan diizinkan aktif dalam masyarakat.  Pernyataan itu cukup mengejutkan di awal, sampai ketika ia mengakhirinya dengan kalimat “…dalam kerangka Islam”. 

Jujur saja, siapapun pasti sulit menerima ‘kerangka Islam’ yang didefinisikan kelompok militan radikal seperti Taliban. Selama ini, Taliban mengaku menganut ideologi Islam paling murni dan mengimplementasikan syariat Islam di negerinya. Namun nyatanya, budaya misoginis dan penindasan yang mereka lakukan terhadap perempuan tidak pernah memiliki dasar dalam Islam. Maka dari itu, saat mereka memperbaiki citranya menjadi “Taliban yang akan memperhatikan kesejahteraan perempuan”, itu tidak berarti apa-apa jika mereka tetap menggunakan ideologi politik mereka, yang lagi-lagi diklaim sebagai syariat atau framework islam.

Di masa lalu, dengan motif “menciptakan lingkungan Islami yang aman bagi kesucian dan martabat wanita Muslimah”, wanita di Afghanistan tidak diizinkan bekerja, tidak boleh sekolah setelah usia delapan tahun, dipaksa untuk memakai burqa, dan menerima pernikahan paksa. Meskipun kebijakannya selalu merenggut hak-hak sipil perempuan, Taliban bersikeras bahwa mereka sebenarnya memberi wanita ‘martabat dan kehormatan’. Inilah Islam versi mereka,  yang terbukti sulit dimodernisasi meski di bawah tekanan dari Barat sekuler maupun otoritas umat Islam yang lebih moderat. 

Apa yang dianggap Taliban sebagai Islamisasi paling jelas terlihat dalam kebijakan sosialnya, terutama yang berkaitan dengan perlakuan terhadap perempuan dan anak perempuan. Mengapa Taliban memilih jalan yang menyimpang jauh dari ‘jalan lurus’ Islam, serta dari norma-norma masyarakat internasional abad ke-21? 

Secara teori, mengekang perempuan dapat memberi Taliban semacam legitimasi palsu terhadap kekuasaannya. Bukan pertama kalinya dalam sejarah, agama dan perempuan dipolitisasi oleh kelompok radikal.  Lamia Rustum dalam bukunya yang berjudul The Idea of Women in Fundamentalist Islam, menemukan bahwa ada pola sama di antara kelompok fundamentalis yang terobsesi pada kekuasaan, yaitu memanipulasi agama dan perempuan untuk tujuan politik. 

Perempuan merupakan mata rantai sosial yang lemah dan paling terlihat, sehingga mudah ditundukkan. Kontrol perempuan seperti itu muncul sebagai alat yang efisien untuk menciptakan ilusi kontrol sosial di mata dunia. Tindakan otoriter terhadap perempuan pun memperoleh legitimasi dan penerimaan ketika disajikan sebagai bagian dari penerapan Syariah Islam. Makanya, ketika kelompok radikal berkuasa di suatu wilayah, kaum wanita yang paling cepat diambil alih, berubah perannya, pakaiannya, dan eksistensinya. dan ketakutan dan kecemasan mereka langsung dirasakan seluruh dunia.

Baca Juga  Makmurkan Masjid dengan Menghijaukannya

Jadi, jelas sekali bahwa kebijakan Taliban terhadap perempuan berkaitan erat dengan keuntungan politis yang diharapkannya, seperti kontrol sosial. Tidak mudah untuk bernegosiasi dengan Taliban agar mengubah kebijakannya terhadap perempuan, mereka tidak akan memandang penderitaan perempuan selama hal itu memberikan keuntungan politis bagi kelompok tersebut. Saya sempat membaca sebuah artikel yang ditulis Larry P. Goodson, berjudul Anti-Modernist Islam: Understanding Taliban Treatment of Women in Afghanistan (2002).  Ia memprediksikan dua alternatif yang dapat mempengaruhi kebijakan Taliban, yang keduanya menarik untuk menerka kemungkinan apa sedang terjadi saat ini.

Pertama, Taliban dapat menegosiasikan kebijakannya jika mendapat tekanan yang sangat besar terhadap kekuatan kekuatan militer mereka. Tekanan yang tidak tertahankan bagi kelompok taliban ialah terputusnya tali yang menghubungkan mereka dengan sumber kekuatan mereka, yaitu peralatan perang, bahan bakar, perekrutan anggota, dan modal militer. 

Saat ini, Taliban mungkin sedang tidak berada dalam tekanan yang hebat ini, sebab mereka baru saja sukses merebut kekuasaan di Afghanistan dengan modal militer yang cukup melimpah. Namun, mereka mungkin tengah bersiap untuk menghadapi tekanan tersebut dan mulai memoderasi berbagai kebijakan yang selama ini mengundang perhatian negatif, semata-mata agar diakui oleh masyarakat internasional sebagai pemerintah Afghanistan yang sah. 

Alternatif kedua ialah moderasi paham kelompok Taliban. Pengamatan terhadap perilaku gerakan Islamis selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa, semakin matang sebuah kelompok, mereka juga akan semakin moderat. Jadi, ada sedikit kemungkinan bahwa Taliban memasuki fase pergeseran ideologi tersebut. Banyak komentar ahli yang menyebutkan Taliban akan cenderung pragmatis demi mempertahankan kekuasaannya. Sebenarnya, kontribusi terbesar untuk moderasi adalah pemerintahan sejati, yang tulus memodernisasi pemahaman Islam masyarakatnya, dan menjamin hak-hak perempuan. Sayangnya, pemerintah Afghanistan baru saja tumbang digantikan oleh Taliban yang keberpihakannya pada perempuan dan pemikiran moderat sangat diragukan. 

Bagaimanapun, Taliban adalah generasi terbaru laki-laki Muslim yang merupakan produk dari budaya perang, jauh dari dunia luar, kemodernan, dan perkembangan zaman. Setelah digulingkan pada tahun 2001 lalu, saya tidak yakin jika mereka menghabiskan waktu dua dekade belakangan ini untuk menuntut Ilmu ke pusat-pusat studi Islam dan mengembangkan pemikiran moderat demi memperbaharui pemahaman politiknya, apalagi demi kemajuan perempuan. 

Negosiasi citra misoginis Taliban merupakan satu hal menarik yang tidak dapat terjadi dengan sederhana. Kemajuan perempuan di bawah kekuasaan Taliban masih dipandang too good to be true, karena pada dasarnya, Taliban lebih berperan sebagai kelompok teroris daripada kelompok Islam. Namun Yang terpenting, sebagaimana ditulis Malala Yousafzai dalam esai terbarunya di nytimes.com, “di saat kritis ini, kita harus mendengarkan suara perempuan dan anak perempuan Afghanistan. Mereka meminta perlindungan, pendidikan, kebebasan dan masa depan yang dijanjikan.”

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.