Kenapa Taliban Akan Gagal

KolomKenapa Taliban Akan Gagal

Masyarakat dunia masih menanti jawaban atas janji-janji moderasi Taliban. Belum ada yang bisa dipastikan dari perguliran politik Afghanistan. Yang perlu digarisbawahi, Taliban tidak akan berhasil jika bersikeras mendirikan negara berdasarkan syariat Islam versi mereka di tengah keragaman Afghanistan. Sayangnya, nuansa bahwa mereka hendak memertahankan proyek formalisasi syariat terasa begitu menggejala. Komitmen moderasi Taliban lebih terlihat sebagai pragmatisme politik karena situasi dan tekanan global.

Penting untuk diketahui, istilah syariat Islam yang selalu menjadi bahan perjuangan Taliban adalah produk hukum yang memiliki kebenaran relatif dan tidak tunggal. Setidaknya kita familier dengan dua aliran populer, Sunni dan Syiah. Mazhab dalam tubuh keduanya pun sangat beragam. Kita kenal Sunni memiliki minimal empat mazhab kenamaan, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, serta Hambali. Demikian halnya Syiah yang juga beragam. Ada Syiah Imamiyah, Itsna ‘Asyariyah, Ismailiyah, Zaidiyah, dan sebagainya. Belum lagi kelompok-kelompok minor lainnya.

99% populasi Afghanistan adalah Muslim. Pew Research Center mencatat sekitar 90%-nya penganut Sunni, sedangkan selebihnya Syiah dan non-denominasi. Ada pula penganut Hindu dan Sikh di negeri ini. Fakta keragaman tersebut tak bisa dikesampingkan dalam proses hidup berbangsa dan bernegara. Semua harus dihargai dan diakomodir.

Sangat riskan jika Taliban memaksakan tafsiran mereka terhadap syariat menjadi sistem ketatanegaraan yang mengikat. Taruhannya adalah timbulnya perang saudara. Apalagi interpretasi Taliban atas syariat sangat ketat. Masyarakat Afghanistan telah memiliki pengalaman traumatis terhadap pemerintahan mereka.

Ada hubungan kausalitas antara aplikasi syariat sebagai hukum positif dengan terjadinya pelanggaran HAM. Artinya, ketika formalisasi syariat diberlakukan akan memicu berbagai pelanggaran HAM. Sudan misalnya. Saat konstitusi syariat diterpakan di negara ini 30 tahun lamanya, perang saudara terus terjadi karena adanya pertentangan antarmazhab di antara mereka. Semuanya ingin berebut pengaruh. Ekses dari konflik semacam ini adalah pelanggaran HAM berat, terutama terhadap golongan rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Hukum Islam bukanlah Islam itu sendiri. Syariat adalah medium, dan ia merupakan produk dari proses gradual terhadap penafsiran al-Quran serta sunnah pada tiga abad pertama Islam. Artinya, hukum Islam yang kita pahami sekarang bersifat relatif dan terbuka terhadap ijtihad sesuai dengan keadaan zaman. Sejalan dengan itu,  Noel J. Coulson, profesor hukum asal Inggris, berpandangan, bahwa hukum Islam adalah ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami istilah-istilah mengenai aturan Allah.

Sedangkan, komitmen Taliban untuk lebih terbuka nampak setengah-setengah dan seolah berseberangan dengan pernyataan mereka di lain kesempatan. Perkataan anggota senior Taliban, Waheedullah Hashimi pun kian menguatkan pesimisme pada Taliban yang berjanji membentuk pemerintahan inklusif.

Ia mengatakan, Afghanistan tidak akan menjadi negara demokrasi dan hanya memakai hukum syariat. Hal ini menunjukkan pada dasarnya Taliban tidak berubah. Penolakan terhadap demokrasi sama halnya dengan menolak gagasan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan setara terhadap semua warga. Lalu bagaimana mereka akan merealisasikan janji atas hak-hak perempuan apabila prinsip persamaan saja sudah ditolak sejak awal?

Konservatisme Taliban tidaklah instan. Afghanistan dinilai sebagai salah satu masyarakat Islam paling konservatif di dunia. Laporan dari Humanitarian Policy and Conflict Research (HPCR) Harvard University menyebut, bahwa salah satu sumber kuat konservatisme di Afghanistan adalah karena hubungan yang rumit antara mazhab Hanafi dengan tradisi lokal, seperti Pashtunwali. Hanafiyah sendiri dianut mayoritas masyarakat Afghanistan.

Baca Juga  Belajar Agama di Dunia Maya

Adapun Pashtunwali adalah semacam cara hidup yang menggabungkan kode kehormatan dengan interpretasi lokal hukum Islam. Praktik keseharian atau kasus hukum di antara suku Pashtun diselesaikan dengan sistem Pashtunwali ini. Yang menjadi landasan Pashtunwali ialah martabat laki-laki yang dinilai dari tiga hal, emas, perempuan, dan tanah. Perempuan di sini hanya dianggap sebagai benda, subordinat laki-laki, dan tidak merdeka.

Tradisi lokal ternyata mengambil peran akbar selama berabad-abad dalam mengatur komunitas setempat. Hal ini selanjutnya memberikan pengaruh besar dalam cara mereka mendefinisikan komunitas, peran kehormatan, dan perempuan. Bagaimanapun, belum ada pembedaan secara formal antara tradisi dan syariat, hingga keduanya dipahami dalam kerangka norma serta proses hukum yang sama.

Di bawah rezim komunis, para ulama setempat pernah direpresi sehingga intelektualisme mereka tak berkembang. Hal ini menghasilkan generasi kurang terdidik dan para ulama menjadi lebih konservatif. Mereka lebih bergantung pada substansi tradisi lokal daripada formula Islam dalam menginterpretasi syariat. Masuknya pemikiran Wahabi sekitar 1970-1980 kian menambah daftar panjang pengaruh konservatisme di masyarakat Afghanistan.

Yang bisa dicermati dari fakta ini adalah kuatnya akar konservatisme Taliban. Mereka sendiri hadir dari masyarakat Pashtun. Besarnya penghormatan pada tamu, penindasan pada perempuan, ataupun superioritas laki-laki adalah keyakinan bawaan melalui kerangka rumit adat dan syariat dalam interpretasi mereka. Tindakan mereka lebih didasarkan pada pertimbangan ideologis, bukan nalar. Dengan demikian, kecemasan pada status quo ideologi Taliban kian berdasar.

Taliban kini lebih tepat disebut sebagai gerakan Islam politik. Yang mereka perjuangkan adalah kekuasaan dengan membawa label agama. Mereka bukan kelompok yang bersatu dengan satu visi untuk Afghanistan, tidak seperti Taliban era 1990-an (Harian Kompas, Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia, 20/08/2021). Maka dari itu, sulit untuk melepas patron politik kekuasaan dari rangkaian janji manis Taliban. Keputusan mereka untuk membebaskan ribuan napi teroris kian menambah kekhawatiran.

Hukum positif yang dibangun berdasarkan formalisasi syariat belum tentu Islami. Penerapan hukum Islam secara rigid justru tidak mencerminkan nilai-nilai Islam itu sendiri, dengan melihat sejumlah faktor, seperti pluralitas sosial serta relativitas pemahaman terhadap al-Quran dan sunnah. Karena faktanya, praktik formalisasi syariat berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, keterbukaan, dan kebebasan. Islam yang akan bertahan adalah Islam yang akomodatif dan manusiawi.

Sebenarnya kita hanya butuh logika sederhana. Di mana tidak ada manusia yang mau dipaksa. Sebab itu, dalam kehidupan bersama kita harus mengedepankan asas kerelaan kolektif. Terlebih untuk sesuatu yang konteksnya besar seperti pembentukan negara, menekan ego ideologis sangat penting demi titik mufakat untuk hidup berdampingan di tengah kemajemukan. Demi Afghanistan yang damai, masyarakat setempat harus duduk bersama, berdialog. Dan elemen-elemen asing yang melibatkan diri hendaknya mengedepankan misi kemanusiaan, bukan politik kepentingan.

Sikap ngotot ingin membangun negara berbasis syariat adalah kenaifan yang berbahaya. Apabila tidak mengubah cara pandang terhadap hukum Islam dan penerapannya, Taliban hanya akan merepetisi sejarah kelam yang menyuburkan konflik. Jika demikian, sama halnya dengan merencanakan pemerintahan yang gagal.  Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.