Cara Jalaluddin Rumi Menghormati Perempuan 

Dunia IslamCara Jalaluddin Rumi Menghormati Perempuan 

Nyaris tak pernah terdengar kehadiran perempuan dalam literatur kehidupan Rumi, semua itu dilihat dari karyanya yang selalu menggunakan perspektif maskulin. Kendati tak banyak, salah satu syairnya tentang penciptaan perempuan merupakan puncak penghormatan Rumi terhadap kaum hawa sekaligus mewakili seluruh pandangannya tentang perempuan.

Perempuan adalah partuy-e (pantulan cahaya ilahi), bukan hanya yang dicintai

Tidak, konon dia bukan makhluk biasa, dia bahkan khaliq (pencipta)

(Rumi, Matsnawi, jilid 1 bait 2437)

Sebagaimana yang tertera di atas, melalui bait syair Rumi memang terkesan sangat memuliakan posisi perempuan. Dalam bahasa metaforanya, perempuan dikatakannya bukan semisal manusia biasa, melainkan pencipta. Pencipta yang dimaksud bukan musyrik terhadap Tuhan, akan tetapi keindahan dan kelembutan pada diri kaum hawa itu yang menjadi manifestasi tempat Tuhan bersemayam dalam dirinya.

Sebuah syair sebenarnya tidak cukup membuktikan bagaimana cara Rumi menghomati perempuan secara nyata. Namun, hasil penelitian Zahra Thahiri yang ditulis dalam bukunya Hozor Peyda va Penhan Zan dan Moton Sofiyeh (Kehadiran Perempuan dalam Literatur Tasawuf) cukup mengejutka. Ia memulai dari penjelasan bagaimana peran besar ayah Rumi, Bahauddin Walad, dalam membentuk pemikiran Rumi, termasuk tentang perempuan. Itu sebabnya syair Rumi di atas tentang penciptaan perempuan dipengaruhi oleh pemikiran ayahnya. 

Dalam ruang lingkup kehidupan dan perkembangan tarekat tasawufnya pun, kiranya Rumi sangat memaksimalkan peran perempuan secara signifikan. Sebagaimana yang dikisahkan dalam buku Kitab Cinta dan Ayat-ayat Sufistik (2021) buah karya Afifah Ahmad, istri pertama Rumi yang bernama Gohar Khotun, sangat dihormati dan setia kepadanya, serta oleh para murid pun turut memuliakannya, ayahanda Rumi, Bahauddin Walad menyebutnya sebagai perempuan alim. Sampai istri pertamanya meninggal, Rumi menikah lagi dengan perempuan yang dijuluki Maram dan Khadijah pada masanya, namanya Kara Khotun. Ia bukan hanya sebagai pendamping hidup, tetapi juga teman perjalanan spiritual.

Baca Juga  Jangan Persekusi Perempuan Bercadar Pemelihara Anjing

Beberapa perempuan yang ada dalam lingkaran Rumi juga berperan sebagai pembimbing atau poros tirakatnya. Termasuk para murid perempuan yang memiliki kepakaran dalam ilmu tasawuf, tak segan diangkat olehnya untuk memberi kebebasan tampil di ruang publik atau mendapat status sosial yang layak dan mapan. Berangkat dari sini, Thahiri sampai pada kesimpulan, masa Rumi merupakan puncak kehadiran keemasan perempuan dalam sebuah tarekat sufi. Mereka tidak hanya bisa mencapai makam khalifah (wakil dari seorang mursyid), tetapi juga bisa mencapai mursyid (guru tasawuf), bahkan mendirikan khanqah (tempat berkumpul tarekat sufi).

Apa yang dilakukan Rumi terhadap perempuan sejatinya sungguh luar biasa. Ia mengapresiasi peran perempuan di ruang publik dengan setara terhadap laki-laki. Penghormatan dunia tasawuf terhadap perempuan seperti ini mestinya harus dipopulerkan agar perspektif masyarakat terhadap sufi dapat lebih moderat, tidak konservatif.

Pada akhirnya, manusia yang baik dalam memahami agamanya, barang tentu dapat memposisikan manusia sebagaimana potensi dan kapabilitas yang dimiliki orang tersebut. Tidak memandang rendah, membatasi ruang gerak, dan stereotip lainnya yang hanya karena kodratnya sebagai perempuan. Cara Rumi menghormati perempuan menambah pengetahuan kita akan keagungan penyair sufi asal Balkh, Afghanistan ini.

Jalaluddin Rumi tidak saja bermain dalam keindahan syair tentang perempuan, melainkan sikapnya memuliakan perempuan adalah bukti nyata dari hamba yang saleh terhadap aktualisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tasawuf.  

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.