Dewasa ini, kebangsaan kita dalam dunia pendidikan baik teori maupun praktik, lebih banyak mengacu pada pandangan tokoh-tokoh Barat, dibandingkan mengacu pada pandangan tokoh-tokoh nasional bangsa sendiri. Padahal, pandangan tokoh-tokoh lokal tidak kalah brilian, ketimbang tokoh-tokoh asing. Karena, gagasan-gagasannya tidak terlepas dari pengaruh pandangan tentang filosofi, ideologi, politik, sosio-budaya, dan ekonomi yang diyakininya. Dan Indonesia, memiliki khazanah itu dalam tokoh-tokoh bangsanya. Bung Karno, salah satunya.
Bung Karno sebagai salah satu pendiri bangsa, menarik untuk dikaji. Tidak hanya dalam perannya sebagai tokoh pergerakan, tetapi juga sebagai pemikir ulung. Jadi, tidak mengherankan jika Bung Karno dalam semangat kebangsaannya selalu menggema, memenuhi ruang rindu masyarakat Indonesia.
Yang menarik, Bung Karno sebagai pendiri bangsa pun pemikir, warisan gagasannya tidak puritan, konservatif, dan usang. Sebagai revolusioner, ia telah membuktikan, bukan saja hanya dalam semangatnya yang menggema, tetapi juga pemikirannya yang solutif dan visioner. Pancasila salah satunya, walau demikian, sekarang Pancasila kerap kali alpa dalam ingatan masyarakat kita. Setidaknya, ia masih kokoh menjadi pondasi berdirinya rumah bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pancasila merupakan puncak dari perkembangan gagasan Bung Karno, yang selalu mencoba untuk mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh di dalam masyarakat menjadi pengejawantahan suatu ide baru yang lebih tinggi. Tempatnya dapat diterima oleh semua elemen, Suyatno (2016). Bung Karno memang lebih dikenal sebagai tokoh revolusioner, bukan sebagai pakar pendidikan. Namun, bukan berarti ia tidak mengerti dan memiliki konsep pendidikan. Pendidikan bagi ia adalah satu dari partikel-partikel kebangsaan lain dalam memenuhi kemerdekaan yang tidak kalah penting.
Pendidikan, bagi Bung Karno tidak lain dari pondasi kemajuan itu sendiri. Sebagaimana ia menegaskan dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, bahwa renaissance-pedagogie, mendidik supaya bangun kembali, itulah yang harus dikerjakan oleh kaum muda. Itulah, yang harus mereka sistemkan, bukan separatisme atau perang saudara. Bahagialah kaum muda yang dikaruniai kesempatan oleh Tuhan untuk mengerjakan renaissance-paedagogie.”
Maka, di tengah gejolak persoalan dunia yang kompleks ini, gagasan kebangsaan Bung Karno setidaknya dapat menjadi sumbangsih dalam penguatan pendidikan bangsa. Nilai-nilai Pancasila yang pada hakikatnya adalah bukan lain daripada karakter bangsa kita sendiri, mesti dialih fungsikan kembali lebih eksplisit.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana Pasal 3 ayat 1 mengamanatkan, “bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan”. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan kita, baik dalam keluarga, masyarakat ataupun bangsa sekalipun. Kesuksesan dalam pembangunan tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan di bidang ekonomi, tetapi juga kualitas sumber daya yang menjalankan proses pembangunan tersebut.
Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa juga sekaligus meningkatkan harkat dan martabat manusia. Melalui pendidikan itulah diharapkan dapat tercapai peningkatan kehidupan manusia ke arah yang sempurna. Terutama pendidikan yang berorientasi kepada nilai-nilai Pancasila. Yang memang adalah representasi dari karakteristik dari bangsa kita sendiri. Begitulah, kira-kira harapan para pendiri bangsa. Bung Karno tidak terkecuali.
Teranyar, jagad pendidikan kita diramaikan dengan pergunjingan sebab rencana penghapusan Sejarah sebagai mata pelajaran wajib di jenjang sekolah menengah. Terlepas dari benar atau tidaknya kabar itu. Tetap, problematika sejarah dalam diskursus menjadi penting untuk dikaji.
Bung Karno sebagaimana menegaskan dalam pidato kenegaraan terakhirnya, “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Merdeka bagi Bung Karno, tidak sekadar lepas dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme belaka. Namun, jauh lebih dari itu, kemerdekaan tak lain dan tak bukan ialah jembatan, satu jembatan emas, yang di seberang jembatan itulah disempurnakan masyarakat Indonesia. Disempurnakan, dalam artian menempa masyarakat kita dengan pengetahuan, kesadaran, dan pendidikan menuju hilir jembatan yang indah.
Sejarah, mengutip Kuntowijoyo (1993), kenyataan bahwa sejarah terus ditulis dalam setiap peradaban sepanjang zaman menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu. Orang tidak akan belajar sejarah jika tak ada gunanya, kecuali memang sudah benar-benar dianggap tak perlu!
Sejarah mengajarkan kejujuran melihat peristiwa masa lalu. Karena itulah, sejarah tak boleh bersikap hitam putih. Sejarah bukan “fakta yang dibuat” seperti sandiwara, Ravik Karsidi (2020). Lantas, bagaimana kita menjadi manusia yang jujur, sedangkan infrastruktur kejujuran saja ingin diberangus?
“Pendidikan adalah cerminan kehidupan sebuah bangsa”, Bung Karno. Dan sejarah adalah pondasinya. Pendidikan pada masa kolonial dimaknai sebagai gerakan pembebasan. Wajar, generasi pertama pendidikan Hindia Belanda seperti Ki Hajar Dewantara masih mewarisi semangat tersebut, sehingga ia tidak pernah memberikan jarak antara pendidikan dan kemerdekaan. Kelanjutannya, kita sama-sama tahu, Ki Hajar bersama Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin, dan tokoh nasional lainnya yang lebih muda dari bapak pendidikan itu, membuktikan bahwa gagasan kemerdekaan mereka yang dihasilkan pendidikan membuahkan hasil; Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, Iman Zanatul Haeri (2020).
Sejarah, dalam kaitannya dengan pendidikan ibarat sepeda motor tanpa bahan bakar. Pendidikan tidak akan jalan mencapai tujuannya, jika tidak dibekali dengan sejarah itu sendiri. Untuk menuju Indonesia Emas di 2045, diperlukan tahapan dan kesinambungan. Agar tak ada keterputusan antar-generasi, membangun ”Indonesia Masa Depan” mau tak mau mesti bertumpu pada ”Indonesia Masa Lalu”, Ravik Karsidi (2020).
Sebagai tokoh, gagasan Bung Karno bagaikan toko material yang siap sedia dalam menyediakan bahan-bahan bangunan yang dikehendaki arsitek, untuk merakitnya menjadi bangunan-bangunan yang elok, eksotis, nan kekinian. Bung Karno dan gagasan-gagasannya ibarat senyawa kimia yang menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat terpisahkan di antara keduanya. Ia mengerti betul derita dan keperluan rakyatnya dari dulu hingga nanti.
Bung Karno adalah sosok pemimpin yang peka terhadap bangsa dan rakyatnya. Dalam jiwanya terpatri magnet semangat dan kebangsaan yang menggelora dan menggema.