Teladan Moral Buya Syafii Maarif

KolomTeladan Moral Buya Syafii Maarif

Akhir Mei kemarin, pada tanggal 31, Buya Syafii Maarif genap berusia 86 tahun. Momen hari kelahiran, menurut saya tepat untuk merefleksikan figur seseorang. Guru bangsa adalah kata kunci yang meringkas identitas seorang Ahmad Syafii Maarif. Lebih detailnya, ialah sang negarawan, ulama, serta cendekiawan dengan gagasan segar, terbuka, dan maju. Di usia yang terbilang senja, Buya masih setia mendampingi jalannya bangsa ini. Hal itu setidaknya nampak dari sikap kritis dan konsistensinya dalam menyikapi berbagai fenomena di bumi pertiwi. Meneladani moral etik dan laku hidup Buya menjadi penting di tengah era disrupsi dan kelangkaan akhlak manusia hari ini.

Saya memang belum pernah bersua atau berguru langsung kepada Buya. Persinggungan awal saya dengan Buya serta pemikirannya dimulai dari penuturan guru saya yang juga murid ideologis Buya. Jejaring pemikiran Buya Syafii tidak jauh dari misi menghadirkan Islam tengahan, progresif, serta menghendaki Indonesia menjadi rumah yang ramah keberagaman. Sebagai tokoh yang satu generasi dan sefrekuensi dengan Cak Nur juga Gus Dur, gagasannya pun sarat akan nilai-nilai kemanusiaan dan energi cinta yang kuat terhadap Indonesia.

Membaca tulisan-tulisan Buya, kita akan melihat sosok yang jujur, berani, konsisten, dan, lugas. Sekalipun berlainan dengan pandangan kebanyakan, ia akan setia pada pendiriannya. Saat kasus penistaan agama yang menyeret nama Ahok pada 2017 lalu misalnya. Buya hadir dengan respons yang dianggap kontroversial karena tegas menyatakan bahwa Ahok tidaklah menghina al-Quran. Dan pernyataan ini bertentangan dengan pandangan kebanyakan. Walhasil, caci maki dan kutukan dari kalangan sumbu pendek pun tak terhindarkan. Dan Buya tak bergeming, ia tetap tenang.

Buya adalah orang yang sering merasa gelisah dengan situasi bangsa ini. Perasaan tersebut tak lain karena kepedulian murninya akan nasib negeri kita, kini dan kelak. Seperti dalam kolomnya di harian Kompas (31/05/2021) yang berjudul Lumpuhnya Pancasila, Buya menumpahkan keresahannya akan perjalanan bangsa yang telah sejak lama melumpuhkan nilai-nilai luhur Pancasila, di mana dasar negara hanya dijadikan lip service saja. Pancasila dan amanat UUD 1945 dikhianati secara sistematis oleh anak bangsanya sendiri. Argumen tersebut setidaknya mengacu pada maraknya sikap amoral, mental koruptif, normalisasi kecurangan, dan politik tak sehat yang telah sedemikian akut menjangkiti para penguasa serta pemangku jabatan di pemerintahan kita.

Buya memang blak-blakan juga kritis, akan tetapi bukan maksudnya untuk menampilkan nuansa pesimistis melalui tulisan tersebut. Justru sebaliknya, yakni agar kita sekalian tergugah akan sedimen persoalan bangsa dan sadar untuk berbenah. Bagaimanapun, Buya tetap menaruh optimisme. Dalam sejumlah kesempatan, ia kerap mengatakan bahwa Indonesia harus tetap ada hingga sehari sebelum kiamat terjadi.

Baca Juga  Hindari Kontroversi Tasawuf

Keberlangsungan negeri ini beserta identitas autentiknya berada di tangan kita sendiri. Begini kata Buya, kita harus mencintai negeri ini dengan tulus meskipun keadaannya ruwet dan kacau. Maka jelaslah, dalam formula perjuangannya, Buya selalu menyalakan lilin harapan agar generasi bangsa tidak patah arang dengan persoalan yang kompleks dan tetap bersedia menjaga rumahnya sendiri.

Secara karakter personal, kesederhanaan dan kesahajaan Buya telah menjadi rahasia umum. Misalkan orang-orang yang mengenalnya ditanya satu kata untuk mendeskripsikan akhlak Buya, hampir pasti mereka akan mengatakan “sederhana”. Untuk tokoh sekelas Buya, adalah hal mudah dan sangat mungkin baginya untuk memakai fasilitas serta atribut mewah dalam keseharian, tetapi untuk mobil saja ia cukup dengan Avanza. Kurang lebih demikian guru saya bercerita.

Berbelanja di warung, mengantri berobat di rumah sakit, menaiki kendaraan umum, tidaklah jarang dilakukan Buya. Hal lain yang lazim dijumpai ialah kebiasaannya bersepeda ontel di sekitar kediaman Buya di Yogyakarta. Baginya, bersepeda adalah upaya untuk menjaga kebugaran fisik. Sedangkan membaca adalah untuk menjaga kewarasan serta ketenangan pikiran. Kegiatan-kegiatan di atas memang umum dan biasa. Namun, terasa amat bermakna ketika dilakukan oleh seorang yang tulus dan berpengaruh.

Buya adalah telaga keteladanan bagi siapapun, yang penting untuk digugu (ditaati) dan ditiru (dicontoh). Demikianlah yang disebut guru sejati menurut falsafah Jawa (digugu lan ditiru). Sikap tulus, peduli, dan aktif dalam menjaga masyarakat serta Tanah Air adalah mental guru bangsa yang ada padanya. Kualifikasi demikian seharusnya dimiliki para penguasa, politisi, kalangan elite, tokoh agama, dan pengelola pemerintahan pada umumnya. Sebab mereka adalah pemegang kemudi, kiblat atensi, dan representasi dari rakyat yang tanggung jawabnya tidak main-main. Manusia berakal budi tak akan berhenti menggali kebaikan untuk dipraktikkan.

Tidak ada jarak antara teori, pemikiran, dan sikap hidup yang Buya tampilkan. Ialah cendekiwan yang dekat dengan umat dan tak terjebak dalam menara gading kemuliaan serta kenikmatan. Perjalanan hidup dan intelektualisme yang terus terjaga membuat Buya menjadi pribadi yang senantiasa sadar akan eksistensinya sebagai manusia. Dengan kata lain, sebagai pribadi dan bangsa kita harus bergerak belajar jika ingin terarah dan tercerahkan. Etika dan gagasan Buya adalah instrumen yang patut diadopsi dalam keseharian. Salam ta’dzim, semoga Buya senantiasa sehat dan dilimpahi kekuatan untuk selalu mengingatkan warga bangsa yang kerap lengah serta lupa. Untuk rumah Indonesia yang hangat, sejahtera, dan dewasa, mari berbenah bersama. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.