Bercanda adalah hal yang biasanya dilakukan untuk membuat lawan bicara tertawa. Dalam momen tertentu, melucu juga berguna untuk mencairkan suasana dan menghilangkan stres. Namun, tidak jarang justru berujung menyakiti perasaan orang lain. Apalagi jika melihat kenyataan hari ini, banyak sekali kasus bullying (perundungan) maupun prank yang berdalih untuk candaan. Hal ini tentu menjadi keprihatinan bersama. Sepertinya, telah menjadi samar batasan antara melucu dan merundung (mengintimidasi).
Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah kenabian, selalu diidentikkan sebagai sosok yang penuh wibawa dan kharisma. Dalam bayangan kita, apa yang beliau sampaikan selalu berupa perkara serius seputar keagamaan. Banyak yang lupa, sebagai seorang utusan, beliau juga manusia yang tidak lepas dari sifat-sifat bashariyyah (kemanusiaan). Tidak melulu khotbah ataupun perang, Nabi Muhammad SAW juga piawai dalam bercanda. Tentu, candaan Rasulullah SAW ada haluannya.
Tidak ada salahnya kita melihat sejenak bagaimana pola interaksi sosial Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa kesempatan, beliau pernah bercanda dengan para sahabatnya.
Beberapa riwayat menceritakan sisi humoris beliau tersebut. Mengambil contoh hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan Imam Abu Daud, bahwa ada seorang lelaki yang meminta tumpangan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian beliau berkata, “Aku akan menaikkanmu di atas anak unta”. Laki-laki tersebut heran, kemudian menimpali, “Wahai Rasulullah SAW, apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta?” Nabi SAW pun menjawab: “Apakah ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina?”
Dalam dialog tersebut Rasulullah SAW memainkan logika untuk mencandai laki-laki itu. Sahabat ini berpikir, bahwa dia benar-benar akan diberi tumpangan dengan anak unta, yang mana biasanya berbadan kecil sehingga tidak akan kuat menanggung beban badan dan bawaannya. Tentu unta yang dimaksud Rasulullah SAW tidaklah unta yang benar-benar masih kecil. Yang akan beliau tawarkan pastinya unta dewasa yang kuat menanggung beban untuk perjalanan.
Namun, sebagaimana yang telah beliau sampaikan, bahwa unta dewasa pun tetap saja merupakan anak unta karena ia lahir dari seekor unta betina. Logikanya, berapapun umur unta tersebut, hakikatnya ia tetap anak dari induknya.
Terdapat riwayat lain yang menceritakan gurauan Nabi Muhammad SAW dengan seorang wanita tua. Wanita tersebut mendatangi beliau untuk minta didoakan agar ia masuk surga. Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Wahai nenek, sesungguhnya di surga tidak ada orang tua”. Sejurus kemudian wanita tua tersebut menangis karena mengira ia tidak akan bisa masuk surga.
Rasulullah SAW pun tersenyum kemudian menjelaskan, bahwa di surga memang tidak akan ada orang tua karena mereka akan dijadikan muda dan perawan kembali. Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT yang bunyinya, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” [Q.S. Al-Waqi’ah: 35-36].
Betapa Rasulullah SAW punya banyak cara untuk menyampaikan wahyu Allah SWT, bahkan melalui humor sekalipun. Humor memang medium tepat untuk menambah keakraban dan merekatkan hubungan.
Setelah mencermati gaya bercanda Rasulullah SAW, ternyata tidak ada kebohongan dalam gurauan yang beliau sampaikan. Unsur menggunjing, mengolok-olok, maupun mencemooh juga tidak terlihat. Bahkan, apa yang beliau sampaikan melalui guyonan justru mengandung pelajaran. Haluan-haluan ini sekiranya bisa memperjelas batasan antara bercanda dan bullying.
Melihat fenomena bullying dan prank tadi, alangkah baiknya, saat bergurau kita berupaya mengadopsi nilai dan cara bercanda Rasulullah SAW, sehingga gurauan bisa berfungsi sebagaimana mestinya, bukan malah menjadi sumber hinaan yang menyebabkab sakit hati. Selain itu, agar humor yang dilempar mendapati momennya, kita perlu memperhatikan waktu dan situasi saat bercanda. Dan yang tak kalah penting, perhatikan siapa orang yang kita ajak bercanda. Dengan demikian, candaan akan benar-benar menghidupkan suasana gembira dan menumbuhkan keakraban. Wallahu a’lam.