Rasisme Bukan Ajaran Nasionalisme Kita

KolomRasisme Bukan Ajaran Nasionalisme Kita

Baru-baru ini ramai membicarakan unggahan Ambroncius Nababan di Facebook yang menyandingkan foto Natalius Pigai dengan gorila. Bagaimana pun juga, tindakannya adalah rasis. Dengan dan tanpa alasan apapun ini adalah kekeliruan yang mesti diluruskan. Sebab, rasisme adalah tindakan hina dan menghina, yang dampak terburuknya akan terjadi disintegrasi antar sesama. Tentu, hal ini tidak kita inginkan. Apalagi, Indonesia masyhur dengan keberagaman dan keharmonisan masyarakatnya. Dalam khazanah nasionalisme kita, rasisme tidak memiliki tempat dalam jati diri bangsa.

75 tahun yang lalu, para pendiri bangsa telah memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia resmi berdiri sebagai negara berdaulat. Walau, dengan jalan dan perjuangan yang terjal, pada akhirnya kita dapat menjadi bangsa yang merdeka seutuhnya. Merdeka tidak saja dalam arti bebas dari penjajah, tetapi juga merdeka dari segala bentuk penjajahan dan kesewang-wenangan yang merenggut hak hidup masyarakat. Sebagai negara yang pernah dijajah, tentunya kita mengutuk sikap rasisme. Sebab, rasisme merupakan cerminan dari watak kolonialisme. Karena itu, dengan segala kenangan pahit dan getirnya, humanisme, persaudaraan, keharmonisan, dan keadilan dijadikan cerminan dalam berbangsa dan bernegara kita. Hal ini tercermin dalam kitab Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan Pancasila

Mengenal dan menyelami sejarah kolonialisme di Indonesia, merupakan bentuk ikhtiar bagaimana kita melihat penjajah melakukan bangsa kita dengan rasis dan kesewenang-wenangan. Rasisme adalah ruh kolonialisme yang diturunkan dalam berbagai produk hukum dan peraturan. Rasisme mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat kolonial dari mulai sosisal, ekonomi, hingga politik, dari mulai bangun sampai tidur. Yang dalam hal ini dapat disimpulkan, bahwa memperlakukan orang lain secara rasis adalah tindakan yang mencerminkan watak kolonial.

Memang, rasisme bukanlah hal baru dalam masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat, rasisme telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman kolonial. Sangat perlu untuk diketahui dan ditegaskan, bahwa penjajah baik Belanda maupun Jepang keduanya adalah pemerintah rasis terhadap pribumi. Mereka membuat dan menerapkan hukum dan sistem kenegaraan yang rasis. Rasisme merupakan wujud supermasi golongan penjajah terhadap golongan yang dijajah. Mereka menganggap bangsanya adalah bangsa yang unggul dan beradab, sehinngga memiliki kewajiban untuk memperadabkan bangsa lain, yang dalam konteks ini adalah bangsa Indonesia.

Baca Juga  Meninggalkan yang Haram, Demi yang Halal

Yang tidak kalah penting untuk diketahui, walau rasisme sudah ada sejak dulu, tetapi bukan berarti rasisme adalah budaya dan jati diri dari bangsa Indonesia. Sebaliknya, saling menghormati, gotong-royong, dan humanis yang sebenar-benarnya budaya kita. Negara telah memberikan jaminan perlindungan untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif sebagai hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengutip pernyataan Bung Karno, bahwa nasionalismeku adalah kemanusiaan.

Adanya tindakan yang dilakukan Ambroncius Nababan sebenarnya bukan yang pertama terjadi di Indonesia pasca merdeka. Sudah tidak lagi terhitung berapa banyak kasus-kasus rasis, khususnya terhadap kelompok minoritas dan masyarakat Papua. Tentu, hal ini tidak dapat dibiarkan dan berkembang. Cepat atau lambat peredarannya harus dapat dihentikan, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan kearifan lokal kita.

Dalam konteks nasionalisme kita, Bung Karno jauh-jauh hari menegaskan nasionalisme kita bukanlah nasionalisme chauvanistic, melainkan kemanusiaan. Dalam terminologi nasionalisme kita, prinsip kesetaraan dan anti diskriminasi merupakan ciri khas dari hak asasi manusia. Bahkan, penegasan mengenai prinsip kesetaraan dan anti-diskriminasi dalam pelaksanaan hak asasi manusia dapat juga dicermati dalam instrumen hukum internasional, tentang hak asasi manusia, yaitu The International Covenant on Economic, Social and Culture Right yang telah diratifikasi oleh Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Dari berbagai tindakan rasis yang terjadi dalam praktik berbangsa dan bernegara sudah seharusnya dapat disadari, jika rasisme bukanlah kebudayaan kita. Jangan sampai, persatuan, keharmonisan, dan kebersamaan di atas keberagaman yang sudah dibangun sejak lama hancur karena ketidakpahaman warga negaranya tentang nasionalisme. Sebab, dampak terburuk dari rasisme adalah disintegrasi bangsa. Cepat atau lambat, kita harus menyadari persoalan serius ini. Bersama-sama menjaga dan melestarikan ajaran tentang persatuan dalam bingkai kebinekaan. Intisari dari ajaran nasionalisme kita adalah keharmonisan dan saling menghormati antar-umat manusia, bukan rasis terhadap sesama.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.