Refleksi Kisah Kurban Nabi Ibrahim AS

KhazanahHikmahRefleksi Kisah Kurban Nabi Ibrahim AS

Asal usul ibadah kurban yang kita laksanakan di hari Idul Adha adalah praktik ketaatan Nabi Ibrahim, ketika diperintahkan oleh Tuhan untuk mengorbankan putranya. Kisah ini terletak di jantung setiap tradisi keagamaan, sebab Ibrahim adalah bapak leluhur spiritual monoteisme. Saat Ismail AS tumbuh menjadi seorang anak yang sangat dicintai Ibrahim AS, saat itulah perintah yang paling sulit datang. Nabi Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan apa yang paling dicintainya itu.

Namun, kisah ini juga telah menjadi sasaran banyak kesalahpahaman. Christopher Hitchens, seorang atheis, terkenal menyerang kisah ini sebagai contoh utama dari kekeliruan agama. Menurutnya, Tuhan macam apa yang akan memerintahkan seorang ayah untuk membunuh putranya sendiri? Ayah macam apa yang akan setuju untuk melakukan tindakan seperti itu? Dan agama macam apa yang memuliakan orang yang setuju untuk membunuh putranya sendiri karena dia percaya bahwa Tuhan memerintahkannya?

Merefleksikan pertanyaan semacam ini mungkin cukup penting, setidaknya untuk memastikan bahwa kita sendiri telah memahami cerita dengan baik dan mampu menangkap pelajarannya dengan benar. Sebenarnya, Dilihat dari sudut pandang yang tepat, kisah ini merupakan bukti paling cemerlang dan kuat akan spiritualitas dan pengabdian sejati.

Ibrahim mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu yang luar biasa sulit, tapi Ibrahim memiliki keimanan yang tinggi dan yakin bahwa Allah SWT akan ada untuk Ismail dan dirinya, dan Allah SWT juga yang akan melindungi mereka dari bahaya. Dengan demikian, Allah SWT akan menerima pengabdian dan keimanan mereka kepada-Nya dan menuntun mereka ke sesuatu yang lebih baik.

Fitur utama dari narasi al-Quran adalah bahwa Ibrahim benar-benar mendekati putranya, berbicara kepadanya, dan sungguh-sungguh berdialog mengenai persoalan ini. Ismail terlibat dengan sukarela dan taat, sama sekali tidak digambarkan dituntun ke pengorbanan tanpa menyadari niat ayahnya. “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Islamil enjawab”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. (QS. As-Saffat: 102)

Tidak sedikitpun ada penyembunyian atau paksaan dalam narasi al-Quran tentang rencana kurban yang diperoleh Ibrahim. Kisah ini adalah tentang keindahan ayah dan anak yang patuh, percaya, dan berserah diri pada kehendak Tuhan, yang akhirnya memperoleh keselamatan (QS. As-Saffat: 103-108).

Realitas mendalam lainnya ialah keyakinan Ibrahim as bahwa, seberapa pun kuatnya dia mencintai Ismail, cinta Tuhan kepada Ismail jauh lebih besar dan kuat. Seperti yang dijelaskan Nabi Muhammad , Allah mencintai manusia lebih dari seorang ibu mencintai anaknya sendiri (HR. Bukhari). Maka dari itu, pada dasar teologi Islam, ada gagasan bahwa Allah adalah Yang Maha Penyayang, dan Allah tidak akan pernah menetapkan penderitaan atau bahaya bagi setiap manusia (QS. Ali Imran: 108)

Baca Juga  Terorisme Bukan Jalan al-Ghuroba’

Mengapa Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan Ismail? Mari kita perhatikan komentar Ibn al-Qayyim (w. 751 H) berikut, ”faedah memerintahkan sahabat-Nya Ibrahim as untuk mengorbankan putranya bukanlah agar pengorbanan itu terjadi, melainkan agar ayah maupun putranya tunduk dengan teguh dan sepenuhnya pada perintah-Nya. Setelah faedah itu terpenuhi, pengorbanan menjadi berbahaya bagi mereka berdua. Oleh karena itu, Allah membatalkannya dan memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan seekor domba sebagai gantinya” (Miftah Dar al-Sa’ada, h. 392)

Ibrahim as dibimbing untuk untuk berusaha sejauh yang dia bisa, mencapai potensi maksimalnya. Perintah Allah tersebut dimaksudkan hanya agar keduanya, Ibrahim dan Ismail berserah diri dan tunduk patuh kepada Tuhan, yang berhasil mereka lakukan. Bukan tindakan khusus ritual penyembelihan, sebab pada akhirnya pengorbanan itu tidak pernah terjadi. Dalam tafsir al-Quran yang terkenal, Fath al-Qadir, Imam al-Shawkani (w. 1250 H) memberikan penafsiran yang menarik dalam hal ini. Dia menyatakan, “Ketika Ibrahim menempatkan Ismail untuk pengorbanan, suara dari arah Gunung memberitahu dia, “Hai Ibrahim, kamu telah memenuhi tujuan,” sehingga, pemenuhan perintah hanya berdasarkan tekadnya yang kuat untuk melakukan perbuatan, meskipun tidak benar-benar melakukan pengorbanan.”

Jadi, mari kita jawab pertanyaan kritis Christopher Hitchens di atas. Pertama, Allah SWT tidak memerintahkan seorang ayah untuk membunuh putranya sendiri, perintah itu hanya merupakan tantangan keimanan yang tujuannya untuk mendidik nabi-Nya menjadi insan yang memiliki ketaatan sempurna. Kedua, Ibrahim, sebagai ayah, tidak berkomitmen untuk mengorbankan anaknya, tetapi menjalankan ketaatannya. Ketiga, agama monotheisme tidak memuliakan orang yang setuju untuk membunuh putranya sendiri, Tetapi memuliakan sosok Ibrahim yang memiliki spiritualitas keimanan sempurna dan luar biasa. Allah berfirman, Kami abadikan untuk Ibrahim pujian di kalangan orang-orang yang datang kemudian (QS. As-Saffat: 108)

Intinya, kisah kurban Nabi Ibrahim as, melambangkan arti iman yang sebenarnya. Ibrahim as tidak pernah berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang tidak etis, seperti mengorbankan putranya. Tetapi dia berkomitmen untuk melaksanakan perintah Allah SWT, meskipun itu amat berat baginya. Dengan tekadnya yang kuat, Ibrahim mengambil lompatan iman dalam mempercayai bahwa Tuhan akan menyelamatkan putranya.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait