Belajar Humor dari Abu Nawas

KhazanahHumorBelajar Humor dari Abu Nawas

Abu Nawas adalah manusia biasa, seperti manusia di dunia pada umumnya. Abu Nawas adalah penyair ulung yang melegenda. Ada banyak cerita yang dinisbatkan kepadanya, tapi hampir sebagian besarnya adalah cerita fiksi.

Dikisahkan hidup sezaman dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid, Abu Nawas merupakan seorang pujangga yang mempunyai hubungan dekat atau akrab dengan Khalifah Daulah Bani Abbasiyah ini. Abu Nawas sering dipanggil ke istana oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk dimintai nasihat, atau sekadar menghibur sang khalifah.

Selain menjadi penyair ulung, sebenarnya Abu Nawas merupakan seorang sufi dan filsuf yang tiada tanding. Nama aslinya, Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan di kota Ahwaz (747 M), di negeri Persia (Iran sekarang). Terkenal sebagai orang yang cerdik, Abu Nawas acap kali tampil sebagai tokoh yang unik dan menggelitik dalam khazanah sastra Arab Islam.

Salah satu cerita Abu Nawas yang menarik saat menjelang sakaratul mautnya. Konon, Abu Nawas berwasiat pada keluarganya agar membungkus jasadnya dengan kain kafan yang lusuh, kelak ketika ia meninggal. Alasannya, supaya ketika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke liang lahatnya, maka Abu Nawas bisa mengelak dan berkata; Wahai Malaikat, lihatlah kainku yang lusuh, itu artinya aku adalah mayat lama, dengan harapan Malaikat akan pergi dan tak jadi menanyainya.

Hidangan kisah tentang Abu Nawas, sesungguhnya mengandung sarat akan makna. Menurut Gus Baha, kendatipun kisah Abu Nawas sebagian ceritanya adalah fiktif, tapi fiktifnya orang tasawuf itu ada filosofinya. Seperti makna dari kisah kain kafannya Abu Nawas, kain kafan hanyalah simbol kematian. Seyogianya, hidup tidak melulu tentang harta, karena di akhirat tidak akan ditanya seberapa mahal kain kafanmu. Salah satu penggalan syair Abu Nawas yang melegenda tentang taubat yaitu;

Baca Juga  Bertobat karena Membaca

“Wahai Allah, Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tak kuat dengan siksa neraka jahim, perkenankanlah aku taubat (ampunan) dan ampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.”

Entah dari mana sumbernya, tetapi syair di atas umumnya dinisbatkan kepada Abu Nawas. Di balik syair Abu Nawas yang islami dan penuh haru, tak menyangkal, jika semasa dulunya Abu Nawas bukanlah orang yang taat beragama dan tenggelam dalam kegemerlapan duniawi. Namun, ia mendapatkan hidayah di masa tuanya. Sebagai usahanya Abu Nawas belajar mendalami ilmu agama, dan menjadi orang yang tekun beribadah, sampai akhir hayatnya.

Wajar jika, syair I’tiraf  (sebuah pengakuan) tersebut mampu membuat banyak orang tersentuh. Kesungguhan hati Abu Nawas, memohon ampun atas kemaksiatan dan kemurniannya bertaubat, segalanya ia tumpahkan dalam setiap bait syair unggahannya. Sifat Abu Nawas yang jenaka, menjadikan kehidupannya begitu penuh warna. Kepiawaiannya memainkan kata dan suka ngocol (berkata asal namun benar), membuat ia istimewa, serta berkesan dalam ingatan banyak orang.

Sejumlah kisah dan puisi Abu Nawas, dihimpun dan diterjemahkan dengan macam bahasa. Dan beberapa manuskrip syair Abu Nawas telah tersebar di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodleiana, dan Mosul.  Para sastrawan yang mengabadikan hal demikian, adalah mereka yang mengapresiasi atas kekayaan peradaban dunia dari pertengahan abad yang berharga.

Meski, legenda Abu Nawas telah masyhur di wilayah Islam maupun Barat. Kiranya bisa menjadi perhatian bagi para sastrawan saat ini, demi memperkaya warisan ilmu dari setiap peradaban Sastra yang unik dan menggelitik.

Artikel Populer
Artikel Terkait