Diliburkannya Shalat Jumat di Masa Pandemi

KolomDiliburkannya Shalat Jumat di Masa Pandemi

Tidak shalat Jumat di masa pandemi virus Covid-19 bukanlah suatu permasalahan, sekalipun itu dilakukan tiga kali berturut-turut maupun lebih. Hal tersebut juga didukung dengan pernyataan Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah pada situasi wabah yang di dalamnya terdapat poin meliburkan shalat Jumat dengan catatan menggantinya dengan shalat dzuhur. Mungkin bagi sebagian kalangan keputusan ini ditengarai tidak wajar, karena korona bisa mengalahkan agama. Padahal, ajaran agama begitu lengkap sehingga dapat memandu umatnya untuk melakukan ibadah sesuai situasi tidak kaku seperti yang dipikirkan orang awam pada umumnya.

Adapun Fatwa MUI di atas juga dilandasi oleh kaidah fikih yang sangat diperlukan bagi situasi pandemi saat ini, yakni menolak bahaya didahulukan ketimbang menarik maslahat. Kiranya melalui kaidah ini dapat dipertanggungjawabkan secara syariat atas argumen diperbolehkannya mengganti shalat Jumat dengan shalat dzuhur di masa pandemi. Sebagaimana pengalaman Rasulullah Saw pernah dalam situasi untuk tidak memungkinkan pergi ke Masjid lantas beliau menyuruh untuk shalat di rumah.

Dalam riwayat Abdullah ibn ‘Abbas dinarasikan, beliau memerintahkan pada muadzin-nya ketika hujan lebat, jika engkau sudah mengucapkan asyhadu anla ilaha illallah, asyhadu anna muhammadan rasulullah, maka jangan ucapkan hayya ‘alashalat, melainkan ucapkan shallu fibuyutikum (shalatlah kalian di rumah masing-masing). Lantas beliau melanjutkan, sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah Saw), sesungguhnya shalat Jumat itu hal yang ‘azmah (wajib), akan tetapi aku tidak suka memberatkan kepada kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin (HR. Muslim).

Jika melihat situasi di atas, hujan lebat tidak memberikan bahaya atau mudharat hanya saja sedikit membuat ketidaknyamanan. Meski begitu, Rasulullah tetap memberikan rukhsaha agar tidak memaksakan berangkat shalat Jumat. Termasuk, anjuran udzur shalat Jumat maupun berjamaah di masjid diberlakukan pula bagi mereka yang sakit dan takut sakit akibat virus. Terlebih dengan situasi pandemi Covid-19 ini yang jelas mengandung kemudharatan. Betapa banyaknya korban yang berjatuhan akibat virus tersebut, kerugian materi dan hilangnya nyawa menjadi alasan yang mestinya tak dapat ditepis.

Pemerintah yang bertanggung jawab atas rakyatnya juga terus mengupayakan beberapa kebijakan dalam mengentaskan virus Covid-19, misal PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), WFH (Work From Home), vaksinasi dan pengetatan protokol kesehatan lainnya. Paling mutakhir, kontroversi penutupan masjid di beberapa tempat. Mungkin terdengar ada banyak sangkalan, mengapa pasar-pasar atau mall dibuka, sementara masjid-masjid di tutup yang kehadirannya untuk shalat hanya membutuhkan waktu lima menit. Sebenarnya ini pertanyaan yang mudah di sangkal, meski tetap sulit menyakinkan orang-orang yang naif dan tidak mau kooperatif melihat kondisi daruratnya wabah covid-19.

Baca Juga  Jangan Menghakimi Ahmadiyah

Disenyapkannya masjid karena covid-19 menurut mereka adalah suatu pelanggaran syariat. Padahal, jelas pemahaman ini keliru. Perlu diingat, bahwa kendati shalat berjamaah itu bernilai pahala tinggi, tetapi tidak wajib, begitupun shalat Jumat yang bersifat ‘azmah Rasulullah Saw tetap memberi keringanan, lantas di mana pelanggaran syariat. Di sini jelas tidak ada sabotase hukum agama, selain mementingkan kemaslahatan. Kalaupun pasar-pasar atau  di tutup secara total, maka jelaslah negeri ini akan lumpuh ekonomi atau krisis moneter dan rakyat akan lebih nelangsa setelah banyaknya PHK yang terjadi di mana-mana. Itu sebabnya pemerintah memberikan batasan waktu, pengetatan protokol kesehatan, tidak terlalu melonggarkan dan membebaskan masih ada rambu-rambu yang harus dipatuhi .

Maka dari itu, hukum shalat Jumat di masa pandemi sebaiknya mengikuti anjuran pemerintah dan MUI, karena alasannya sangat akurat dan tidak ada pelanggaran syariat di dalamnya. Begitupun ketika masjid-masjid di tutup wajar bila kita merasa sedih. Namun, demi menghindari hal yang lebih buruk dan bertambahnya korban yang terus-menerus kiranya dapat di pahami dengan baik anjuran terkait peribadahan, seperti meliburkan shalat jumat di masa pandemi.

Pemerintah tidak mungkin membuat aturan seperti ini, kalau tidak ada sebab akibat yang signifikan. Virus ini sangat perlu diputus mata rantainya. Shalat di rumah saat pandemi juga tak kalah berlipat pahalanya. Sebab, di rumah terdapat keluarga yang bisa diajak untuk berjamaah, mengajarkan anak-anak untuk shalat, bahkan memberi suasana yang lebih harmonis. Demikian bukan suatu pelanggaran syariat terkait tidak adanya ritual shalat Jumat selama masa pandemi.

Artikel Populer
Artikel Terkait