Merehabilitasi Sifat Narsis

KhazanahHikmahMerehabilitasi Sifat Narsis

Media sosial telah menjadi candu bagi masyarakat modern, khususnya anak muda.  Banyak peningkatan terjadi setelah munculnya Medsos, salah satunya, meningkatnya narsisme dalam diri. Narsisme adalah perasaan mementingkan diri sendiri yang berlebihan, ketergantungan terhadap kekaguman dari orang lain, dan ketidakmampuan untuk berempati dengan orang lain. Sifat ini dinamai berdasarkan seseorang bernama Narcissus dalam mitologi Yunani, seorang pemuda yang memiliki kekaguman obsesif dan egois pada dirinya sendiri.

Dalam hal dakwah Islam, budaya debat atau sanggah-menyanggah di YouTube, Twitter, Instagram, tampaknya dibanjiri oleh para narsis juga. Tidak sedikit Muslim yang menunjukkan keangkuhan, minimnya etika, pamer diri, dan narsistik, ketika mencoba untuk menyangkal atau membantah Muslim lain dalam beberapa poin agama atau hal lain. 

Bagaimanapun, kritik atau koreksi harus berakar dalam ketulusan, penelitian ilmiah yang baik, mengikuti aturan kritik Islam. Di antaranya, mengutip kata-kata orang yang dibantah secara akurat dan sesuai konteks, tidak melanggar hak orang yang dibantah, dan memberi ruang untuk menarik kembali kesalahannya dan kembali ke kebenaran. Amat disayangkan apabila narsisme sampai membutakan mata hati dan pikiran untuk memperhatikan etika tersebut.

Maka dari itu, kita harus waspada terhadap penekanan pada “aku”, “milikku” atau “diriku”. Iblis, Firaun, dan Qarun merupakan figur yang celaka karena mentalitas narsis ini. “Aku lebih baik daripada dia” (QS. Al-A’raf: 12) adalah kata-kata narsis ala iblis. “Bukankah kedaulatan Mesir adalah milikku?” (QS. Az-Zukhruf: 51) adalah narsisnya Firaun. Kemudian lagi si Karun yang berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku” (QS. Qashas: 78). Semua karakter narsis itu oleh figur-figur yang tercela, dan sifat seperti mereka wajib kita hindari.

Baca Juga  Memahami Maksud Hadis Al-Hajju ‘Arafah

jadi, kita harus merehabilitasi sifat-sifat narsisme, terlebih di medsos. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Qayyim, obatnya ialah dengan mengakui bahwa diri memiliki aib, dosa, dan ketidaktahuan. Kita perlu mengaku dengan kerendahan hati dan ketulusan sesering mungkin. Dalam Zad al-Ma‘ad (4:435) tertulis, posisi terbaik untuk ‘Aku’ adalah ketika seseorang berkata, Aku adalah hamba yang berdosa, salah, bertobat, mengaku atau sejenisnya. Dan ‘milikku’ ketika dia berkata, milikku adalah dosa, kejahatan, kemiskinan, dan rasa malu. Dan ‘aku’ dalam ucapannya, “Ya Allah, ampunilah aku atas dosa-dosa yang telah kulakukan dengan sengaja dan bercanda, salah atau sengaja; karena aku telah melakukan semua itu.” 

Kesimpulannya, seorang narsisis sebenarnya hanya merasakan rasa kepemilikan yang palsu, terus-menerus membutuhkan orang lain untuk memuji dan mengaguminya, serta kurang empati terhadap sesama karena terlalu asyik dengan diri egoisnya. Hal demikian perlu direhabilitasi dengan intropeksi diri, pengakuan yang rendah hati, dan kesadaran tentang kekurangan yang ada. Dalam dakwah, kita juga perlu mengakui sangat sedikitnya pengetahuan yang kita miliki, dan berharap semoga Allah mengampuni dosa-dosa dan perkataan kita tentang agama-Nya tanpa ilmu yang cukup. Mari selamatkan diri dari bahaya narsisme.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait